Mohon tunggu...
syafrudin prakoda
syafrudin prakoda Mohon Tunggu... Tentara - Masih banyak belajar

Selalu berusaha untuk bisa menulis.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Catatan Kecil dari Lebanon-14: “ Halo Indonesia!”

2 Maret 2013   12:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:26 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto bersama dengan anak-anak Lebanon. "Halo Indonesia!"

Pada minggu kedua penugasan di Unifil (United Nations Interim Force In Lebanon), aku mulai menjalankan tugasku bersama tim Tactical Community Outrech (TCot) melakukan kunjungan ke salah satu sekolah dasar di Yarin, Lebanon Selatan, yang masih berada di daerah operasi Unifil. Ini merupakan kali kedua dengan tim yang sama yakni dari Italia (yang pertama ke sekolah swasta di Dibil sekitar 10 kilometer dari lokasi yang kedua).

Saat kunjungan tersebut aku ditemani dua orang rekanku, Sertu Hendra dan Serda Nieckson. Sedangkan tim Community Outrech dari Italia adalah Chief PDMC Pier Paolo De Salvo, Chief TCos WO3 Fabio Cortesse,dan OR4 Maria De Fonzo, dan Ghea El Bardan, Language Assistant dari lebanon. Kami ke lokasi kunjungan menggunakan dua mobil. Kami bertiga dari Indonesia ditambah Ghea naik mobil Ford Everest milik Indonesia, sedangkan tim Italia naik mobil Iveco Italia yang setiap dindingnya dilapisi dengan plat baja.

Kunjungan ini merupakan kunjungan rutin ke berbagai sekolah di Lebanon yang bertujuan menyampaikan pesan-pesan perdamaian kepada warga sesuai dengan United Nations Security Council Resolution (UNSCR) 1701. Khusus untuk anak-anak termasuk di Yarin Public School, pesan yang kami sampaikan dalam bentuk pengenalan mengenai simbol-simbol unifil dari uniform yang dikenakan dan sebagian tugas-tugasnya serta pengenalan tentang blue line. Pada akhir acara, pada umumnya kami mendapatkan feedback tentang materi yang telah disampaikan di mana sebagian besar anak-anak di kawasan Lebanon ini mengerti dan memahami tentang Unifil maupun Blue Line.

Agar “pesan perdamaian” tersebut bisa dipahami dan diterima anak-anak sekolah dasar (kelas I hingga kelas III), kami membawa beberapa peralatan yang menjadi andalan kami dalam melaksanakan tugas-tugas sejenis. Peralatan tersebut berupa dua mascot Mr. Blue Barrel (terbuat dari galon bekas air mineral, satu sbg kepala dan lainnya sebagai kaki yang dihubungkan dengan badan terbuat dari pralon, ditambah dengan sepasang tangan. Maskot kami ini telah diakui dan terpasang di sepanjang garis maya “blue line” sepanjang garis perbatasan Israel-Lebanon dengan bahan utama drum bekas minyak dan besi).

Dari kunjungan ke dua sekolah yang berbeda tersebut, ada perbedaan yang sangat menyolok antara kondisi sekolah swasta (Private School) dengan sekolah negeri (Public School). Pada kunjungan pertama ke Dibil Private School, aku menjumpai sarana dan prasarana pendidikan yang cukup baik dengan murid-murid yang juga cukup “berkelas” dilihat dari tampilan pakaian yang mereka kenakan. Sebaliknya ketika kunjungan ke Yarin Public School, aku menjumpai hal yang cukup berbeda. Gedung yang kurang terurus meski berlantai tiga, ruangan kelas yang kotor dengan kursi-kursi tua serta yang paling pokok dengan kondisi murid-muridnya yang terlihat dari pakaiannya dari warga yang kurang mampu.

Dari perbincanganku dengan Nisrinne Matta, seorang Language Assistant yang menemani kami berkunjung ke salah satu sekolah swasta di kawasan Dibil, Lebanon Selatan pada 11 Desember 2012, diperoleh informasi bahwa demikianlah kondisi pendidikan di Lebanon. Menurutnya, pendidikan formal di Lebanon dimulai untuk anak usia 3 sampai 4 tahun. Pendidikan dasar terdiri dari dua tingkat, : dasar dan menengah. Tingkat dasar dimulai dari kelas 1 sampai 3 (siklus 1) dan kelas 4 sampai 6 (siklus 2). Tingkat menengah adalah kelas 7 sampai 9 (siklus 3). Untuk pendidikan menengahnya terdiri dari kelas 10 sampai 12 (masuk siklus 4)

Sistem pendidikan di Lebanon terpusat dan dikelola melalui biro pendidikan daerah yang berada di bawah naungan kementerian pendidikan. Sekolah umum diawasi oleh biro pendidikan daerah yang berada di masing-masing distrik atau gubernuran. Biro pendidikan daerah ini berfungsi sebagai penghubung antara sekolah umum dan direktorat pendidikan di kantor pusat kementerian pendidikan Lebanon. Sedangkan sekolah swasta memiliki organisasi sendiri, meski masih tunduk pada otoritas kementerian pendidikan. Sekolah publik (negeri) dibeayai oleh Kementerian Pendidikan, sedangkan untuk sekolah swasta dibeayai oleh siswa (sebagian besar orang tua siswa dari sekolah ini umumnya memiliki perekonomian yang cukup mapan). Sebagian beaya pendidikan di Lebanon diambil dari dana non-pemerintah seperti bantuan dari perusahaan-perusahaan swasta hingga badan-badan internasional seperti Bank Dunia (Word Bank) dan United Nation Development Program (UNDP).

Halo Indonesia!

Dalam kunjungan kami ke Public School di Yarin, banyak kenangan menarik yang kami dapatkan, terutama bagiku yang jarang memiliki kesempatan berbincang-bincang dan berkenalan dengan anak-anak Lebanon. Saat kunjungan ke sekolah yang jaraknya sekitar 45 menit perjalanan dari markas kami di Naqoura, Lebanon Selatan, anak-anak berusia 5-7 tahun di sekolah ini langsung menyongsong kedatangan kami. Dengan “malu-malu kucing” didampingi seorang guru pendamping, mereka mengerubungi kami. Sebagian bertanya dalam bahasa Arab yang kurang aku mengerti. Sebagian lagi melihat-lihat kamera Nikon yang aku pegang. Demikian pula kedua rekanku mulai berkenalan dengan anak-anak lucu dengan bahasa yang aku yakin “tidak menyambung”. Kadang terdengar kata-kata bahasan Arab dari mulut kecil si anak, kadang bahasa Inggris dengan campuran bahasa Indonesia dari kedua temanku yang memang seringkali konyol.

[caption id="attachment_246558" align="alignnone" width="300" caption="Halo Indionesia!"]

1362227547848535563
1362227547848535563
[/caption]

Melihat kesempatan yang cukup bagus tersebut aku langsung mengabadikan aktifitas mereka dalam kamera bawaanku. Kesempatan ini sulit didapatkan karena pada umumnya warga Lebanon termasuk alergi terhadap kamera. Namun kali ini tidak. Beberapa kali aku jeprat-jepret mengambil gambar, mereka senang demikian pula guru pendamping. Ketika aku minta untuk mengucap dua kata sembari berfoto, “ Halo Indonesia!” mereka pun mau dan menurut. Secara tidak langsung aku berusaha memasukkan satu kata dalam memori anak-anak tersebut dengan satu kata baru, “Indonesia” yang aku yakin mereka sendiri bingung, apa itu Indonesia.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun