* Hasil argumen pribadi dari obrolan ringan dengan Prof. Tomiyuki Uesugi (Seijo University, Jepang):
Gambar diambil dari: Komik Strip Untuk Umum (Dengan seizin illustrator)
Ilustrasi di atas menggambarkan kondisi (atau menurut illustrator, sebuah keberhasilan) yang dialami Indonesia sebagai negara multikultural dalam membentuk identitas “Bangsa Indonesia”. Sebagai negara yang dibentuk di atas keanekaragaman budaya, konsep Bangsa Indonesia sebagai symbol pemersatu identitas secara normatif adalah konsep yang bersifat pluralis –dalam arti masih mengakui keanekaragaman kebudayaan lokal yang ada di masyarakat. Hal ini juga telah digambarkan dalam panel ke-3 ilustrasi, dimana seorang Bangsa Indonesia juga diperbolehkan untuk memahami bahasa dan kebudayaan leluhur mereka (termasuk bagi etnis non-pribumi).
Hal ini di atas kertas bersifat normatif, namun konsep tersebut pun pada prakteknya juga menuai masalah di sisi lain –terutama akibat misinterpretasi menganai siapakah yang dimaksud dengan “Bangsa Indonesia” dan simbol yang mempersatukannya. Apakah kita keliru mendefinisikan konsep “bangsa Indonesia”?
Bangsa Indonesia ≠ Etnis Non-Pribumi?
Wacana penggunaan identitas nasional mungkin tidak begitu problematik dalam konteks etnis pribumi –meski dalam konteks tertentu ada perdebatan mengenai identitas nasional dan kedaerahan di berbagai level. Namun di Indonesia, identitas nasional menjadi hal problematik bila bersangkutan dengan etnis non-pribumi (terutama Etnis Tionghoa), karena masih ada (setidaknya dahulu pernah ada) pandangan bahwa “Bangsa Indonesia” adalah bangsa “pribumi”. Otomatis negara mewajibkan warga etnis non-pribuminya untuk menggunakan simbol/atribut kebudayaan pribumi agar menjadi Bangsa Indonesia yang baik.
Memang, zaman telah berubah. Etnis Tionghoa kini diperbolehkan untuk menunjukkan identitas kebudayaan leluhurnya dengan relatif lebih terbuka. Namun setidaknya masih ada pandangan mainstream yang melihat bahwa menjadi seorang Etnis Tionghoa dan mempraktekkan kebudayaan dan bahasa leluhurnya “menodai” ke-Indonesia-an-nya –atau mungkin sebuah keharusan bagi Etnis Tionghoa untuk tidak mengungkit budaya leluhurnya untuk menjadi Bangsa Indonesia! Ke-Tionghoa-an seseorang menjadi hambatan bagi dirinya untuk menjadi seorang Bangsa Indonesia yang utuh!
Konsep Bangsa Indonesia
Presiden Sukarno sebagai bapak bangsa sendiri pernah memberikan definisi mengenai bangsa Indonesia melalui pidatonya di Kongres Baperki tahun 1963: “...Bangsa Indonesia adalah terdiri dari banyak suku, yaitu Suku Jawa, Suku Batak, Suku Minang, ... termasuk diantaranya suku Peranakan Tionghoa” (Suryadinata, 2010)”. Dari pemaparan Sukarno, nampak ia menggunakan definisi moderen untuk Bangsa Indonesia. Dengan kata lain, Indonesia dan Bangsa Indonesia bukanlah warisan kerajaan kuno pribumi Nusantara, namun adalah sebuah penemuan politik zaman moderen. Mengutip Siauw Giok Tjhan, bahwa seorang Tionghoa dapat menjadi bagian dari Bangsa Indonesia tanpa harus mempermasalahkan identitas Tionghoanya –sama halnya seperti orang Batak yang tidak mempermaalahkan identitas Bataknya atau orang Bugis yang tidak mempermasalahkan identitas Bugisnya.
Kembali ke ide Sukarno tentang konsep negara modern Indonesia. Sebagai bangsa sebuah negara modern, Bangsa Indonesia didefinisikan berdasakan konsep ius soli (dimanakah seseorang lahir, disitulah tanah airnya) bukan ius sanguinis (nenek moyang/orang tua individu menjadi penentu tanah airnya). Bukankah ketika ditanya apa definisi Indonesia, Sukarno mengatakan Indonesia adalah kepulauan di Asia Tenggara yang merupakan wilayah bekas jajahan Belanda, dan bukan rumpun Melayu?
Dilema
Ini tentu adalah dilemma negara multikultural. Kita mungkin pernah mendengar kisruh di neraga-negara Eropa Barat dan Utara mengenai keluhan pribumi beberapa negara tersebut atas berkembangnya budaya non-pribumi yang dianggap “menodai” budaya kebangsaan mereka. Kita sebagai Bangsa Indonesia tentu tidak ingin paham ini berkembang di negara kita. Di satu sisi bangsa multikultural ingin melestarikan budaya-budaya lokal, namun di sisi lain ingin mempromosikan budaya nasional untuk “persatuan” bangsa.
Dalam konteks etnis-etnis pribumi sepertinya tidak masalah, namun menjadi masalah bila berurusan dengan etnis non-pribumi (terutama Tionghoa). Inilah yang menjadi masalah dalam paradigma mainstream tentang Bangsa Indonesia, yakni masih menganggap bahwa Bangsa Indonesia seperti sebuah warisan Melayu-Austronesia dan bukan sebagai konsep ius soli yang moderen.
Identitas nasional sebagai Bangsa Indonesia itu penting, bahkan wajib. Tapi menggusur ekspresi kebudayaan etnis lokal (terutama non-pribumi) adalah hal yang salah. Bukankah kita juga patut berbangga bahwa negara kita adalah rumah dari salah satu komunitas Etnis Tionghoa yang paling beragam di dunia?
*Setagaya-ku, 14 Desember 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H