Secara umum, dakwah diselenggarakan untuk memproses suatu perubahan. Perubahan dari kondisi yang kurang baik menjadi baik, dari keadaan yang tidak benar menjadi benar, dari kegelapan menuju terang-benderang. Tapi sangat disayangkan, karena selama ini kita tak pernah meneliti atau mengukur efek atau dampak dari dakwah yang begitu gencar kita lakukan. Pengajian akbar sering diadakan dan di banyak tempat, kultum, ceramah di radio atau televisi, tapi tahukah kita seberapa baik hasilnya, seberapa besar peningkatan kesalihan, perubahan sosial yang terjadi, dan seterusnya. Apakah keimanan meningkat, ketaatan kepada Allah meninggi, akhlak kian membaik, korupsi berkurang, kemunafikan menurun, penyelewengan dan kriminalitas semakin sedikit persentasenya, dan lain-lain.
Kita sering membuat tema pengajian yang abstrak dan terlalu muluk, seperti meningkatnya iman dan takwa, kebangkitan Islam, Islam dan globalisasi, Islam dan teknologi komunikasi dan informasi, dan sebagainya. Seringnya kita tiada memiliki kesanggupan untuk merealisasikan tema tersebut di dalam kehidupan nyata, mengaplikasikan teks (firman Tuhan dan hadits nabi) ke dalam konteks, serta mengantisipasi tema-tema besar tersebut dalam perjalanannya.
Pada akhirnya, tema-tema muluk tersebut hanya berperan sebagai aksesori atau ekspresi inferioritas umat Islam. Misalnya, jika tidak ikut berbicara tentang globalisasi atau teknologi internet, takut dianggap ketinggalan zaman. Padahal, untuk melakukan perombakan struktur kepengurusan masjid saja kita masih tertatih-tatih, terbentur oleh kultur feodalisme, egoisme kelompok, atau sikap eksklusivisme.
Kita pun harus mengakui dengan jujur bahwa budaya dakwah kita masih stagnan, jalan di tempat. Kita melakukan dakwah tanpa strategi kebudayaan, tanpa strategi sosial, dan tanpa taktik psikologis. Sebagian besar dakwah kita masih dakwah bil lisan. Itu pun masih belum enak didengar, jangankan oleh telinga masyarakat nonmuslim, oleh telinga kita sendiri saja sering tidak enak.
Ketika seorang dai menyampaikan seruan-seruan dakwah, seringkali tidak diperhitungkan determinasi psikologisnya bagi pendengar. Ia tidak menyeru, tapi menekan. Bukan mencuri hati, melainkan membuat ngeri. Dan bisa ditebak, sesuatu yang membuat ngeri justru akan membuat seseorang melarikan diri.
Sudah menjadi pengetahuan kita bersama, bahwa kebanyakan dari kita masih kurang mampu membawakan Islam secara baik, benar, dan indah. Firman Tuhan dan hadits nabi itu amat mulia dan agung, akan tetapi kita belum mampu mengantarkan keindahan itu ke dalam hati dan pikiran orang lain. Ayat-ayat suci jadi tidak menyentuh hati.
Pada umumnya kita masih "diam di dalam hati" melihat kemungkaran-kemungkaran besar (seperti korupsi, pelacuran, ketidakadilan sosial, penyalahgunaan kekuasaan, dll), tapi lebih sering meributkan perkara-perkara sepele, seperti perbedaan rakaat shalat tarawih, doa qunut, adzan shalat Jum'at, dzikir jahr bada shalat, shalat pakai ushalli atau tidak, dan lain-lain.
Para dai kurang memiliki perhatian terhadap realitas kehidupan masyarakat, tidak menunjukkan komitmen sosial yang komprehensif, tidak memiliki sikap politik yang jelas, termasuk tidak memiliki wawasan sosiologis dan psikologis yang lebih luas dan mendalam.
Penutup
Kalau hanya sekedar memberikan khotbah seperti orang berpidato atau ceramah, sangat banyak orang yang bisa melakukannya. Tapi untuk menyampaikan khotbah yang persuasif, khutbah yang bilhikmah tidaklah mudah. Untuk itu, agar khotbah Jum'at memiliki efek positif, menggerakkan, dan menimbulkan perubahan di masyarakat, maka diperlukan materi dan teknik bicara yang sesuai dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan zaman.
Sumber bacaan: