Mohon tunggu...
Muhammad Reza Zaini
Muhammad Reza Zaini Mohon Tunggu... -

An anthropolgy and sociology enthusiast. Bachelor from FISIP UI.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Loyalitas ala Shogun: Bagi Anda yang Bekerja di Perusahaan Jepang

17 Mei 2015   17:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:53 1076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_418145" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi - pekerja pabrik mobil di Jepang. (www.japantimes.co.jp)"][/caption]

Beberapa malam yang lalu, saya berkesempatan untuk bersantap di salah satu rumah makan tradisional Jepang di bilangan Setagaya, Tokyo. Sayang, badai akibat Taifun Noul yang telah merusak Filipina sudah sampai di atas Tokyo begitu saya hendak pulang. Satu-satunya cara untuk membunuh waktu adalah dengan bercengkerama bersama sang pemilik, yakni Keluarga Hifumi (一二三).

Usut punya usut, restoran ini telah dijalankan selama tiga generasi. Kini Pak Hifumi (gambar bawah) menjalankan restoran ini bersama istri. Uniknya, ia bisa saja menjadi insinyur atau salaryman, namun pilihan jatuh bahwa Pak Hifumi akan meneruskan usaha ayahnya. Ia pun juga mengaku tidak keberatan untuk meneruskan usaha rumah makan ini. Mengapa? Hifumi menjawab, “Seperti kebanyakan pengrajin Jepang, saya harus melestarikan kerja keras orang tua saya. Mungkin di budaya Anda, anak akan menjadi orang lain dan melupakan siapa orang tuanya dulu.” Ternyata, nilai kesetiaaan untuk keluarga dan orang terdekat sangat dijunjung tinggi dalam konsep budaya Jepang.

[caption id="attachment_366243" align="aligncenter" width="300" caption="Penulis dan Mr. Hifumi (Dok. pribadi)"]

1431858177203608354
1431858177203608354
[/caption]

Cerita Pak Hifumi mengingatkan saya ke teman yang bekerja di perusahaan atau institusi milik Jepang –Serta seorang teman lain mengenai pengalamannya bekerja di Jepang. Mungkin bagi Anda yang juga pernah bekerja di perusahaan Jepang entah di Indonesia atau Jepang sendiri juga merasa familiar dengan fenomena tersebut.

Orang Tua atau Anak

Beberapa kenalan saya mengatakan bahwa perusahaan Jepang mengharuskan setiap karyawannya memiliki paradigma bahwa kesetiaan adalah sebuah top priority. Usut punya usut, beberapa kenalan saya mengatakan bahwa perusahaan cenderung memberikan pertanyaan ini dalam interview kerja, “Jika Anda berada di kapal yang tenggelam dengan ayah dan anakmu, siapakah yang pertama kali Anda selamatkan?” Bagi kebanyakan orang Indonesia, menyelamatkan anak adalah pilihan yang paling rasional. Namun tidak bagi perusahaan Jepang: Ayahlah yang justru harus diselamatkan, karena ialah yang telah membesarkan kita dan kita harus menunjukkan loyalitas kita kepadanya.

Pernahkah Anda mendengar atau bahkan mengalaminya di Indonesia?

Perusahaan atau institusi Jepang dalam hal ini menganut prinsip total obedience, yang hampir seperti total institution. Individu yang berada di dalamnya bukan lagi seorang individu yang bebas, namun harus menjadi bagian dari kehidupan organisasi tersebut! Berbeda seperti dalam budaya Barat, adalah sangat tidak etis memecat karyawan senior –Meski secara usia sudah memasuki usia pensiun. Budaya organisasi khas Jepang ini adalah sebuah perpanjangan dari nilai tradisional negara tersebut, yakni chuujitsu dan deru kugi wa utareru (kolektivisme).

Chuujitsu & Deru Kugi wa Utareru

“Seorang kaisar baru tidak boleh mengganti bahkan tata ruang istana yang sudah ditetapkan oleh kaisar sebelumnya” –Prinsip kuno Jepang

Konsep budaya chuujitsu sendiri memiliki arti “kesetiaan”. Hal ini merupakan perpanjangan tangan dari prinsip kuno Jepang yang menganggap tinggi pengorbanan bagi tetua mereka. Kebiasaan ini dapat dirunut ketika masyarakat feodal Jepang hidup terpisah-pisah, terisolasi dan memiliki Shogun masing-masing. Masyarakat yang tinggal di masing-masing daerah yang terpisah-pisah oleh gunung inilah –Mulai dari petani hingga Samurai– menyatakan loyalitas total mereka pada Shogun yang memerintah.

Setelah modernisasi Jepang di akhir abad ke-19, prinsip ini masih dipegang teguh. Namun bukan ke Shogun atau ningrat lokal (sudah ditiadakan dan diganti oleh aparatur pemerintahan moderen), tetapi kepada Kaisar (Tenno) sebagai pemimpin tertinggi Jepang. Apa pun yang Kaisar katakan harus dituruti! Pun ketika Kaisar Hirohito di tahun 1945 menyatakan Jepang harus menyerah kepada Sekutu, para jenderalnya yang anti-menyerah harus menerima perintah Sang Kaisar tanpa bertanya-tanya. Seorang serdadu Jepang akan dengan siap melakukan bunuh-diri massal bila diperintahkan. Prinsip seperti ini kemudian menjadi terinternalisasi pada alam pikir seluruh masyarakat Jepang.

Pertanyaannya: Pasti akan ada sekelompok orang yang akan tidak setuju dengan hal tersebut bukan –Terutama setelah masyarakat Jepang menjadi kekuatan ekonomi dunia pasca-Perang Dunia 2? Namun mengapa sampai sekarang di Jepang tidak ada yang “berani” untuk mengubah kebiasaan ini –yang notabene menurut prinsip organisasi Barat adalah hal yang sangat tidak efektif dan tidak rasional? Sebab, masyarakat Jepang juga menganut prinsip kebudayaan deru kugi wa utareru (secara harafiah berarti: Sebuah paku yang menonjol harus dipalu hingga sama rata dengan paku-paku yang lain).

Anda mungkin dapat menebak maksud dari pepatah Jepang tersebut dari translasi bahasa Indonesianya. Ya, budaya Jepang tidak memiliki toleransi terhadap individu yang berusaha untuk menjadi “beda” atau “melawan arus”. Mereka yang berusaha untuk mengubah tatanan sosial yang sudah mapan di Jepang akan dicap sebagai tabu oleh masyarakat mainstream! Jepang bukanlah tempat yang tepat bagi mereka yang ingin tampil “nyentrik”. Oleh karena itulah, tidak ada elemen masyarakat yang berani atau bisa mengubah tradisi organisasi Jepang –Terlepas apakah tradisi tersebut dianggap tidak pantas oleh budaya lain atau tidak.

Masyarakat Stress

Sekilas mungkin fenomena kesetiaan terdengar keren atau “eksotis”. Namun bukan berarti masyarakat Jepang tidak terkena dampak negatif dari paradigma tersebut. Secara psikologis, seseorang cenderung akan mengalami konflik identitas ketika ruang individu hampir tidak ada bagi dirinya. Konflik identitas inilah yang kemudian menciptakan stress –sebuah kata yang sangat identik dengan budaya pekerjadi Jepang.

[caption id="attachment_366245" align="aligncenter" width="150" caption="Salaryman Jepang"]

14318585381544028951
14318585381544028951
[/caption]

Tak heran ketika Jepang dinobatkan sebagai masyarakat yang banyak memiliki kasus karoshi (かろし), yakni kematian karena sakit yang disebabkan oleh kerja yang terlalu keras. Anda mungkin biasa melihat salaryman mabuk stress, karena tuntutan untuk benar-benar menjadi bagian (immersed) dalam kehidupan kantor di Jepang. Belum lagi dari tekanan sosial (peer pressure) yang mengharuskan karyawan memiliki satu seragam identitas dan memiliki kesetiaan total terhadap perusahaan mereka bekerja. Mereka yang hendak menentang dianggap sebagai penyimpang! Namun toh sepertinya fenomena ini hanya ada di para pekerja kerah putih (white collar).

Sepertinya Pak Hifumi senang-senang saja menjalankan rumah makan kecilnya yang baru direnovasi menjadi desain minimalis. Sebagaimana yang ia katakan, “Saya membuat makanan bukan untuk menjadi kaya-raya, tapi untuk membuat pelanggan saya senang.

Jadi, bagaimanakah menurut Anda yang sedang bekerja di perusahaan Jepang?

14318586381370096560
14318586381370096560

Wakabayashi, Setagaya, Tokyo 12 Mei 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun