Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mendampingi PKH: Melatih Kepekaan dan Keterampilan Sosial

25 September 2017   14:32 Diperbarui: 25 September 2017   14:34 975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di zaman sekarang ini, kita dituntut untuk memiliki berbagai keterampilan dan keahlian tertentu. Keterampilan manajemen, keterampilan komputer (IT), keterampilan komunikasi, keterampilan teknis, dan berbagai keterampilan yang terkait dengan bidang pekerjaan maupun profesi kita.

Padahal, dalam pergaulan dan hidup di masyarakat (tertentu), kita juga dituntut untuk memiliki keterampilan sosial (social skill), kecerdasan sosial (social intelligence), dan kepekaan sosial (social sensibility). Namun sayang sekali, di tengah berbagai kesibukan dan aktivitas, serta semakin canggihnya teknologi komunikasi (terutama media sosial), berbagai keterampilan tersebut sering kali diabaikan.

Nah, salah satu untuk mengembangkan berbagai keterampilan di atas adalah memanfaatkan posisi kita sebagai Pendamping PKH. Orang-orang yang kita dampingi adalah mereka yang berasal dari status sosial rendah, ekonomi kurang mampu, dan taraf intelektual yang masih minim. Di sinilah kita dituntut untuk memiliki kepekaan (khusus) atas apa yang mereka alami dan rasakan, juga keterampilan (khusus) dalam menghadapi dan mengelola mereka.Simpati dan Empati

Untuk melatih kepekaan sosial, bisa dimulai dari dua hal. Pertama, simpati yaitu adanya perhatian dan kepedulian terhadap sesama, terutama kepada kaum marjinal. Perhatian dan kepedulian ini bisa dalam bentuk kesediaan kita untuk mendengar, memberi dukungan, memberikan apresiasi, penguatan, dorongan, dan sebagainya. Sikap simpatik ini perlu diasah dan dibiasakan, sebab bagaimana bisa kita akan memiliki kepekaan sosial jika kita tidak simpatik terhadap berbagai permasalahan sosial. Dengan demikian, kita akan cepat tanggap terhadap berbagai fenomena yang terjadi di sekitar kita.

Ketika melihat rumah KSM yang sangat sederhana -- terbuat dari bambu atau kayu dan itupun sudah rusak sana-sini, berlantaikan tanah dan tanpa perabot yang berarti, pakaiannya yang bersahaja bahkan tak layak lagi, makan sehari-hari yang hanya sekedar kenyang yang nyaris masih jauh dari 4 sehat 5 sempurna, dan berbagai derita hidup lainnya; setidaknya mampu menumbuhkan rasa simpati dari pendamping PKH.

Kedua, adalah empati. Ini tingkatannya lebih tinggi daripada simpati. Pada tingkatan ini kita tidak sekedar hanya peduli, tapi sudah pada tataran ikut merasakan apa yang sedang dirasakan oleh orang lain. kita mengandaikan bahwa yang terjadi pada orang lain itu terjadi juga pada diri kita sendiri. Mengibaratkan sekiranya hal itu terjadi atau menimpa pada diri kita. Hal ini akan membuat kita merasa senasib-sepenanggungan, seia-sekata, duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Juga melatih kita memiliki sifat welas-asih, cinta sesama, memberi dan berbagi, kerendah-hatian, dll.

Melihat KSM yang yatim dan atau piatu, anggota ada keluarga yang cacat permanen, menderita sakit menahun, menjadi warga yang dimarjinalkan, setidaknya mampu membangkitkan rasa empati pada diri pendamping PKH. Bagaimana sekiranya pendamping mengalami sendiri hal itu. Di sinilah seorang pendamping dituntut untuk memiliki kemampuan "mendengar". Mendengar segala keluh-kesah mereka, menampung apapun curhatan mereka, menyimak setiap jerit-tangis mereka.

Memiliki sikap simpati dan empati ini tidaklah mudah. Perlu latihan dan pembiasaan yang kontinyu. Terlebih jika kita berasal dari lingkungan keluarga berada, dan tidak biasa bergaul dengan kaum marjinal, maka dibutuhkan waktu dan penyesuaian.

Keterampilan Sosial

Ini terkait dengan kemampuan kita berkomunikasi dan bergaul dalam masyarakat. Berkomunikasi dengan berbagai macam lingkungan sosial dan dengan latar belakang yang berbeda-beda, tidaklah mudah. Terlebih berkomunikasi dengan warga miskin yang notabene berpendidikan rendah dan memiliki pengalaman yang terbatas. Tidak mudah mengajak mereka bicara, memilih bahasa yang mudah dimengerti mereka, menjadikan mereka sahabat/teman, dan menjalin hubungan secara cair dan setara. Sebagian mereka memiliki perasaan inferior, minder, rendah diri, malu, dan berbagai perasaan dan sikap negatif lainnya.

Di sinilah kita dituntut apa yang diistilahkan dalam filosofi Jawa "empan papan". Kita harus pandai dan terampil menempatkan diri di tengah mereka, seolah-olah kita adalah bagian dari mereka, seakan-akan kita pun sama seperti mereka. Bagaimana kita mampu menghargai mereka, menghormati mereka, dan yang terpenting adalah "memanusiakan" mereka. Kita jaga perasaan mereka, kita bicara dengan bahasa mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun