Sewaktu saya masih sekolah SD, sekitar tahun 1980-an, desa saya masih sangat sepi. Jarak rumah yang satu dengan rumah lain agak jauh, belum padat. Listrik belum ada, jalan raya belum diaspal. Yang punya televisi hanya beberapa orang saja, terutama perangkat desa atau guru. Warung atau toko kelontong, hanya ada beberapa tempat saja. Belum ada transportasi umum, pergi ke mana-mana walaupun sangat jauh, masih jalan kaki.
Mata pencaharian penduduk adalah bertani. Hanya sedikit sekali yang berdagang atau menjadi pegawai. Anak-anak sepulang dari sekolah biasanya pergi menggembala kambing atau sapi, mencari rumput, mencari kayu bakar, atau membantu orang tua di kebun dan sawah.
Pada waktu itu, yang punya warung atau toko kelontong, jika mau berbelanja (kulakan) mesti pergi ke kota Solo, tepatnya di Pasar Legi. Termasuk jika keluarga saya ingin membeli barang-barang tertentu, juga harus pergi ke Solo. Jarak desa saya ke kota Solo sekitar satu jam perjalanan. Kendaraan transportasi umum ketika itu adalah mobil Colt (mungkin sekarang sepadan dengan Metromini, Mikrolet). Maklum, yang punya sepeda motor baru para pegawai atau guru, itu pun biasanya sepeda Vespa.
Seperempat Abad Kemudian
Hanya berselang kurang lebih 25 tahun, ketika saya telah menjadi orang dewasa dan memiliki anak, keadaan desa saya telah berubah banyak, sangat berubah. Pembangunan di segala bidang mengalami percepatan yang signifikan. Modernisasi telah memoles desa berwajah kota.
Rumah-rumah yang dulu terbuat dari bambu atau kayu, kini telah berubah menjadi rumah permanen yang besar dan bagus, dan sebagian juga mewah. Tidak hanya di jalan raya, jalan-jalan desa dan gang-gang kecil diaspal atau dikonblok. Swalayan, minimarket, warung makan, bank, pasar baru, Â sentra industri, jaringan kabel Telkom dan sebagainya telah merubah wajah desa.
Bahkan di beberapa desa telah dibangun pabrik besar skala nasional, yang karyawannya berasal dari berbagai daerah di Pulau Jawa, sehingga memunculkan daerah perekonomian baru. Munculnya rumah kos-kosan, warung makan, biro travel, usaha-usaha di bidang jasa.Â
Daerah sekitar kecamatan yang dulu juga sepi, kini telah menjadi kota yang ramai dan dinamis, bahkan ada yang hampir menyamai ibukota kabupaten. Puluhan swalayan dan supermarket menjamur bak cendawan di musim penghujan. Restoran dan warung makan penuh sesak di kanan-kiri jalan. Rumah sakit swasta dan klinik kesehatan berdatangan. Bank-bank pemerintah dan swasta semakin meramaikan perekonomian kota kecamatan.
Permukiman semakin padat. Harga tanah kian melangit. Kavling-kavling perumahan dibangun di bekas lahan persawahan. Maklum, banyak pegawai yang tempat tinggalnya jauh ditugaskan di sini. Belum lagi para perantau dari Sunda, Madura, Lampung, Minangkabau dan lain-lain yang membuka usaha di sini.
Tempat-tempat hiburan dan rekreasi bermunculan. Ada kolam renang, waterboom-water-park, playground, pemancingan, taman, agrowisata, wanawisata, desa wisata, bumi perkemahan, pasar malam, dan lain-lain. Para investor cukup gencar melakukan investasi di bidang wisata di desa-desa.
Jalanan kian padat. Tidak lagi tiap rumah punya sepeda motor, tapi setiap anggota keluarga punya sepeda motor sendiri-sendiri. Yang punya mobil juga tidaklah sedikit. Suami-isteri bekerja. Entah bekerja di daerah sendiri atau bekerja ke kota dengan cara laju (pergi-pulang). Malam pun jalanan ramai. Orang-orang yang baru pulang kerja, berangkat kerja shift malam, atau yang ingin sekedar jalan-jalan untuk makan di luar atau ke tempat hiburan.