Tinta hitam kembali tertoreh dalam sejarah pluralisme Indonesia: Etnis Tionghoa di Tanjung Balai menjadi korban kerusuhan etnis –Sebuah wilayah yang pernah dikenal toleran terhadap keberagaman.
Bahkan rumah ibadah, yang tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah sepele pemicu kerusuhan, turut menjadi target.
Terlepas dari akar permasalahan yang ada, kerusuhan ini merupakan sebuah tindakan barbar. Mengapa tidak? Mengapa Anda harus menghukum seluruh komponen kesukuan ketika yang membuat masalah hanya satu bagian kecil dari identitas kesukuan tersebut?
Kerusuhan yang Berbeda
Meski ini kerusuhan anti-Tionghoa pertama dalam skala besar pasca-Mei 1998, kekerasan etnis secara massal (mass ethnic violence) memang bukan hal yang baru di Indonesia.
Insiden serupa sudah terjadi di berbagai belahan Bumi Indonesia!
Di Provinsi Lampung, suku Lampung merusak rumah etnis Bali karena ada seorang oknum Bali yang membuat onar di desa yang dihuni suku Lampung.
Di Kalimantan Tengah, suku Dayak melampiaskan kemarahan mereka terhadap seluruh suku Madura karena ada beberapa anggota suku Madura yang melakukan tindakan yang berseberangan dengan adat lokal.
Di Ambon, pemeluk agama Kristen melampiaskan kekesalan mereka ke seluruh pemeluk agama Islam karena mereka melihat ekonomi Ambon dikuasai oleh pendatang Bugis, Buton dan Makassar yang kebetulan beragama Islam.
Namun, saya secara pribadi merasa kerusuhan Tanjung Balai berbeda, terutama dalam dampak yang ditimbulkannya serta dalam potensi negatif yang dapat timbul.