Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Khutbah Jumat yang Hasanah

19 Agustus 2018   21:52 Diperbarui: 19 Agustus 2018   22:01 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Seminggu sekali, seorang Muslim laki-laki diwajibkan untuk melaksanakan shalat Jum'at sebanyak dua rakaat. Dalam rangkaiannya, shalat tersebut didahului oleh khutbah yang terdiri dari dua sesi. Sehingga jika ditotal akan menjadi empat, sama seperti jumlah rakaat shalat Zuhur. Makanya berbicara pada saat khutbah berlangsung adalah dilarang dan bisa membatalkan pahala shalat Jum'at.

Kita setiap seminggu sekali mendengarkan khutbah Jumat. Sudah sejak lama, sejak kita masih anak-anak dulu. Dari sekian banyak khutbah yang kita dengar, seberapa banyak yang isinya itu terasa sejuk, damai, dan menggerakkan. Atau justru yang terbanyak adalah berupa teror, ancaman, siksa, atau hukuman; sehingga seolah-olah Tuhan itu sosok monster yang menakutkan. Atau malah isinya berupa propaganda, provokasi, hasutan sehingga menggerakkan umat untuk berbuat keburukan.

Apakah kita keluar dari masjid sepulang shalat Jum'at dalam keadaan damai, iman yang semakin mantap, dan punya semangat baru untuk berbuat kebajikan. Atau justru sebaliknya, kita mengomel, menggerutu, bahkan marah karena bukan saja isi khutbah yang terasa kering dan membosankan, juga isi khutbah yang membuat kita semakin takut dan ngeri.

Sekarang ini banyak kita jumpai khutbah-khutbah panjang yang tidak menyentuh kenyataan hidup, terlalu normatif, dan tidak diterjemahkan ke dalam aktualitas. Khutbah yang hanya diterjemahkan secara naif dan dengan sudut pandang kacamata kuda. Firman Tuhan atau sabda nabi diperlakukan seperti benda mati yang pucat pasi. Bak musim yang tak kunjung berganti. Para khatib gagal menemukan kehidupan dalam Al Qur'an dan tak berhasil menemukan Al Qur'an dalam kehidupan.

Melihat kenyataan seperti itu, kita tak pernah cukup serius untuk menggugatnya. Kita cenderung diam dan bersikap masa bodoh. Entah karena kita tak memiliki cukup keberanian atau tak punya kuasa untuk memprotesnya; atau kita sudah memiliki dugaan bahwa jika digugat mereka tidak akan terima dan akan menimbulkan banyak masalah.

Tak jarang kita menemukan kesan dari khatib bahwa Allah itu tampak mengerikan, tukang  mengancam, suka membenci, formal-birokratis, horor bagai drakula. Tuhan seolah-olah senantiasa memelotokan matanya dengan garang, sehingga tiada peluang bagi manusia untuk menjalin hubungan cinta-kasih denganNya, hubungan "dari hati ke hati", hubungan dalam kewajaran dan kedewasaan.

Kata-kata dari sang khatib tidak mengandung tanggung jawab ilmu, tanggung jawab moral sosial, maupun tanggung jawab kebudayaan batin masyarakat. Mereka tak memiliki pengetahuan yang cukup tentang manusia, kehidupan, dan juga sistem-sistem hubungan persoalan sejarah manusia. Apa yang mereka sampaikan hanyalah slogan-slogan mati. Mereka tidak menyebut ayat-ayat Allah sebagai rahmat dan hidayah, tetapi sebagai membawa resah dan gelisah.

Dakwah Mauidhah Kurang Hasanah

Banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, baik di pengajian akbar, khutbah Jum'at, maupun ceramah di radio dan televisi yang berupa seruan, ajakan, himbauan (mauidhah) yang tidak disampaikan secara baik, tepat, dan kontekstual (hasanah). Melakukan mauidhah tidaklah sulit, tapi bagaimana agar hasanah tidaklah gampang.

Dalam ilmu komunikasi, dakwah mauidhatul hasanah bisa sepadankan dengan komunikasi persuasif, yaitu komunikasi yang dilakukan dengan pendekatan bujukan tanpa ancaman atau kekerasan. Komunikasi persuasif adalah bagaimana mengajak seseorang agar melakukan sesuatu yang kita inginkan dengan menyentuh hatinya, menggembirakan perasaannya, mencerahkan pikirannya, serta membangkitkan gerak-langkahnya. Komunikasi persuasif juga memperhatikan latar belakang pekerjaan, pendidikan, budaya, serta lingkungan dari obyek dakwah. Komunikasi yang mencoba memahami kondisi sosial-ekonomi, sistem dan tata nilai, dan kondisi riil masyarakat.

Hal tersebut dilakukan agar orang mau mendekat, mau bergerak dengan penuh kesadaran, sukarela dan tanpa paksaan. Orang mau melakukan sesuatu atas dasar keyakinan yang kuat, penuh rasa tanggung jawab, dan merupakan suatu panggilan hidup. Berbeda dengan komunikasi dengan pendekatan ancaman atau kekerasan, yang akan membuat orang malah menjauh, dan sekalipun mereka mau melakukan sesuatu, hal itu karena mereka merasa takut dan terpaksa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun