Mohon tunggu...
Muhammad Reza Zaini
Muhammad Reza Zaini Mohon Tunggu... -

An anthropolgy and sociology enthusiast. Bachelor from FISIP UI.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mistisme Cina Benteng: Asimilasi Folklor Sunda dan Tionghoa di Serpong

10 Januari 2015   00:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:27 1920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Xenophanes, seorang filsuf asal Yunani kuno abad ke-5 SM, pernah mengandaikan bahwa Tuhan atau agama adalah cerminan budaya masyarakat yang menganutnya. Mengenai ide tersebut, Xenophanes mengatakan pemikirannya lewat dua kalimat ini: “Apabila kuda dapat berpikir dan memiliki agama, mereka akan menggambarkan Tuhan mereka seperti kuda”. “Orang Ethiopia memiliki para dewa yang berkulit hitam, sementara orang Thracia memiliki para dewa yang bermata biru dan berkulit putih”. Bila Xenophanes mengatakan demikian, apakah legenda dan mistisme juga merupakan cerminan kebudayaan masyarakat yang mempercayainya? Tentu saja jawabannya adalah ya.

Legenda dan mistisme merupakan bahasa sehari-hari dari istilah Antropologi yang dikenal sebagai folklor. Definisi folklor (Dalam Bahasa Inggris disebut sebagai folklore) adalah legenda, pengetahuan, seni tradisional yang disalurkan secara informal dan (umumnya) verbal yang memiliki dimensi artistik dan ekspresif. Folklor adalah legenda, tidak seperti fakta sejarah yang dapat diverifikasi kebenarannya. Maka, folklor adalah bagian kecil dari kebudayaan –yang menurut Koentjaraningrat didefinisikan sebagai “Keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia, yang dijadikan milik diri manusia dengan cara dipelajari (disosialisasikan)”. Berdasarkan definisi itu, Koentjaraningrat secara tidak langsung menyatakan bahwa kebudayaan dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni yang bersifat tangible (bersifat nyata, seperti pakaian, rumah dan lukisan)dan intangible (bersifat abstrak, seperti legenda, agama, dan bahasa, termasuk diantaranya folklor). Jika folklor adalah cerminan dari kebudayaan suatu masyarakat –seperti halnya agama– bagaimanakah jika terdapat dua (atau lebih) budaya saling melebur dan bercampur-baur sedemikian baiknya? Apakah ia akan menghasilkan kisah legenda lokal yang unik?

Desa Sampora dan Desa Situgadung adalah sebuah desa yang terletak di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten, Indonesia. Kedua desa ini memiliki penduduk keturunan Tionghoa yang telah hidup dan melebur dengan pribumi secara turun-temurun. Secara umum, mereka dapat disebut sebagai Cina Benteng, atau peranakan Tionghoa yang hidup di pedesaan Tangerang. Hal yang membedakan Cina Benteng dengan Etnis Tionghoa lain di Indonesia adalah akulturasi mereka yang relatif tinggi terhadap kebudayaan pribumi. Lebih jauh, Cina Benteng di Desa Sampora dan Situgadung bisa dikatakan memiliki akulturasi yang lebih jauh dibandingkan dengan Cina benteng lainnya di Tangerang. Mengapa? Ternyata, di sekitar desa tersebut, bukan hanya aspek kebudayaan pribumi-Tionghoa yang bersifat tangible saja yang saling melebur. Kebudayaan yang bersifat intangible pun juga melebur dengan baik. Satu aspek kebudayaan intangible yang paling melebur dalah folklor, atau dalam istilah yang sering digunakan di Indonesia –mistisme.

Jejak Pemukin Tionghoa di Kampung Sunda

Kedua desa ini terletak di sekitar Tangerang, sebuah kota yang terletak persis di luar Jakarta –Ibukota Indonesia. Berbeda dengan kebayakan kota di Jawa, Tangerang identik dengan sejarah Tionghoa. Namanya saja berasal dari Bahasa Mandarin, Tang Lan (唐人) yang artinya “Orang dari Dinasti Tang”. Bahkan beberapa wilayah di dekat Sampora dan Situgadung masa kini juga memiliki asal-usul penamaan Tionghoa, seperti Desa Lengkong –sebuah desa tetangga– yang berasal dari kata Hokkien (Salah satu dialek mandarin), Liong-Kong, yang artinya “Naga Tua”. Nama Sampora sendiri berasal dari dialek Hokkien, Sam, yang memiliki arti “Tiga” dan digabungkan dengan kata Sunda Pure, yang artinya “Mahkota” dalam Bahasa Sunda. Mungkin bukti nyata dari lamanya kehadiran etnis Tionghoa di Tangerang adalah Klenteng Boen Hay Bio, yang didirikan pada tahun 1694!

Bukti sejarah yang telah dipaparkan juga mendukung fakta bahwa Cina Benteng sudah tinggal di kedua desa ini dalam waktu yang sangat lama. Beberapa warga mempercayai bahwa sebagian nenek moyang mereka adalah pendatang Tionghoa yang terdampar di Teluk Naga di sekitar abad ke-17 M atau bahkan sebelumnya. Namun uniknya, terdapat pula banyak pihak setempat mengklaim bahwa Etnis Tionghoa di wilayah ini merupakan garis keturunan dari bala tentara Tiongkok yang ditugaskan untuk mengawal seorang permaisuri Tiongkok guna menemui seorang raja Sunda (Akan dijelaskan dalam bagian selanjutnya).

Karena penduduk Tiongkok sudah datang sejak dahulu kala, kedua desa tersebut memiliki sejarah pendirian oleh para pemukim Tiongkok. Lagi-lagi, kisah lokal menuturkan bahwa penduduk Tionghoa merupakan para pembuka lahan bagi desa ini. Idris Nasihun, seorang mantan kepala desa dan ustadz lokal, mengatakan bahwa para pemukim Tiongkok setidaknya merupakan pembuka lahan bagi Desa Situgadung:

“Dahulu kala, penduduk lokal akan memperluas pemukiman mereka dan membuka lahan di hutan-hutan dekat kampung. Ketika mereka sedang mengngukur, mereka bertanya ke seorang Jaro [Juru ukur-Penulis] mereka tentang nama tempat tersebut. Jaronya adalah keturunan Tionghoa asli daerah ini, dan merupakan keturunan jauh dari Pai Lim Bang [Seorang tokoh Tionghoa lokal-Penulis].Ternyata Jaro tersebut melihat seorang gadis muda Tionghoa asli kampung ini yang juga merupakan keturunan pembuka lahan kampung. Karena tertarik dengan si Amoy, sang Jaro menamakan daerah tersebut sebagai Kampung Amoy. Sebab, gadis muda dalam budaya Tionghoa disebut sebagai Amoy. Jadilah kampung ini disebut kampung Amoy.”

Meski Pak Idris –panggilan akrab Idris Nasihun– tidak mengetahui secara pasti tahun pendiriannya, ia menyatakan keyakinan atas kisah tersebut. Sebab, para pemukim Tionghoa yang telah disebutkan merupakan nenek moyang para penduduk Tionghoa di desa ini. Bahkan, para pemukin Tionghoa yang dimaksud juga merupakan nenek moyang Pak Idris yang merupakan seorang pribumi. Hal ini disebabkan karena para peranakan Tionghoa melakukan kawin campur dengan para perempuan pribumi. Sehingga keturunannya adalah campuran peranakan antara Tionghoa-Sunda. Pak Idris sendiri merupakan salah satu bukti kawin campur antar-etnis ini.

Gambar 1. Silsilah Keluarga Pak Idris. Dari pihak ibunya, Pak Idris memiliki garis keturunan Etnis Tionghoa. Warna cokelat menggambarkan etnis pribumi yang menjadi nenek moyang Pak Idris dan warna kuning menggambarkan etnis Tionghoa yang menjadi nenek moyang Pak Idris. Garis putus-putus menandakan garis keturunan yang tidak diketahui Pak Idris. Pak Idris sendiri mengakui bahwa dirinya adalah seorang pribumi, bukan Cina Benteng.

Abah (Ayah dalam Bahasa Sunda) Pak Idris menurutnya merupakan keturunan ke-delapan dari Ki Demang Arya Jaya Sampurna, pendiri Desa Sampora. Ki Demang Arya Jaya Sampurna, yang makamnya dikeramatkan di dekat situs pemakaman Tionghoa, dijuluki sebagai Eyang Trusmi, dari nama sebuah daerah di dekat Indramayu, Jawa Barat. Usut punya usut, Ki Demang Arya Jaya Sampurna adalah titisan dari sosok Eyang Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi (Raja Jayadewata) dalam kebudayaan Sunda dikenal sebagai figur yang sangat penting, mengingat ia adalah raja Kerajaan Pasundan di masa kejayaan Pasundan!

Berbeda dengan pihak ayahnya, ibu Pak Idris memiliki silsilah keturunan Tionghoa. Menurutnya, jejak Tionghoa dalam keluarganya dapat dirunut ke buyutnya yang dikenal sebagai Uyut Ikut. Ia adalah seorang Tionghoa yang menikah dengan perempuan pribumi. Nenek dari pihak ibu Pak Idris kemudian lahir dari kawin campur ini. Perhatikan, meski Uyut Ikut dikatakan sebagai etnis Tionghoa, tapi ia justru memiliki nama Sunda! Uyut Ikut adalah anak dari Bo Peng, yang merupakan keturunan dari bala tentara Tiongkok pimpinan Tjin Tjing Liang yang ditus untuk mengawal Ong Tien Nio. Siapakah Tjin Tjing Liang dan Ong Tien Nio itu? Meski memiliki nama Tionghoa, namun mereka adalah bagian dari folklor desa ini yang juga dipercayai oleh para pribumi.

Gambar 2. Idris Nasihun, mantan kepala desa yang juga merupakan pemimpin spiritual bagi masyarakat lokal. Nampak dalam gambar berikut Pak Idris berada di pondok yang dibuatnya di depan makam keramat Ki Demang Arya Jaya Sampurna alias Eyang Trusmi.

14207983401576587125
14207983401576587125

Ketika Ulama Sunda bertemu Permaisuri Tiongkok

Kisah bagaimana folklor dan legenda Sunda dapat berdampingan dengan budaya Tionghoa di desa ini dimulai dengan kisah kedatangan Permaisuri Tiongkok untuk menemui Syarif Hidayatullah. Permaisuri yang dimaksud tak lain bernama Ong Tien Nio. Tidak dijelaskan dari wilayah mana di Tiongkok Ong Tien Nio berasal atau dari keluarga atau pemerintahan mana ia hidup. Namun yang pasti, Ong Tien Nio hidup di sekitar Tiongkok selatan pada masa Dinasti Ming, sebab kedatangannya tercatat pada Kitab Tina Layang Parahyangan –sebuah kitab yang berisikan kronik sejarah Kerajaan Sunda– di sekitar abad ke-15 Masehi.

Berdasarkan situs resmi Pemerintah Kota Tangerang, kedatangannya tercatat dalam kitab Tina Layang Parahyangan. Kitab tersebut menunjukkan sebuah bala tentara dari Tiongkok datang pada tahun 1407. Tulisan sejarah tidak memberikan kejelasan apakah kelompok tentara ini bermaksud untuk mengawal seorang ningrat guna menemui Syarif Hidayatullah atau tidak. Sebab bila memang ia datang ke Tangerang seperti yang dinyatakan oleh kitab Tina Layang Parahyangan, maka Syarif Hidayatullah belum lahir pada tahun 1407. Meskipun sedikit bertentangan dengan peristiwa sejarah yang diyakini secara luas, cerita ini adalah pemaparan berdasarkan kepercayaan warga lokal.

Gambar 3. Syarif Hidayatullah atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Ia dikenal sebagai salah seorang tokoh penyebaran Agama Islam di Jawa.

14207985551665579666
14207985551665579666


Mengapa Ong Tien Nio tertarik untuk datang ke Jawa Barat? Singkat cerita, ia bertekad sepenuh hati untuk bertemu dengan seorang tokoh lokal bernama Syarif Hidayatullah. Legenda lokal menceritakan bahwa Syarif Hidayatullah pada suatu masa pernah pergi dan menetap di Tiongkok untuk menimba ilmu dalam bidang pengobatan. Cerita ini adalah yang sangat unik bagi mereka yang mendalami sejarah Sunda. Sebab, sejarah Syarif Hidayatullah bahwa ia pernah menetap di Tiongkok belum diverifikasi secara luas dan hanya ditemukan di desa ini saja. Belum pernah ada cerita Syarif Hidayatullah seperti ini di wilayah Kebudayaan Sunda lainnya. Terlepas secara historis benar atau tidak, ini merupakan sebuah folklor yang unik.

Kabarnya, ilmu dan keahlian Syarif Hidayatullah di Tiongkok menyebar luas, hingga membuat namanya tenar. Kabar inilah yang akhirnya memukau permaisuri lokal –Ong Tien Nio. Namun sayang, Syarif Hidayatullah sudah terburu pulang ke Jawa begitu Ong Tien Nio mendengar kabar tersebut. Ong Tien Nio tertarik untuk menjadi pendamping Syarif Hidayatullah dan ia pun bertekad untuk menemuinya di Jawa. Dalam perjalanan ini, Ong Tien Nio dikawal bala tentara menuju Jawa.

Lalu apa hubungannya dengan Desa Sampora dan Situgadung? Legenda lokal mengatakan bahwa para tentara Tiongkok tersebut tidak pulang ke negeri asal mereka setelah misi mengantarkan Ong Tien Nio selesai. Kemana perginya mereka? Ternyata mereka diyakini menetap di daerah yang sekarang menjadi Desa Sampora dan Situgadung dan menikahi perempuan pribumi setempat. Ratusan tahun kemudian, keturunan mereka adalah etnis Tionghoa yang kini tinggal di desa tersebut!

Mbah Saleh: Jawara Kung Fu Tiongkok yang Menjadi Tokoh Muslim Berjiwa Sunda

Diantara para tentara Tiongkok tersebut, terdapat satu nama yang paling diingat oleh legenda lokal, yakni Tjen Tjie Lung (versi lain menyatakan bahwa namanya Tjin Tjing Liang). Tjen Tjie Lung yang tergabung dalam pasukan pengawal Ong Tien Nio merupakan seorang pesilat handal. Diantara pasukannya, Tjen Tjie Lung dikenal sebagai salah satu yang memiliki bakat silat yang paling baik.

Saat mengawal Ong Tien Nio di Jawa Barat inilah, Tjen Tjie Lung dikabarkan tertarik dengan ajaran Islam. Tjen Tjie Lung pun akhirnya masuk Agama Islam dan tinggal di Jawa untuk selamanya –suatu keputusannya yang membuat dirinya melebur dengan kebudayaan Sunda lokal.

Setelah masuk Islam, Tjen Tjie Lung dikenal sebagai Muhammad Soleh atau yang dipanggil oleh para pribumi sebagai Uyut Soleh. Tjen Tjie Lung alias Muhammad Soleh akhirnya menjadi tokoh Muslim di daerah sekitar. Karena dituakan, ia akhirnya juga dipanggil sebagai Mbah Soleh.

Lalu, apa saja jasa Mbah Soleh sehingga namanya dikenang hingga kini? Pertama, Mbah Soleh diyakini berjasa sebagai tetua Agama Islam di sini. Pendekatannya dengan kebudayaan Sunda dalam menyebarkan dan membina pengikut Agama Islam mengikat hati warga lokal. Kedua, Mbah Soleh diyakini menjaga lokasi tempat ia tinggal dengan reputasinya sebagai jagoan silat. Saking dikenalnya, namanya diabadikan menjadi nama sebuah sungai kecil di dekat desa, yakni Cibasaleh. Sungai dalam Bahasa Sunda seringkali dimulai dengan awalan ci- yang berarti “air”. Oleh karena itu, Cibasaleh dapat dikatakan sebagai air dari Mbah Soleh, mengingat jasanya yang menghidpkan penduduk lokal.

Di Indonesia sejarah menakankan bahwa Agama Islam dibawa oleh orang “asing” dari Arab, Persia atau India. Sejarah juga membuktikan bahwa Orang Tionghoa juga berjasa dalam penyebaran Agama Islam, teruata di Jawa. Raden Patah yang merupakan setengah Tionghoa atau Kyai Hasyim Asy’ari yang dikabarkan memiliki nenek moyang Tiongkok dengan nama marga Tan. Namun hal yang baru di desa ini, bahwa ada seorang Tionghoa asli dan dikonfirmasi sebagai Etnis Tionghoa, memiliki peran dalam penyebaran Agama Islam!

Tjen Tjie Lung sudah lama meninggal. Tapi beberapa penduduk lokal masih mempercayai bahwa arwah Tjen Tjie Lung membawa keberkahan bagi desa tersebut. Setidaknya itulah alasan mengapa makam “Uyut Soleh” kini masih dirawat oleh seorang penjaga yang bernama Sim Soen Bie.

Kisah Pak Soen Bie: Dari Sahadatan ke Kuncen Tionghoa

Di seberang Sungai Cibasaleh, terdapat sebuah makam keramat yang sekarang telah dipagari dan ditumbuhi tumbuhan lebat. Sebelumnya, warga mengingat makam keramat tersebut dijaga oleh seorang pria tua bernama Sim Soen Bie. Pak Soen Bie –begitu ia biasa dipanggil– kini sudah tidak menjaga makam itu lagi. Ia kini tinggal bersama istri, anak dan cucunya di Desa Sampora sembari berkebun untuk mengisi waktu luangnya.

Pak Soen Bie dahulu secara sukarela menjaga makam Tjen Tjie Lung alias Uyut Soleh, karena diyakini makamnya membawa keberkahan bagi penduduk sekitar. Tugasnya sebagai penjaga makam disebut sebagai kuncen. Di Indonesia, istilah kebudayaan kuncen erat dengan kepercayaan spiritual pribumi –terutama di Pulau Jawa. Budaya Tionghoa tidak mengenal adanya pemangku adat setingkat kuncen. Itupun yang paling dekat adalah pengurus klenteng yang juga bertanggung jawab pada altar/ruang penyembahan roh nenek moyang.

Kuncen adalah kebudayaan pribumi yang lazim ditemui di Pulau Jawa saja. Asal katanya pun berasal dari Bahasa Jawa, yakni pakuncèn, yang diartikan sebagai “rumah juru kunci”. Juru kunci adalah seseorang entah ditugaskan atau secara sukarela menjaga situs keramat, mulai dari makam, tempat bersejarah, hingga Gunung Merapi sekalipun! Belakangan kata pakuncèn berkembang hingga hilang awalannya menjadi dan hanya disebut sebagai kuncen, yang kurang lebih bila diterjemahkan ke Bahasa Indonesia adalah “juru kunci”. Mungkin desa ini adalah desa satu-satunya di Indonesia yang memiliki seorang kuncen Tionghoa!

Bagian terdahulu tulisan ini menceritakan bagaimana kepercayaan lokal masih meyakini bahwa Tjen Tjie Lung masih berada di dunia ini. Setidaknya itulah yang ditujukkan oleh Pak Soen Bie. Ia diceritakan seringkali kesurupan arwah makam yang dijaganya –Tjen Tjie Lung alias Uyut Soleh. Pak Soen Bie yang awalnya sudah renta diceritakan dapat melakukan gerakan Kung Fu dan melompati pepohonan saat disurupi arwah Tjen Tjie Lung. Meski begitu, Pak Soen Bie mengaku ia tidak mengingat hal itu dan menolak untuk membicarakannya kepada penulis.

Gambar 5. Soen Bie, seorang mantan Kuncen makam keramat Tionghoa sekaligus Sinseh. Kini ia sehari-hari bekerja megurusi lahan di halaman rumahnya.

1420798790223677238
1420798790223677238

Tidak hanya dikenal sebagai seorang penjaga makam, Pak Soen Bie juga dahulu juga dikenal sebagai seorang ahli pengobatan yang handal atau yang dikenal dengan istilah sinseh. Apa itu sinseh? Sinseh merupakan istilah ahli pengobatan tradisional di Tionghoa. Tidak seperti kuncen yang merupakan istilah kebudayaan pribumi, sinseh merupakan istilah kebudayaan Tionghoa.

Umumnya, sinseh menggunakan praktek khas kebudayaan Tiongkok seperti akupuntur dan ramuan alami termasuk kepercayaan tradisional Tionghoa, seperti Yin Yang dan lima unsur dunia (Air, api, kayu, besi dan tanah) untuk ritual pengobatan mereka.

Namun terdapat suatu hal mendasar yang sangat berbeda dengan sinseh di desa ini. Alih-alih menggunakan kepercayaan Tionghoa, mereka malah menggunakan campuran kepercayaan Sunda-Islam. Salah satu praktek adaptasi ajaran Sunda-Islam yang digunakan sinseh Soen Bie adalah Sahadatan, suatu istilah yang unik. Sahadatan memiliki akar kata dari Bahasa Arab, yakni Syahadat (شهد). Dalam Agama Islam, Syahadat adalah pernyataan seorang Muslim bahwa ia beriman kepada ajaran Islam. Kata syahadat tersebut kemudian diadaptasi ke Bahasa Sunda dengan ditambah akhiran –an, yang merubah kata benda menjadi kata kerja di dalam Bahasa Sunda. Sehingga, dari perpaduan tersebut terciptalah istilah sahadatan. Sayangnya, belum jelas apakah istilah ini adalah sebuah praktek kebudayaan yang sudah lama ada di desa tersebut, atau istilah baru yang diungkapkan oleh Pak Soen Bie.

Lalu bagaimanakah sahadatan itu dipraktekkan? Pak Soen Bie menceritakan bahwa ia mengobati pasien dengan menggunakan bahan-bahan pengobatan tradisional Tiongkok, namun dengan bacaan do’a-do’a Islam. Lebih jauh, Pak Soen Bie mengaku bahwa do’a Islam yang paling sering ia gunakan dalam ritual sahadatan adalah al-Fatihah. Uniknya, dalam ajaran Agama Islam, al-Fatihah diyakini sebagai do’a pembuka bagi berbagai ritual dalam Agama Islam. Ketika ditanya bagaimana dengan kepercayaan Pak Soen Bie yang beragama Buddha, ia hanya menjawab bahwa apapun agamanya, ia hanya meminmta Tuhan untuk membantu ia menyembuhkan pasiennya. Sungguh sebuah asimilasi yang sudah mencapai tingkat kepercayaan agama!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun