Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Khas Minangkabau "Kebencian Mamak"

3 Februari 2015   21:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:53 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

KEBENCIAN MAMAK

Oleh: Trimanto B. Ngaderi

Aku duduk di tepi jendela. Mataku menatap kosong ke hamparan sawah yang mulai menguning di lembah sana. Suara agak gaduh aku dengar dari lepau di ujung jalan. Meskipun samar, namun aku masih bisa menangkap hal-ihwal pembicaraan mereka. Calon presiden. Sebuah tema yang sering aku dengar dan dibicarakan akhir-akhir ini. Tidak hanya di lepau, tapi juga di surau-surau, di sawah maupun di kebun.

Orang di desaku memang suka berdiskusi, bahkan berdebat. Aku pun demikian. Tapi beberapa hari ini, aku sengaja tidak bergabung dengan mereka. Aku lagi ingin menyendiri. Terlebih sejak pertemuanku dengan Mamak saat pernikahan putranya Pak Etek, si Afrizal. Mamak tak menjawab salam dan tegur-sapaku. Ia tampak membuang muka dan seolah-olah tak melihat kehadiranku. Sepertinya ia sangat marah padaku.

Hal itu mengingatkanku akan tuduhan Mamak ketika aku berkunjung ke rumahnya untuk menyampaikan undangan dari panghulu kira-kira sebulan lalu. “Kau kemenakan yang tak tahu terima kasih!” pekiknya tiba-tiba mengagetkanku.

Ketika aku tanyakan kepadanya, apa maksud dari kata tak tahu terima kasih itu, Mamak tak mau memberi penjelasan yang pasti. Aku hanya bisa meraba-raba maksud dari Mamak itu. Sepertinya ia kecewa atas penolakanku karena ia hendak menjodohkanku dengan orang satu nagari. Padahal sudah kusampaikan kepadanya, kalau aku sudah punya calon sendiri dari nagari rantau.

“Mamak merasa bertanggung jawab mencarikan jodoh untukmu”, katanya pula ketika itu.

Bukannya aku tak menghargai usaha Mamak, tapi memang aku merasa tidak cocok dengan calon yang disodorkan Mamakku. Jadi, wajar jika aku menolaknya, apalagi Apak-Amak pun merasa keberatan dengan calon itu. Tapi Mamak tetap bersikeras bahwa itu sudah pilihannya yang terbaik.

“Ini untuk menjaga kemurnian keluarga besar kita”, kata Mamak sedikit berapi-api ketika itu. “Laki-laki yang sukses jika menikah dengan perempuan dari nagari lain jelas akan merugikan nagari kita”, imbuhnya lagi.

Aku menghela napas panjang. Aku mengalihkan tatapanku ke gunung Singgalang di atas sana. Sekalipun hari semakin siang, kabut tebal masih menutupi gunung yang berdampingan dengan gunung berapi Tandikat  itu. Aku mencoba melupakan bayangan Mamak untuk sesaat saja. Sementara itu, suara gaduh dari lepau di ujung jalan belum usai juga. Malah pengunjung lepau sepertinya makin ramai saja. Perbincangan mengenai capres mendatang sepertinya kian hangat dan seru.

Aku beranjak berdiri, memandang ke samping rumah, dimana hamparan kebun tanah pusaka dari keluarga Amak tampak menghijau, ditanami berbagai sayur-mayur. Konflik tentang status kepemilikan dan status penggarap tanah itu, membuat Amak dan keluargaku mengalah untuk tak lagi ikut campur urusan tanah pusaka.

Melihat tanah pusaka itu, aku kembali teringat sikap Mamak yang menyinggung perasaan keluargaku. “Dari kecil, Mamak yang mengurusmu semuanya,” ujarnya ketika keluarga besar sedang berkumpul. Bahkan, tak jarang ia menyampaikan kata-kata itu kepada orang lain. Oh, sedih sekali rasanya.

Mamakku ternyata suka mengungkit-ungkit kebaikannya kepadaku. Padahal, menurut cerita Apak, kebaikan Mamak tidaklah seberapa. Terlebih setelah anak-anak Mamak sudah pada besar, ia lebih fokus memikirkan pendidikan dan kehidupan anak-anaknya sendiri. Soal ekonomi, pendidikan, dan perhatian, Apak-Amaklah yang memperjuangkannya.

Apakku yang aktif di Muhammadiyah suatu hari pernah berkata, “Seorang ayah bertanggung jawab penuh atas keluarganya”. Itulah kata-kata yang terus terngiang-ngiang di kepalaku hingga kini. “Seorang ayah akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak”, imbuhnya lagi mencoba memperkuat pernyataan sebelumnya.

Apakku tidak hanya sekedar berkata-kata. Ia membuktikan ucapannya itu. Ia bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Ia tak mau bergantung pada harta pusaka peninggalan ibu atau istrinya. Berdagang ke negeri Mandailing pernah ia lakoni untuk menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi. Bahkan, dari hasil tabungannya ia bisa membeli sebidang tanah di daerah Aurmalintang ini.

Mengingat itu, aku jadi sangat mengagumi Apakku. Ayah yang mau bekerja keras dan bertanggung jawab. Aku ingin seperti dia. Aku tidak ingin seperti Mamak yang hanya membangga-banggakan keluarga dan harta pusaka. Yang katanya secara adat leluhurku punya tanggung jawab moral maupun material kepada kemenakannya, tapi pada kenyataannya tetap lebih mementingkan keluarganya sendiri dan sering mengungkit kebaikannya kepadaku yang tak seberapa itu. Mamak yang tak bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman, termasuk tak memahami esensi ajaran agama yang dianutnya selama ini.

“Kau ini orang yang tak menghargai adat”, tuduhnya ketika aku berkomentar tentang kemubadziran di upacara pernikahan keluarga Pak Tuo beberapa bulan lalu. Aku bukannya tak menghargai adat. Aku hanya prihatin atas keharusan menyediakan makanan ini atau perlengkapan tertentu, padahal itu cukup memberatkan. “Kebiasaan nenek-moyang janganlah dilanggar”, sambungnya suatu ketika.

Mamakku yang satu ini memang sangat keras kepala. Hampir tak pernah mau mendengar pendapatku dan pendapat orang lain. Ia merasa dirinya telah benar sendiri. Lebih aneh lagi, kalau ada yang berkomentar tentang adat, ia mengganggap menentang adat. Tapi jika ada pemuda yang meniru gaya Barat yang bertentangan dengan adat Minangkabau dan Islam, Mamak malah diam saja.

Lamunanku mendadak buyar. Tatapanku kini menangkap dua sosok gadis yang berjalan melewati depan rumahku. Yang membuatku terkejut, gaya berpakaiannya benar-benar ala Barat. Celana jeans ketat berwarna abu-abu dipadu dengan kaos putih berlengan pendek. Rambut pendek sebahu, bahkan yang satunya dicat dengan warna merah tua. Sebuah pemandangan yang mulai lazim di nagariku, walau hal itu bertentangan dengan adat luhur nenek-moyang. Bahkan, yang membuatku prihatin, anak gadis Mamak pun ada yang berlaku demikian.

Ketika aku hendak bangkit dari dudukku, Amak datang menghampiriku.

“Ada apa, Buyuang? Sepertinya kau terlihat murung?” sapanya lembut dengan panggilan kesayangan.

Aku tidak langsung menjawab. Aku menatap wajah Amak yang teduh tapi penuh selidik.

“Aku sedih atas sikap Mamak akhir-akhir ini”, jawabku berterus terang. Selama ini aku memang selalu terbuka pada Amak.

“Amak sudah tahu semuanya, janganlah terlalu kau risaukan hal itu,” ujarnya berusaha menenangkanku sembari mengusap-usap pundakku.

“Tapi, Mak ...”

“Amak juga bisa memahami posisi Mamakmu dalam sistem paruik kita, tapi menurutku, perannya kepadamu sangatlah kecil. Apakmu sendiri yang telah menjaga dan membesarkanmu, bahkan hingga kamu lulus perguruan tinggi. Pengorbanannya teramat besar untuk keluarga kita”.

Amak mengucapkan kalimat terakhir itu dengan penuh penekanan. Sepertinya ia sangat menghargai jerih-payah dan kerja keras Apak selama ini. Ia melangkah menuju muka jendela, matanya menatap kosong ke arah lembah.

“Lihatlah rumah gadang di bawah sana, itulah warisan leluhur kita. Dan Amak pun tak berkesempatan mendapatkan ganggam bauntuak lagi. Makanya Apakmu berusaha mencari pencaharian sendiri dan tak pernah mengharapkan pusaka tinggi”, jelas Amak penuh ketegaran. “Tapi bagaimana pun, kuharap kau tetap menghargai mamakmu!” perintahnya tegas.

Aku hanya mengangguk pelan. Suara adzan dari surau di ujung jalan membuat kami bergegas ke sumur untuk mengambil air wudlu.

****

Akhir pekan. Aku sendirian di rumah. Adik-adikku pergi bermain bersama teman-temannya. Amak menemani Apak berangkat ke Mandailing. Apak ingin berdagang kain di sana. Menurut kabar dari temannya, dengan pemekaran Kabupaten Tapanuli Selatan, Panyabungan kini menjadi ibukota kabupaten yang baru. Banyak kios dan toko-toko baru dibangun. Apak ingin mencoba lagi keberuntungan di sana. Amak sendiri ingin berkunjung ke kerabatnya. Sebab Mak Adang ada yang diperistri orang sana.

Aku juga terharu, ketika Apak mengungkapkan bahwa kepergiannya ke Mandailing adalah untuk membantu biaya pernikahanku tiga bulan ke depan. Padahal aku sudah berkata kepadanya bahwa hasil tabunganku dari bekerja sudah mencukupi. Tapi Apak tetap bersikeras membantuku. “Orang tua sangat ingin membahagiakan dan memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya”, jawabnya penuh semangat di suatu malam.

Betapa aku makin bangga dan kagum dengan Apakku. Ia sosok ayah yang pekerja keras, penuh tanggung jawab, dan bersedia berkorban. Semua hal yang kami peroleh selama ini adalah jerih-payahnya. Tidak ada bantuan, apalagi warisan dari leluhur.

Ahhh... mendadak aku teringat Mamak kembali.

Ia yang hampir tak pernah berbuat sesuatu untukku dan untuk keluarga, suka mengatur dan mengungkit hal-hal yang tidak jelas. Sering, ia membanding-bandingkanku dengan kemenakan-kemenakan lain yang menurutnya penurut dan patuh. Tak jarang pula, ia menyebut-nyebut harta dan materi yang kami miliki. Padahal semua itu adalah usaha keras keluargaku sendiri.

“Dok...dok....dok.....”, suara ketukan pintu menyadarkan lamunanku. Aku bergegas ke arah pintu dan membukanya. Dan, degggh... aku sedikit terkejut ketika yang datang adalah Mamakku.

“Mamak mau minum apa?” tanyaku setelah mempersilahkan duduk.

“Tidak perlu, aku hanya sebentar”, jawabnya agak ketus. “Kuminta kau memikirkan ulang keputusanmu untuk menikah dengan gadis dari rantau!” katanya lagi dengan penuh penekanan.

“Memangnya kenapa, Mak?” tanyaku masih merendah.

“Seperti yang pernah mamak katakan, menikahi gadis rantau berarti membantu orang luar. Mengapa tidak menuruti pilihan Mamak yang kemarin saja. Kurang apa dia, anak pembesar adat, punya usaha di Jakarta, juga tanah pusakanya luas”, ujarnya penuh semangat dan meyakinkan.

“Mohon maaf, aku sudah punya pilihan sendiri. Dan tolong jangan mencampuri urusan pribadiku lagi”, balasku masih sopan.

“Apa katamu? Belum juga kau bisa membalas budi Mamakmu ini, kau terus-terusan menentang dan melawanku”, pekik Mamak dengan mata melotot dan muka merah menyala.

Aku hanya diam. Kulihat napas Mamak memburu dikuasai amarah, tubuhnya menegang, dan jari-jemarinya mengepal seperti hendak meninjuku. Aku memberanikan diri menatap wajahnya yang sarat kebencian itu.

“Dari kecil aku yang merawat dan mengasuhmu, kini kau malah membuatku marah besar. Dasar kemenakan durhaka!” ucapnya dengan keras dan membentak sembari telunjuknya menunjuk ke arah mukaku.

Emosiku pun bangkit.

“Kalau Mamak terus-menerus menyakiti perasaanku, lebih baik Mamak pergi dari sini! Keluar!” balasku lantang dan spontan.

“Oh baik, kau telah berani mengusirku. Awas! Kau akan menerima akibat dari semua ini!”

Aku tak menyahut lagi. Mamak bergegas keluar dari rumahku. Ketika sampai di pintu, ia masih menyempatkan diri menoleh kepadaku dengan tatapan dendam membara sembari mengacungkan kepalan tangan. Selanjutnya, aku berdiri terpaku sambil menunduk. Tak terasa, bulir-bulir kecil menetes dari mataku. Sesaat kemudian, adik-adikku kembali dari bermain.

“Ada apa, Uda? Apa yang telah terjadi padamu?”

Aku tak menjawab. Aku hanya memeluk mereka lebih erat.

Warung kopi

Paman dari pihak ibu

Pemimpin adat

Jawa=desa

Bapak-ibu

Panggilan kesayangan untuk anak laki-laki

Kaum=suku

Tanah garapan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun