KYAI MAKSUM
Oleh: Trimanto B. Ngaderi*)
Keramahtamahan itu mendadak menjadi kekakuan. Sebuah pertanyaan atau lebih tepat sebuah kritikan, membuat sang kyai kebakaran jenggot. Merah mukanya tak dapat menyembunyikan kemarahan yang mendidih. Â Sorot matanya yang tajam menunjukkan kegeraman yang memuncak. Rahangnya menegang dan gigi tuanya gemeretak laksana singa yang siap menerkam mangsanya.
"Lancang sekali kamu!", gertaknya sembari meninggalkan lelaki yang duduk di depannya yang menunduk namun penuh kemenangan itu.
***
Tubuhnya kecil pendek. Kemana-mana selalu memakai sarung gelap dan peci putih. Giginya sebagian telah ompong dan pipinya sedikit kempot. Walau sudah sepuh, tapi masih tampak sehat. Wajahnya yang garang lebih terkesan angkuh daripada berwibawa, sebagaimana diyakini para warga Desa Tanjungsari. Itulah Kyai Jauhari.
Sang Kyai cukup dihormati di desanya. Ia juga diakui sebagai sesepuh, pemimpin yang bisa disetarakan dengan kepala desa. Pemimpin dalam ranah keagamaan, juga pemimpin dalam hal sosial-kemasyarakatan. Kata-katanya selalu didengar. Perintahnya hampir selalu dilaksanakan.
Ia menjadi imam tetap di masjid agung di desanya. Selalu memimpin doa dan dzikir-tahlil. Jika ada acara kenduri, barzanji, haul, yasinan, shalawatan, tasyakuran, dan berbagai tradisi desa; maka sudah bisa dipastikan dialah pengampunya. Seperti mengesankan, hanya dialah yang bisa segala-galanya. Konon pula, ia memiliki kemampuan untuk mengobati orang sakit dan memberikan azimat untuk berbagai keperluan.
Telah puluhan tahun nyantri di pondok pesantren, hafal Qur'an, menguasai kitab-kitab ulama salaf, fasih berbahasa Arab; telah membuat warga desa tersihir, menghormatinya secara berlebihan, bahkan cenderung mengkultuskannya. Ia dianggap setara dengan para wali.
"Penghormatan yang berlebihan telah membuat mereka buta", kata Sulhan kepada Pak RT suatu hari. Sulhan masih keponakan Kyai Jauhari dari pihak istrinya.