Mohon tunggu...
Muhammad Reza Zaini
Muhammad Reza Zaini Mohon Tunggu... -

An anthropolgy and sociology enthusiast. Bachelor from FISIP UI.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Diaspora Indonesia: Sejarah Perantau yang Berkembang dan Terlupakan

4 Juni 2015   10:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:22 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sela-sela kepadatan kursus singkat pada salah satu universitas swasta di Tokyo, saya berkesempatan untuk mengikuti sebuah diskusi publik di Universitas Komazawa yang dibawakan salah seorang professornya –Pak Shigehiko Shiramizu.  Tidak seperti kebanyakan orang Jepang yang berbicara dalam Bahasa Inggris yang terbata-bata atau dengan logat Jepang yang kental, Pak Shiramizu berbicara dalam Bahasa Inggris yang lumayan fasih –Bahkan agak unik. Unik, sebab Pak Shiramizu berbicara dalam logat Hawaii yang sangat kental. Usut punya usut Pak Shiramizu sudah melanglang buana melakukan penelitian di satu-satunya negara bagian AS dimana kulit putih adalah minoritas tersebut selama 20 tahun lebih. Apa yang Pak Shiramizu teliti selama 20 tahun itu?

Pak Shiramizu meneliti budaya, adat-istiadat dan berbagai pranata sosial suku Peranakan Jepang yang berada di Hawaii. Menarik sekali: Ternyata Etnis Jepang adalah suku bangsa yang paling berpengaruh dan jumlahnya paling banyak di negara bagian AS tersebut. Seperti halnya Etnis Tionghoa yang bermigrasi ke Indonesia, mereka telah beranak-pinak dan melebur dengan kehidupan Hawaii. Akibat banyaknya Etnis Jepang di Hawaii, negara bagian tersebut memiliki hubungan kultural yang dekat dengan Jepang –Termasuk dalam institusi pemerintah dan pendidikannya.

Bagaimana dengan Indonesia? Bukankah suku pribumi Indonesia juga telah menciptakan diaspora di berbagai negara?

Lalu apakah diaspora itu? Diaspora adalah populasi suatu bangsa yang tersebar dalam beberapa area geografis. Secara ilmiah, seorang yang tinggal sementara dan kembali pulang ke negara asalnya (contohnya seperti ekspatriat) bukanlah masuk ke kategori diaspora, karena mereka tidak menciptakan sebuah masyarakat baru yang berada di luar wilayah kebudayaan mereka dan hidup di masyarakat baru tersebut.

Pertanyaannya mengapa diaspora Indonesia tidak begitu dikenal diantara masyarakat Indonesia? Tidak seperti –katakanlah– diaspora Tionghoa atau Arab? Pendidikan sejarah dan kebudayaan Indonesia, seperti buku pelajaran IPS dari bangku SD hingga SMA, selalu mengotak-kotakkan suku bangsa berdasarkan provinsi atau batas administratif-politis. Oleh karena itu, bila suku bangsa dikotak-kotakkan di provinsi mereka masing-masing, maka suku di Indonesia juga didefinisikan hanya mereka yang secara administratif ada di Indonesia. Para antropolog dan sosiolog Indonesia pun kebanyakan melihat bahwa suku-bangsa Indonesia hanyalah sebatas etnis-etnis yang menetap di wilayah de facto dan de jure Indonesia masa kini. Mereka seakan melupakan etnis-etnis asal Indonesia yang telah bermigrasi dan berkembang di luar negeri dan menciptakan sebuah masyarakat baru. Alhasil, boro-boro memiliki ikatan kultural dengan diaspora Indonesia di luar negeri, pemahaman orang Indonesia secara umum tentang diaspora suku-suku pribumi pun hampir tidak ada.

Bagaimakah kisah singkat diaspora Indonesia di luar negeri, berikut adalah penjabarannya:

BENUA ASIA

(1) Malaysia

Negara serumpun ini memiliki hubungan sejarah dan kultural yang erat dengan Nusantara kuno. Semenanjung Melayu yang beberapa kali masuk ke dalam wilayah kerajaan kuno Nusantara memiliki sejarah panjang persilangan budaya –Dan migrasi penduduk. Hal ini salah satunya dapat dilihat dari insiden “pencaplokan” budaya Indonesia oleh Malaysia. Ketika media massa Indonesia kebakaran jenggot karena Malaysia sempat “mengklaim” Reog Ponorogo, namun usut punya usut, Malaysia memiliki penduduk keturunan Jawa yang melimpah –terutama di negara bagian Johor. Ribuan Suku Jawa –terutama dari daerah Kulon Progo dan Ponorogo– bermigrasi ke Johor di Malaysia mulai dari abad ke-18 hingga awal abad ke-20. Meski keberadaan mereka nyaris terlupakan oleh media Indonesia, namun diaspora Jawa ini kebanyakan bekerja di perkebunan Johor –Entah secara sukarela atau menerima kontrak dari Pemerintah Kolonial Inggris, yang mereka anggap bisa memperlakukan buruh pribumi lebih baik dari Pemerintah Kolonial Belanda.

Suku Jawa bukanlah suku Indonesia yang paling banyak jumlahnya di Malaysia –Setidaknya mereka tidak pernah mendirikan kesultanan independen di Malaysia seperti yang dilakukan Suku Minangkabau. Suku Minangkabau tercatat dalam sejarah Malaysia membentuk salah satu negara bagian di Semenanjung Malaya, yang dikenal dengan Negeri Sembilan. Bila Anda berkesempatan melancong ke ibu kota Negeri Sembilan, yakni Seremban, Anda mungkin akan kaget melihat banyaknya Rumah Gadang di kota tersebut! Seperti halnya dengan suku Jawa, suku Minangkabau mencari kehidupan yang lebih baik daripada tinggal di wilayah pimpinan Belanda.

Jika Suku Minangkabau mendominasi sebuah negara bagian di Malaysia, maka Suku Bugis bahkan melakukan hal yang lebih jauh. Setelah merantau dari Sulawesi Selatan, para bangsawan Bugis beranak-pinak dan banyak dari sultan-sultan di Johor yang merupakan keturunan bangsawan Bugis tersebut. Perdana Menteri Malaysia kini, Najib Razak, adalah salah satu keturunan perantau Bugis.

Contoh Keturunan Indonesia di Malaysia (Kiri-Kanan): P. Ramlee –Musisi (Suku Aceh), Najib Razak –Perdana Menteri (Suku Bugis), Muhyiddin Yassin –Politisi (Suku Jawa)

Pertanyaannya adalah, mengapa identitas suku keturunan Indonesia ini seakan tidak begitu terekspos –Bahkan sensus Malaysia tidak pernah menggunakan kategori Bugis/Jawa/Minangkabau? Ketika negara ini merdeka, para pendiri bangsa memilih nama “Malaysia” atau “tanah Bangsa Melayu”, namun betapa kagetnya pemerintah Malaysia ketika mengetahui bahwa ternyata orang Melayu asli justru kalah jumlah dengan suku pendatang seperti Tionghoa dan India! Salah satu cara untuk mengakali hal tersebut adalah dengan meluaskan definisi “Suku Melayu”, bahwa Melayu adalah: “Ras kulit coklat dari semenanjung Malaya dan Kepulauan Nusantara yang berbahasa rumpun Melayu dan beragama Islam”. Otomatis, orang Bugis, Jawa dan Minangkabau di Malaysia dianggap layaknya sebagai Suku Melayu asli.

(2) Singapura

Singapura adalah satu-satunya negara Asia Tenggara yang dibentuk oleh kaum pendatang. Letaknya yang strategis ditambah kebijakan pemerintah Kolonial Inggris untuk menjadikannya sebagai pusat perdagangan membuat Singapura (dulu disebut sebagai Temasek) didatangi oleh berbagai suku bangsa di dunia. Negara modern Singapura sendiri didominasi oleh Etnis Tionghoa (74%), diikuti Etnis Melayu (13%), Etnis India (9%) dan Etnis Lainnya atau Others (4%). Diantara kategori Etnis Melayu, suku-suku dari Indonesia dikatakan mendominasi kategori Melayu ini. Bahkan ada yang menyatakan bahwa hampir keseluruhan Suku Melayu di Singapura memiliki nenek moyang Padang, Jawa atau dua-duanya!

Diaspora Indonesia di Singapura didominasi oleh Suku Minangkabau, suku yang dikenal sebagai suku perantau. Mereka sudah bermigrasi ke Singapura tak lama setelah pulau ini menjadi pusat perdagangan. Suku ini diceritakan tidak mau hidup di bawah kekuasaan Belanda yang mengekang dan lebih suka menetap di Singapura yang saat itu berada di kekuasaan Inggris. Hampir keseluruhan perantau Minangkabau datang dari daerah Agam, Pariaman dan sekitar Bukittinggi. Banyak diantara mereka yang membuka jasa rumah makan setalah sampai ke Singapura. Tak heran kalau Nasi Padang adalah salah satu makanan paling dikenal di Singapura. Selain itu, Suku Minangkabau juga identik sebagai pedagang barang-barang Islami dan pakaian di Geylang dan Arab Street.

Suku Jawa juga mengadu nasib ke Singapura sebagai pedagang bahan makanan (rempah dll.), pengraijin, tetua agama dan bahkan banyak Suku Jawa dari golongan status sosial menegah-ke-atas juga ikut bermigrasi ke pulau tersebut. Peninggalan suku Jawa di Singapura dapat dilihat di sebuah tempat bernama “Radin Mas”. Radin Mas yang terletak di selatan Pulau Ujong (Pulau utama Singapura) merupakan bangunan yang tidak khas Melayu, melainkan sangat khas situs keramat Jawa –Lengkap dengan pohon beringin. Lebih jauh, Singapura adalah tempat persinggahan Suku Jawa yang hendak Naik Haji. Setidaknya, diperkirakan jumlah suku Jawa di Singapura sebelum Perang Dunia 2 berjumlah 15.000 jiwa. Sama seperti Suku Jawa yang ingin berdagang, Suku Bugis juga datang ke Singapura sebagai pedagang –Bahkan mereka adalah suku dari Nusantara yang pertama kali ke Singapura. Sensus pertama Singapura tahun 1824 sudah ada sekitar 1.500-2.000’an penduduk Bugis di pulau yang saat itu diperintah oleh Gubernur-Jenderal penerus Sir Thomas Stamford Raffles. Suku Bugis hidup di sekitar sungai utama di Singapura, sebagai kebijakan tata kota yang dikeluarkan oleh Raffles. Singapura modern kini mengenal peninggalan pemukiman Bugis dari Jalan Bugis (di Era Kolonial dikenal sebagai Kampong Bugis).

Salah satu suku diaspora Indonesia yang secara proporsional lebih banyak di Singapura ketimbang Indonesia adalah Suku Bawean. Seperti namanya, suku ini berasal dari sebuah pulau kecil yang terletak di pesisir Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Namun, di Pulau Bawean sendiri, mereka menyebut diri mereka sebagai Orang Boyan. Suku Bawean, terutama kaum laki-lakinya, dikenal memiliki budaya “mengadu nasib ke luar pulau”, dan Singapura menjadi daya tarik utama mereka. Awalnya Suku Bawean yang merantau ke Singapura adalah laki-laki saja dan beberapa pulang ke Pulau Bawean setelah mapan. Namun, kebanyakan menetap di Singapura secara permanen dan membawa anak-istri mereka. Selain Bawean, masih ada lagi suku-suku yang hidup di Singapura seperti Suku Banjar, Suku Aceh, Suku Batak dan lainnya –Namun jumlah mereka sangat kecil. Suku Batak di Singapura sendiri didominasi oleh Batak Toba yang beragama Islam, sementara sebagian kecil adalah Batak Angkola dan Mandailing.

Contoh Keturunan Indonesia di Singapura (Kiri-Kanan): Yusof Ishak –Presiden (Suku Minangkabau), Zubir Said –Komposer (Suku Minangkabau), Saloma –Musisi (Suku Banjar), Masagos Zulkifli –Politisi (Suku Jawa), Sanif Olek –Sutradara (Suku Bawean), Hady Mirza –Musisi (Suku Bugis), Abdullah Tarmugi –Politisi (Suku Jawa), Djamal Tukimin –Sastrawan (Suku Jawa)

Sejak kemerdekaanya akibat konflik dengan Malaysia di tahun 1965, Perdana Menteri Lee Kuan Yew berusaha untuk menjadikan Singapura sebagai negara dengan toleransi antar suku dan agama yang tinggi. Dalam memoirnya, Lee menyatakan bahwa Singapura bisa menjadi negara gagal bila isu kesukuan tidak dianggap sebagai masalah utama di Singapura. Oleh karena itu, Lee berusaha untuk “menghancurkan” dinding pemisah antar-kelompok etnis di Singapura. Pemerintah Singapura mengharuskan warganya saling melebur antara satu dengan yang lainnya –mulai dari tempat tinggal sampai sekolah– namun tanpa mencapuradukkan kepercayaan agama dengan agama lainnya. Misionari agama dilarang keras di Singapura, untuk mencegah kelompok etnis tertentu membuat kelompok etnis lain berpindah agama. Kebijakan Lee ini kemudian membuat identitas suku Aceh, Banjar, Batak, Bawean, Bugis, Jawa, Minangkabau dan lain-lain melebur menjadi satu identitas besar bernama suku Melayu, karena setiap suku bangsa harus melebur namun tanpa mencampuradukkan satu agama dengan agama lainnya. Maka, suku-suku keturunan Indonesia saling melebur karena kesamaan agama, yakni Islam.

(3) Filipina

Berbeda dengan Singapura atau Malaysia yang memiliki pendatang dari Indonesia dalam jumlah banyak, suku Indonesia yang merantau ke negara Katolik ini jauh lebih sedikit. Uniknya, ada sebuah kota kecil di Filipina yang memiliki nama “Ternate”. Persis sama tanpa ada perubahan! Usut punya usut, nenek moyang penduduk kota Ternate di Filipina ini adalah para pendatang dari Pulau Ternate di Maluku Utara.

Kota Ternate terletak di Provinsi Cavite di Pulau Luzon, hanya beberapa kilometer dari Manila –Ibukota Filipina. Penduduknya yang berjumlah kurang lebih 20.000 jiwa ini adalah keturunan dari Suku Ternate penganut Agama Katolik. Diyakini mereka datang sekitar pertengahan abad ke-16. Orang Ternate penganut Katolik ini disebut sebagai “Mardicas” (Ejaan “Merdeka” versi Portugis). Uniknya, ketika mereka datang ke Filipina agar bisa menjalankan kepercayaan mereka dengan damai, para pendatang ini memegang teguh pengaruh Budaya Portugis. Menarik, sebab Filipina adalah daerah jajahan Spanyol. Para pendatang Ternate ini dikenal oleh penduduk lokal dengan istilah “Ternateno”.

BENUA EROPA

(1) Belanda

Negara Eropa dengan penduduk keturunan Indonesia yang paling banyak adalah Belanda. Tak heran, sebab Belanda adalah penguasa kolonial Indonesia selama kurang lebih 350 tahun. Seperti halnya negara koloni, Belanda memiliki sejarah panjang pemukiman penduduk yang datang dari tanah jajahannya. Belanda baru menjadi negara yang menerima imigran non-Eropa dalam jumlah banyak setelah Perang Dunia 2. Pada masa-masa sebelum ini, penduduk keturunan Indonesia merupakan populasi bangsa asing non-Eropa yang paling banyak –Sebelum akhirnya kalah jumlah dengan imigran dari Afrika dan Timur Tengah di akhir abad ke-20.

Peninggalan pemukiman Indonesia yang paling dikenal di Belanda adalah komunitas “Indo”, atau peranakan kulit putih Belanda dan pribumi Indonesia di Era Kolonial. Hindia-Belanda sendiri memiliki penduduk Indo dalam jumlah banyak . Beberapa Indo sangat dikenal dalam sejarah kebangsaan, seperti Ernest Douwes Dekker. dan meski bukan kulit putih totok, mereka dianggap sebagai bagian elit sosial Hindia-Belanda di Era Kolonial –Sejajar dengan bangsa Eropa asli. Akibat lamanya menetap di Hindia-Belanda dan kawin campur dengan pribumi, maka kaum Indo memiliki budaya sendiri yang berbeda dengan budaya Belanda –Budaya yang sangat dipengaruhi oleh budaya pribumi. Namun setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia di tahun 1949, banyak kaum Indo yang memilih untuk bermigrasi ke Belanda akibat direpatriasi oleh pemerintah Indonesia dan kebijakan nasionalisasi aset negara oleh Sukarno. Banyak lagi yang keluar dari Indonesia saat masa-masa Trikora –Perebutan Papua dari Belanda di tahun 1957. Sepertinya mereka merasa Indonesia bukan tempat yang aman bagi mereka. Namun, tak disangka bahwa sesampainya di Belanda, banyak diantara mereka yang mengalami “geger budaya”. Rupanya lamanya keluarga mereka tinggal di Indonesia dan hasil kawin campur dengan pribumi membuat mereka memiliki budaya yang sangat berbeda dengan penduduk asli Belanda.

Selain kaum Indo, kota-kota besar Belanda umumnya memiliki populasi keturunan Maluku yang signifikan, jumlah total mereka di Belanda diperkirakan ada 45,000 jiwa di tahun 2001. Setelah peristiwa PRRI/Permesta, banyak Suku Ambon yang pergi meninggalkan Indonesia ke Belanda. Hingga kini, sebagian dari mereka masih aktif memperjuangkan RMS dari Belanda. Tidak seperti kaum Indo yang dengan mudah melebur ke kehidupan Belanda, banyak dari suku Maluku mengalami geger budaya dan eksklusi sosial karena status ekonomi mereka. Frustasi karena hidup dalam kemiskinan di masyarakat yang benar-benar baru bagi mereka, di tahun 1977 beberapa pemuda Suku Maluku melakukan tindakan anarkis di Groningen dengan melakukan pembajakan kereta penumpang. Suku Jawa juga memiliki sejarah migrasi ke Belanda. Namun, umumnya mereka adalah warga Suriname keturunan Jawa yang merantau ke Belanda. 

(Kiri-Kanan): Giovanni van Bronckhorst, Wieteke van Dort, Daniel Sahuleka, Bart Latuheru, Ranomi Kromowidjojo

BENUA AMERIKA

(1) Suriname

Diantara semua negara yang telah disebutkan, barangkali Suriname adalah yang paling dikenal dengan diaspora Indonesia-nya. Uniknya lagi, suku Indonesia yang mendominasi di Suriname hanya ada satu, yakni Suku Jawa. Penduduk keturunan Jawa jumlahnya berkisar antara 70.000-75.000 jiwa, atau sekitar 13-15% dari total populasi Suriname.

Bila dilihat secara geografis, Suriname berada di Benua Amerika –Yang jaraknya kurang lebih setengah putaran dunia dari Jawa. Meski jaraknya yang jauh dari Indonesia, Suriname adalah sebuah tanah jajahan Belanda di Amerika Selatan. Seperti seluruh negara Benua Amerika, penduduk pribumi Suriname adalah Suku Indian yang kemudian nyaris punah akibat pembantaian dan penyakit yang dibawa bangsa Eropa. Suriname kemudian “diisi” oleh pemerintah Belanda dengan budak kulit hitam dari Afrika. Namun di akhir abad ke-19, Belanda mulai mendatangkan buruh tani dari tanah jajahan mereka di Asia, yakni Hindia Belanda (khususnya dari Jawa). Pemerintah Belanda mendatangkan buruh tani Jawa sebagai buruh kontrak di daerah perkebunan Belanda di Suriname. Akibat kebutuhan buruh tani yang kian melonjak di Suriname, Belanda kemudian mendatangkan lebih banyak lagi orang Jawa ke Suriname.

Daerah asal pendatang Jawa di Suriname cukup beragam. Mayoritas berasal dari daerah Banyumas dan sekitar Surakarta, dan sebagian dari daerah Pantai Utara Jawa. Daerah pegunungan di Jawa Timur lebih sedikit menyumbang imigran Jawa di Suriname. Tahukah Anda bahwa diantara penduduk Jawa, terdapat pula perantau Sunda dan Madura di Suriname? Namun karena jumlahnya yang sedikit, mereka justru dianggap sebagai “orang Jawa”. Rute yang mereka lalui untuk mencapai Suriname adalah melalui Tandjoeng Priok (Batavia) atau Semarang, kemudian transit di Amsterdam, baru lanjut ke Suriname di Amerika Selatan.

Sebagian kecil perantau ini pulang ke Indonesia ketika mereka merasa sudah mapan –Terutama setelah kemerdekaan Indonesia. Namun, sebagian besar menetap di Suriname dan beranak-pinak. Dapat dikatakan bahwa penduduk Jawa di Suriname berusia dewasa adalah entah generasi ke-tiga atau ke-empat dari pendatang ini. Uniknya, Bahasa Jawa yang digunakan di Suriname lebih bersifat egaliter (karena kultur imigran) dan terkesan “kuno” (karena bebas dari percampuran Bahasa Indonesia modern).

Berbeda dengan negara-negara yang telah disebutkan sebelumnya, Suku Jawa di Suriname memiliki basis sosial-politik. Di tahun 1977 elit politik Jawa mendirikan Partai Pendawa Lima, yang kemudian mengalami konflik internal. Mantan petinggi partai yang keluar kemudian membangun partai saingan bernama Partai Pertjajah Luhur. Basis politik inilah yang membuat Suku Jawa memiliki posisi kuat (meski tidak dominan) dalam institusi pemerintahan Suriname –Suatu hal yang berbeda dibandingkan dengan perantau Jawa di negara-negara lain. Raymond Sapoen, Menteri Perdagangan Suriname yang memiliki kakek dari Banyumas, kini maju menjadi Calon Presiden di pemilu tahun ini dari Partai Pendawa Lima. Hingga kini, Suriname belum pernah memiliki seorang presiden dari Suku Jawa.

(Kiri-Kanan): Paul Somohardjo, Raymond Sapoen, Willy Soemita, Virgil Soeroredjo, Amina Pardi, Soeki Irodikromo

Bagi Anda yang pernah mendengar cerita keluarga bahwa ada anggota keluarga Anda yang “pergi” jauh ke Suriname dan tidak kembali lagi, Anda dapat melakukan cross-check di situs berikut yang menampilkan daftar imigran Jawa di Suriname –Lengkap dengan desa asal dan tanggal lahir. Sayang, situs berikut ditulis dalam Bahasa Belanda:

http://www.gahetna.nl/collectie/index/nt00346

http://www.gahetna.nl/collectie/index/nt00346/view/NT00346_javanen/q/zoekterm/Sapoen/page_size/50

 

Penulis dan Mr. Shigehiko Shiramizu

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun