Ya Allah, mengapa aku bisa berbohong kepada temanku. Bisikku lirih.
***
Hari itu aku masuk sekolah seperti biasa. Sekolahnya menjadi satu komplek dengan pondok, karena para santri di sini selain mondok sekaligus bersekolah. Lagi-lagi di ruangan kelas aku tak dapat berkosentrasi. Pelajaran yang disampaikan guru tak ada yang mampu aku serap. Dompet dan isinya terus-menerus memenuhi pikiranku.
Sewaktu jam istirahat, aku dipanggil oleh staf TU. Intinya dia menanyakan kapan aku akan melunasi biaya sekolah yang sudah menunggak dua bulan. Aku bilang dengan jujur bahwa uang kiriman dari orang tua di Sumatera belum datang. Aku juga mengatakan bahwa di Jawa ini aku tidak memiliki saudara, sehingga tiada tempat mengadu atau pinjam uang.
Aku meninggalkan ruang TU dengan langkah gontai dan muka murung. Teman-teman melihatku dengan tatapan heran. Aku mencari tempat yang sepi, agar mereka tidak bertanya tentang diriku. Di dalam kesendirian, kembali aku teringat dompet itu.
“Pakai saja uang di dompet itu untuk membayar biaya sekolah”, sebuah bisikan mendadak muncul dari dalam diriku.
Aku mulai menimbang-nimbang suara itu. Apa aku pakai saja uang di dompet itu. Toh orang lain tidak ada yang tahu, pemilik dompet itu juga tidak bakal tahu. Daripada aku pusing banget seperti ini. Apalagi ini benar-benar terpaksa. Moga saja Tuhan masih berkenan mengampuniku.
“Eh Mad, ngapain kamu bengong di sini sendirian?” sapa Salim membuyarkan lamunanku.
“Ah tidak, cuma pingin ngadem saja”, jawabku sekenanya.
“Gimana dong Mad hutangmu, kapan pastinya mau dibayar? Keburu mau kupakai buat bayar seragam dan buku-buku nih!”
“Maaf banget Lim, aku benar-benar belum punya uangnya. Tenang dech, pokoknya kalau sudah ada langsung aku lunasi ya”, jawabku diplomatis.