Berbagai realitas di atas, seakan para petani tak bisa melepaskan diri segala macam obat. Selain budaya hidup yang mulai malas dan tak mau repot, juga ada perasaan (dan keyakinan) bahwa kalau tidak diobat belum merasa puas, ditambah pula hasrat untuk memperoleh hasil yang cepat dan banyak. Sebuah lingkaran yang kian mengukuhkan gurita industri kapitalistik.
Oleh: Trimanto B. Ngaderi*)
Hingga pada akhirnya muncul banyak keluhan bahwa penggarapan sawah dan perawatan tanaman “lebih besar” daripada hasil panen yang diperoleh. Hal ini dikarenakan membengkaknya biaya tenaga kerja, pembelian obat dan pupuk, serta biaya perawatan dan pemanenan. Belum lagi jika harga obat dan pupuk naik, ada permainan harga ketika panen tiba, serta mahalnya biaya buruh tani karena semakin langkanya orang yang mau bekerja sebagai petani.
Akibatnya, budaya konsumerisme pun melanda para petani. Ketergantungan kepada obat dan pupuk kimia, ketergantungan kepada buruh dan pekerja tani, ketergantungan kepada mesin dan alat pertanian, termasuk juga benih pun tak lagi dapat disediakan sendiri. Jika dulu petani dianggap profesi yang paling produktif, karena segalanya dibuat, diciptakan, dan disediakan sendiri; sekarang segalanya harus membeli.
Penjajahan kapitalisme global kian menancapkan kuku-kuku liarnya ke ranah pertanian. Kepemilikan lahan oleh orang atau sekelompok orang tertentu, penyewaan lahan oleh perusahaan, pemilik sawah yang kini menjadi buruh karena lahannya dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan diperparah pula oleh beralih-fungsi lahan pertanian menjadi perumahan atau toko.
Parahnya lagi, tangan kapitalisme semakin diperkuat oleh kekuasaan negara lewat berbagai peraturan dan kebijakan yang bersifat massal dan homogen, kurang memperhatikan karakteristik wilayah dan konteks petani itu sendiri, sehingga hasilnya malah tidak maksimal dan tidak tepat sasaran. Kebijakan mekanisasi pertanian, budidaya varietas tertentu, teknik pemanenan dan pengolahan pascapanen, serta penentuan harga seringkali terkesan dipaksakan dan malah merugikan petani.
Ketika biaya pengolahan lahan dan penanaman sudah kian membengkak, ketika saat panen tiba, petani masih dihadapkan pada kesulitan pemasaran dan harga jual yang tidak memadai. Banyak pihak yang mempermainkan harga, sehingga harga produk pertanian tertentu anjlok. Bahkan, pada beberapa komoditas susah menemukan pembeli. Akhirnya petani rugi karena biaya produksi lebih besar daripada hasil yang diterima.
Penutup
Pelan tapi pasti, kapitalisasi di sektor pertanian memang tidak bisa kita elakkan, sebagai konsekuensi logis dari perkembangan teknologi. Salah satunya adalah mekanisasi pertanian yang membuat sistem kerja menjadi lebih cepat, efektif, dan efisien. Namun di semua bidang, selain membawa dampak positif, kemajuan teknologi juga selalu membawa efek negatif. Selain kerusakan lingkungan alam, juga berpengaruh terhadap aspek-aspek ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Masalah pengangguran, budaya konsumtif, gap kaya dan miskin, kecemburuan sosial, ketidakadilan ekonomi, dan masih banyak lagi. Semoga bisa menjadi perhatian kita bersama.
*) Seorang petani juga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H