Mohon tunggu...
syafrudin prakoda
syafrudin prakoda Mohon Tunggu... Tentara - Masih banyak belajar

Selalu berusaha untuk bisa menulis.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Catatan Kecil dari Lebanon-12: Namaku, “Supradin!”

27 Februari 2013   04:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:37 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_245966" align="alignnone" width="440" caption="Namaku yang sulit dieja serdadu Italia"][/caption]

Nama adalah hadiah pertama bagi seseorang yang baru lahir dari Orang Tuanya, arti sebuah namatentunya berbeda-beda namun memiliki peranan penting bagi kehidupan seseorang. Orang bijak berkata, apalah arti sebuah nama?. Namun sebagian akan berkata lain bahwa dalam sebuah nama ada harapan yang digantungkan pada seseorang yang tercermin dari namanya. Sementara itu ada pula yang berkomentar bahwa dalam sebuah nama tercermin karakter si empunya nama dan juga menunjukkan budaya dan asal seseorang.

Dalam budaya Indonesia, pemberian nama menunjukkan bahwa nama bukanlah sesuatu yang “tanpa makna”, ini tercermin dari rumitnya upacara adat dalam pemberian nama seseorang. Budaya yang umum kita kenal adalah pembuatan bubur merah putih (pada budaya Jawa).Dalam masyarakat dunia saat ini, nama menunjukkan tanda pengenal dari seseorang. Sebagai langkah awal nama itu akan dituangkan dalam akte kelahiran. Seperti kita ketahui dalam akte kelahiran akan dituliskan nama, nama orang tua, tempat tanggal lahir, jenis kelamin. Itulah tanda pengenal standar dari seseorang manusia yang lazim kita kenal saat ini.

Bila suatu saat seseorang ingin berganti nama, maka orang tersebut harus mengajukan permohonan ke pengadilan negeri tempat ia berdomisili. Mengapa harus dengan putusan pengadilan? Karena ini menyangkut seluruh hak-hak perdata dari yang bersangkutan, sehingga perlu ada penetapan dari pengadilan negeri untuk memperkuat perubahan nama tersebut, agar tidak menim-bulkan dampak di kemudian hari.

Bagaimana dengan proses pergantian nama tak resmi yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari? Tentunya tidak memerlukan proses yang berbelit-belit seperti dalam gambaran di atas. Nama panggilan sehari-hari misalnya, seseorang bisa saja berganti nama dengan nama yang tidak sesuai dengan catatan administrasi yang layaknya berlaku di masyarakat. Sebagai contoh, seseorang bernama asli Budi, karena badannya kurus kering orang-orang lebih akrab memanggilnya “ceking”di mana nama alias atau julukan ini secara berkelanjutan akan terus melekat pada dirinya. Pada suatu ketika tidak tertutup kemungkinan, justru orang mulai melupakan nama aslinya sebagai “Budi”. Demikian seterusnya termasuk pula sejumlah artis yang terkadang masyarakat tidak tahu nama aslinya.

Terkait dengan makna sebuah nama ini, aku akan sedikit menceritakan namaku yang secara “bertahap” ada kecenderungan bergeser menjadinama yang aku sendiri terkadang tertawa mendengarnya. Nama lengkapku sebenarnya Mohamad Syafrudin. Namun untuk mempermudah orang mengenalku, aku menuliskan nama belakangku saja yakni “ Syafrudin” yang dibordir di atas saku kanan seluruh baju dinasku dalam penugasan di Lebanon.

Saat awal perkenalan dengan 6 orang tentara Italia yang menjadi mitra kerja kami di Satgas MCOU Unifil, mereka rata-rata sangat sulit menghafal namaku dengan benar termasuk Chiefku Mayor Pier Paolo De Salvo. “ Saf ….. ru…. Din.! “ demikian sang Mayor mengeja namaku dengan benar. Tapi ketika aku minta dia menyebut lengkap namaku tanpa dieja, ia langsung menyebut sebuah nama, “ Supradin” dengan logat Italia yang khas dan lucu. Aku suruh ulang kembali tetap saja, nama “Supradin” yang keluar dari mulutnya. Saat itu aku berpikir sang Mayor bergurau sehingga aku mendatangi sang WO3 Fabio Cortese, Chief Tcos MCOU. Seperti halnya Paolo, Fabio pun mengeja namaku dengan benar, “ Saf … ru … din…” tetapi ketika menyebut namaku tanpa dieja, kata yang keluar adalah “Supradin”. Aku ketawa ngakak. Demikian pula untuk MCOU Commander Mayor Antonio Caragnano, meskipun pangkatnya “tinggi” tapi tetap saja kalah dengan anakku yang baru TK dalam mengeja namaku. Dasar bule! Daya ingatnya yang kurang, atau lidahnya yang “ketekuk” sehingga menyebut nama pendek begitu saja sulitnya minta ampun, demikian pikirku. Namun akhirnya aku menyadari bahwa bukan mereka yang salah melainkan namaku yang kemungkinan terlalu “sulit” dihafal dengan logat khas Italia.

Sampai sekarang, menginjak bulan ketiga penugasan, seluuruh personel Italia tetap memanggilku dengan nama “Supradin” atau pendeknya, “Supra … Supra…!” . Sedangkan untuk rekan-rekanku, sebagian memanggilku dengan nama yang benar yakni “Syafrudin”, namun sebagian lagi lidahnya juga mulai “ketekuk” sehingga “latah” ikut memanggilku dengan sebuah kata yang mulai akrab di telingaku, “Supradin!”.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun