Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mutiara Gurun

28 Desember 2016   11:17 Diperbarui: 28 Desember 2016   11:38 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia. Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia

Sebaris kata itulah yang terus-menerus diucapkan berulang-ulang hingga ia menghentikannya ketika si musafir mengucapkan salam kepadanya.

Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh” jawabnya lembut dan dengan ekspresi muka yang berseri-seri, tidak menunjukkan raut ketakutan atau kecurigaan sama sekali.

“Maaf aku mengganggumu Tuan, bolehkah saya beristirahat sejenak di sini?”

“Dengan senang hati Tuan, apalagi aku juga kesepian di sini.”

Si kakek lalu bercerita bahwa ia sebatang kara,tanpa istri dan sanak saudara. Ia dalam keadaan sakit hingga semua orang meninggalkannya. Sementara keluarganya sudah meninggal. Ia tidak memiliki apa-apa selain gubuk sederhana dan usang itu.

Si musafir menyimak ceritanya dengan seksama. Sungguh, betapa malang nasibnya. Hingga timbul rasa iba dan kasihan dalam dirinya. Sejenak ia menengok ke dalam ruangan tenda yang tanpa kasur atau karpet itu. Tidak ada barang-barang di dalamnya, kecuali beberapa helai pakaian dan seperangkat alat masak sekedarnya. Persediaan makanan seperti gandum atau kurma pun sepertinya tak ada.

Tiba-tiba terbersit dalam pikiran si musafir. Mengapa si kakek berulang kali mengucap syukur bahwa ia telah dilebihkan di atas banyak manusia. Padahal, ia tidak memiliki apa-apa dan tidak memiliki siapa-siapa. Ia merasa aneh. Rasa penasaran pun mulai menghantui dirinya.

Memang apa kelebihan yang diberikan Allah atas kakek ini? Atau apa kira-kira keutamaan si kakek ini dibandingkan manusia lain?

Si musafir mendesah panjang. Napasnya mendadak terasa berat. Hatinya begitu tersentuh melihat kenyataan orang yang ada di hadapannya. Angin yang semilir berhembus sedikit membawa kelegaan baginya. Butiran-butiran pasir yang sedari tadi beterbangan, kini mulai sirna. Unta kendaraannya nampak terlelap di bawah rerimbunan semak-semak liar.

“Aku sungguh merasa iba dan prihatin kepada Tuan. Tapi izinkan aku bertanya, mengapa Tuan justru tak henti-hentinya mengucapkan syukur dan merasa telah dilebihkan atas yang lain?” ujar si musafir hati-hati agar tak menyinggung perasaannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun