Mohon tunggu...
Mutaya Saroh
Mutaya Saroh Mohon Tunggu... -

Sedang belajar bahasa dan sastra indonesia di UNY. Senang membaca dan menulis. Bermimpi kelak akan menjadi penulis.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Princess, Belajar Menjadi Ratu

25 Juli 2013   16:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:03 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak bisa menjadi seorang princess terus menerus, tapi juga tak mampu menjadi seorang pelayan yang baik untuk orang lain. Ah, begitu banyak perenungan yang saya lakukan selama beberapa hari ini. Hasil dari bekerja di sebuah warung makan. Atmosfer kerjanya tak pasti. Atau mungkin sayalah yang belum menemukan iramanya dengan benar. Sehingga menyebabkan kekacauan, tempat yang tadinya tenang itu, dengan kebiasaan irama kerja yang sudah ada, tiba-tiba saja berubah gara-gara ada orang baru seperti saya. Lebih tepatnya, lebih banyak adanya emosi daripadakebenaran. Saya melakukannya diluar kesadaran saya. Memang ada unsur kesengajaan, tapi terjadi di atas ketidaktahuan saya.

Yah, sayalah yang kurang memahami atmosfernya, ketika merasa sudah menemukan dengan benar, kenyataannya saya berada di daun pintu yang salah. Saya buka hal-hal yang sudah lama tertutup, sehingga menyebabkan bau busuknya keluar lagi.

Saya yang tadinya biasa dilayani, sekarang memilih untuk melayani,hanya untuk-dengan sengaja-mempelajari dunia nyata, dan mengurangi kekurangan dalam diri saya. Agar setidaknya mendekati kata lebih baik dari sebelumnya, mencapai taraf kebijaksanaan yang khusus. Saya tidak bisa berhenti di satu tempat, tapi saya bisa berlabuh dulu di satu tempat. Untuk sejenakbelajar, mengerti, dan mencatat situasi tempat yang sedang saya gunakan untuk berlabuh. Karena bagaimanapun juga, seseorang yang berlayar membutuhkan tempat untuk beristirahat sejenak. Meminum segelas anggur, atau arak terlbih dahulu, agar pikiran dan tubuh menjadi rileks kembali, hal ini terinspirasi dari keseluruhan cerita One Piece. Untuk mencapai One Piece, kita perlu melewati banyak rintangan. Tantangan, dan ditantang, atau sesekali kita perlu menantang untuk mendapatkan sesuatu. Saat itu, terkadang perlu menyembunyikan jati diri kita sendiri, maksud saya siapa diri kita sebenarnya, agak tidak menjadi terlalu aneh dan asing di tempat baru tersebut. Intinya menyesuaikan diri dengan tempat yang menjadi tempat singgah kita sementara waktu. Proses beradaptasi proses yang terbilang mudah, hanya perlu mengidentifikasi sebagai –mereka-.

Saya sedang melakukannya, dan rupanya level tempat ini memiliki nilai lebih dari tempat saya berproses sebelumnya. Suatu saat nanti princess harus menjelma menjadi ratu, begitulah pikir saya bermain-main di dalam imajinasi, dan untuk menjadi ratu dia akan mengenakan mahkota. Kelihatannya ringan, mengkilat karena dilapisi emas, tapi kenyataannya, mahkota kecil dikepalanya itu adalah simbol seluruh beban dan tanggungjawab pada keberlangsungan kehidupan manusia ditanggungnya. Berharaplahbahwa lehernya tak patah karena berputus asa lelah menyangga. Berharaplah bahwa semakin jauh dia melangkah, semakin anggun dia bersikap, semakin bijak pula dia bertutur, semakin tepat pula dia mengambil keputusan dengan jari-jarinya yang rapuh.

Ya, perjalanan, sang princess untuk menjadi ratu membutuhkan perjalanan untuk mendapati dirinya telah berubah menajdi ratu yang penuh dengan keluhuran, setidaknya di dalam dirinya tercipta Sembilan puluh Sembilan Asmaul Husna. Sifat-sifat yang mirip dengan sifat-sifat kebaikan nabi dan Tuhan kita.

Saat ini, princess yang satu ini masih dalam masa pertumbuhan, mendekati bahaya, berjalan sendirian di kala malam. Hidup bagai vampire, dia memilih tidur di saat matahari di atas ubun-ubun. Sebelum itu, dia mengambil buku dan membaca hingga matahari setinggi galah. Setelahnya, dia akan menulis, atau jika sedang baik intuisinya, dia akan menggambar. Sebagaimana pesan dunia, sang ibu ratu yang menjaganya, bahwa dia tetap harus peka terhadap situasi dunia, kepekaan itu dilatih dengan mendekatkan diri pada dunia seni. Pada keheningan, pada kesunyian, yang hanya di waktu-waktu tertentu saja hal itu ada. Sang ratu jagad, mengatakan, waktu-waktu itu hadir di jam sepertiga malam hingga matahari di waktu Pukul 10.00 Wib. Maka, princess yang telah memahami tanggungjawab dan kewajibannya sadar untuk mengikuti saran sang ibu ratu, bunda sekaligus gurunya, untuk tidak tidur di jam-jam itu. Melainkan meditasi, dalam bentuk membaca, menulis, atau menggambar, dia akan memilih salah satunya.

Berjalan di malam hari, saat orang lain-mungkin-telah tidur lelap, berkelana jauh ke dalam mimpi sebagai sesuatu keinginan yang tertunda, hingga akhirnya menjelma menjadi bunga tidur, kata Freud tentang mimpi. Princess tidak memiliki kesempatan bunga tidur di malam hari, princess memilih melihat landscape, sebagai bagian dari latihan mentalnya untuk menjauhkan diri dari rasa takut. Supaya princess memahami malam sebagai sebauh perjalanan yang sunyi, penuh bahasa kalbu. Di sanalah letak kegelisahan orang-orang mengabadi. Di saat siang hari, kegelisahan itu menyingkir, menghilang sejenak karena ada cahaya yang melingkupi, karena cahaya itu berupa kesibukan, tapi ketika malam tiba, ketika orang-orang berkumpul lagi dengan keluarganya masing-masing, dengan cerita-cerita, dengan ruang-ruang yang menghadirkan pesona. Mereka terpesona, dan tanpa sadar, menyerukkan kegelisahan mereka yang sudah menghimpit di dalam hati. Menjeritpun tak mampu dalam bahasa, hanya dalam kalbu. Akhirnya menjelmalah ke dalam malam, sehingga orang-orang takut untuk keluar malam, karena yang akan mereka saksikan adalah ketakutan mereka sendiri. Bahwa malam adalah jeritan mereka sendiri. Kegelisahan mereka sendiri. Trauma-trauma yang ingin ditenggelamkan jauh-jauh. Ya, itulah malam.

Sementara princess, memiliki kewajiban untuk memahaminya. Dia memiliki kewajiban untuk menenangkan mereka yang takut pada malam suatu hari nanti. Yang dipikirkannya, saat berjalan di jalanan sepi itu, apakah dia harus menyampaikan kebenaran tentang malam lewat prosa atau syair? Akan lebih menyadarkan yang mana? Princess pun akhirnya menulis, tanpa sadar dia berpuisi. Tentunya syair yang baru saja digubah oleh tangan dan seluruh pikirannya itu berasal dari kesantunan hati nuraninya yang berhasil menyentuh malam dengan mesra. Dengan suatu keintiman.

Sambil menutup bukunya, princess meminta maaf pada yang telah dilihatnya, bahwa masih belum bisa melakukan apapun, hanya bisa merepotkan dan membikin semua orang pusing. Princess masih begitu muda, masih perlu proses panjang untuk menggantikan ibu ratu.

Yogyakarta, 25 Juli 2013

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun