Mohon tunggu...
Muhammad Reza Zaini
Muhammad Reza Zaini Mohon Tunggu... -

An anthropolgy and sociology enthusiast. Bachelor from FISIP UI.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Siapakah (Sebenarnya) Etnis Tionghoa di Indonesia?

3 April 2014   00:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:09 844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa selama 32 tahun Rezim Orde Baru, ekspresi kebudayaan Tionghoa di ruang publik adalah “tabu.” Berbagai posesi dan alat kebudayaan seperti Imlek, Ceng Beng, Tari Barongsai, Klenteng, bahkan penggunaan Aksara Mandarin saja dianggap sebagai tindakan “subversif.”

Memori saya kembali teringatkan pada sejarah tersebut saat kunjungan saya ke Pulau Penang, Malaysia. Saat obrolan santai dengan seorang kawan, ia, yang merupakan seorang akademisi Malaysia, mengekspresikan kekagumannya ke Tionghoa-Indonesia. Mengapa?

“…mereka sangat melebur dengan pribumi Indonesia dan bahkan sama sekali tidak “Tionghoa.” Tidak seperti di sini [Malaysia], meski mereka warga Malaysia, mereka tetap memiliki identitas Tionghoa yang kuat. Lihatlah Tionghoa di Indonesia, mereka tidak bisa berbahasa, tidak memiliki nama, dan tidak menganut kebudayaan Tionghoa secara Totok. Kebijakan pemerintah [Orde Baru] Indonesia sungguh tepat untuk menjadikan mereka seperti pribumi. ”

Meski –yang pasti- tidak verbatim, tapi kurang lebih begitulah yang dikatakannya. Dia memang tidak sendiri, dalam beberapa kesempatan pun beberapa rekan saya dari Singapura mengatakan hal yang kurang lebih sama. Dari sini, saya bisa menyimpulkan pandangan rekan-rekan Asia Tenggara saya:

“Tionghoa di Indonesia tidak lagi memiliki identitas kultural Tionghoa”

Benarkah demikian? Bagaimana menurut Anda? Apakah Anda (yang Tionghoa) sependapat?



Apa yang Menjadi Dasar Identitas Etnis?

Sebelum mengupas isu ini, pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah: Apa yang mendefinisikan sebuah identitas etnis? Apakah bahasanya? Agamanya? Ciri fisiknya? Kebudayaannya? Mengenai ini, Joshua Fishman, seorang pakar sosiologi lingustik asal AS, dalam salah satu studinya pernah mengungkapkan bahwa penggunaan bahasa dan kebudayaan leluhur cenderung dijadikan patokan banyak kebudayaan untuk mendefinisikan identitas etnis seseorang. Namun dalam kenyataannya, realita tak sesederhana itu. Individu, atau kelompok sosial, dapat menggunakan atribut lain sebagai dasar untuk mendefinisikan suatu identitas etnis.

Dalam kasus ini, identitas Etnis Tionghoa di Indonesia didefinisikan secara berbeda dengan identitas Etnis Tionghoa di Singapura atau Malaysia. Dengan kata lain, “ke-Tionghoa-an” seseorang memiliki berbagai definisi, tergantung dalam konteks komunitas (atau negara) mana kita akan melihatnya. Lalu kalau begitu, apa yang menjadi landasan untuk mendefinisikan Etnis Tionghoa? Mengapa bisa berbeda dengan komunitas perantauan Tionghoa (Huaqiao) lainnya di Asia Tenggara?



Identitas Tionghoa Versi Indonesia

Saat berkunjung ke Pulau Penang tahun lalu, terdapat sebuah istilah ejekan –Ang Moh Sai- diantara masyarakat keturunan Tionghoa, bagi anggotanya yang tidak dapat berbahasa leluhur atau tidak mngerti kebudayaan Tionghoa. Istilah tersebut seakan-akan mencerminkan bahwa jika seorang Etnis Tionghoa tidak bisa berbahasa dan berbudaya Tionghoa, maka “ke-Tionghoa-an” patut untuk dipertanyakan.

Di Indonesia, “ke-Tionghoa-an” cenderung untuk didefinisikan secara berbeda. Mengapa? Untuk menjawabnya, kita kembali pada prolog tulisan ini mengenai kebijakan Orde Baru terhadap warga negara keturunan Tionghoa. Rezim Orde Baru jelas-jelas menerapkan kebijakan “asimilasi” bagi Etnis Tionghoa. Namun jika dipikir-pikir, kebijakan Orde Baru ini bersifat ambivalen. Di satu sisi warga Tionghoa tidak boleh menggunakan atribut kebudayaan Tionghoa –suatu hal yang bertujuan untuk “melucuti” identitas “non-pribumi” mereka-, namun di sisi lain, mereka sekan-akan diberi label “asing” seperti WNI Keturunan –suatu hal yang menjadi “justifikasi” bagi “alienasi” mereka dari identitas Indonesia.

Kebijakan ini akhirnya melahirkan definisi tentang identitas Tionghoa Indonesia. Akibat “pelucutan” warga Tionghoa dari kebudayaan leluhur mereka, seperti penggunaan nama, bahasa, dan adat-istiadat termasuk ritual agama, otomatis penggunaan atribut kebudayaan ini “hilang” dari memori budaya Etnis Tionghoa di Indonesia. Namun, diskriminasi yang dilakukan Rezim Orde Baru seakan tetap “menyadarkan” mereka bahwa Tionghoa tetap ada dan tetap merupakan identitas “asing.” Sehingga, dari sini muncullah pendefinisian baru: Bahwa identitas seorang Tionghoa di Indonesia bukan didasarkan atas penggunaan budaya tradisional. Lalu apa?

Jawabannya: Identitas Tionghoa diidentifikasikan dengan hal-hal yang “berbau” perdagangan dan wilayah urban. Suatu kebiasaan dari Era Kolonial dan Orde Lama yang tidak (atau gagal) dihapus oleh Rezim Orde Baru. Sederhana saja, sudah menjadi rahasia umum bahwa Etnis Tionghoa sering kita asosiasikan dengan profesi sektor perdagangan dan domisili perkotaan, kan?

Karena penasaran, saya pernah mengadakan survei kecil-kecilan diantara teman-teman kuliah saya. Pertanyaan yang saya ajukan ke mereka: “Siapakah Etnis Tionghoa itu?” Saya sengaja membuka pertanyaan ini selebar-lebarnya untuk mendapatkan jawaban seluas-luasnya dari mereka.n Menarik, karena mayoritas jawaban mereka juga berkisar antara hal yang berhubungan seputar perdagangan atau kehidupan urban.

Memang secara ilmiah belum bisa dinyatakan sebagai temuan yang “terverifikasi”, karena saya tidak menggunakan prinsip penelitian kuantitatif ini-itu-dan lain-lain. Namun jika Anda ingin melihat yang ilmiah, salah satu penelitian saya di Desa Situgadung, Provinsi Banten, menunjukkan terdapat sekelompok orang yang memiliki ciri fisik yang “sangat” pribumi. Namun, akibat adanya urbanisasi pesat di sekitar desa mereka, mereka –terutama generasi mudanya- banyak yang menjadi pedagang dari yang sebelumnya petani, dan beragama Kristen dari yang sebelumnya sinkretisme Buddha-Konghucu-Taoisme. Dari perubahan ini, mereka akhirnya mengidentifikasi diri menjadi “Tionghoa”, yang dalam standar Huaqiao di negara Asia Tenggara lainnya, mereka ini mungkin dapat dikatakan sudah bukan Tionghoa lagi, bahkan Tionghoa Peranakan sekalipun.

Dengan kata lain, identitas Tionghoa di Indonesia –akibat pengaruh sosial dan politik- didefinisikan secara berbeda jika dibandingkan dengan komunitas Tionghoa di kebanyakan negara Asia Tenggara lainnya. Inilah salah satu bentuk keunikan dari identitas kultural salah satu suku-bangsa terbesar di Indonesia –yang sayangnya belum banyak dikaji.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun