Mohon tunggu...
Muhammad Reza Zaini
Muhammad Reza Zaini Mohon Tunggu... -

An anthropolgy and sociology enthusiast. Bachelor from FISIP UI.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mengapa Harga Barang di Jepang (Cenderung) Mahal?

8 September 2014   19:13 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:18 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi - Suasana makan di Restoran Kirin Beer Garden di Sapporo, Jepang. Di restoran ini, tamu diajak menikmati hidangan ala Mongolia. (KOMPAS/BUDI SUWARNA)"][/caption]

Saat saya tinggal di Tokyo pertengahan tahun ini, saya punya restoran soba-ya (restoran khusus menyediakan menu soba/mie)yang jadi langganan di bilangan Meguro, Tokyo. Selain rasanya yang lumayan, pelayan soba-ya kecil ini sudah cukup kenal dengan saya –seorang gaijin (orang asing) yang tidak makan babi dan minum alkohol.

[caption id="attachment_322808" align="aligncenter" width="300" caption="Aktivitas bongkar-muat bahan makanan di soba-ya langganan penulis (paling kiri)."]

1410152955896252016
1410152955896252016
[/caption]

Waktu Shibata-san atau Takahashi-san –panggilan saya untuk mereka– pertama kali menyambut saya dengan “kochira e, dozo…” Saya pun melihat-lihat menu restoran, dan menyadari bahwa semangkuk kecil soba dihargai kurang lebih sekitar 2.000 Yen atau 250.000 Rupiah! Seingat saya, restoran Jepang di mall-mall Indonesia dengan menu yang sama sampai tidak semahal ini. Saya penasaran dan bertanya ke Takahashi-san dalam satu kesempatan.

Takahashi-san bukanlah seorang dosen ekonomi, ia berasal dari daerah pedesaan di Prefektur Kanagawa. Namun, jawabannya mengingatkan saya pada sebuah jargon ekonomi (tepatnya kapitalisme), bahwa “Kegiatan ekonomi dijalankan dengan rasional, orang akan berusaha mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan kerugian yang sekecil-kecilnya dengan cara yang seefisien mungkin.”

Sistem Distribusi yang Unik

Secara umum, kegiatan ekonomi dibagi menjadi tiga lapis, yakni Produksi, Distribusi dan Konsumsi. Nah, keunikan kegiatan ekonomi Jepang terletak pada kegiatan Distribusi-nya. Secara tidak langsung, inilah yang menjadi jawaban Takahashi-san.

Ia menjelaskan bahwa bahan baku makanan yang dibelinya adalah hasil dari sistem distribusi yang berbelit-belit. Sebagai contoh, katakanlah peternak ikan Jepang sebagai seorang Produsen, memproduksi ikan untuk dijual. Kemudian ia akan menjualnya ke perusahaan dagang Jepang sebagai Distributor. Perusahaan ini kemudian akan menjualnya lagi ke pedagang pasar ikan yang besar/umum sebagai Distributor. Kemudian, pedagang pasar ikan besar/umum tersebut akan menjualnya lagi kepedagang pasar ikan kecil/yang lebih khusus sebagai Distributor lagi! Barulah ikan tersebut dibeli oleh pedagang sushi sebagai Distributor tambahan. Dari contoh ini saja, sudah ada empat tingkat Distributor, padahal barangnya sederhana! Sehingga, karena banyaknya Distributor, otomatis harga barang menjadi mahal.

Ini tidak hanya berlaku di pasar makanan saja, namun hampir di semua sektor pasar di Jepang. Sebuah perusahaan Jepang pun biasanya memiliki lapisan manajer/supervisor yang lebih “berlapis-lapis” ketimbang perusahaan Barat. Inilah manajemen organisasi ala Jepang yang dikenal “tidak efisien” dan “mahal”. Mengapa sistem seperti ini tetap ada diantara masyarakat Jepang yang terkenal serba praktis? Jawabannya sungguh unik.

Keharmonisan Masyarakat

Belakangan saya mengetahui bahwa sistem ini tetap dipakai untuk menjaga keharmonisan masyarakat Jepang. Artinya, masyarakat Jepang rela membayar mahal sebuah produk, asal sebanyak-banyak mungkin pihak/individu “kecipratan” keuntungan dari kegiatan ekonomi yang dijalankan! Ternyata jargon ekonomi kapitalis dinomorduakan oleh kearifan lokal Jepang. Inilah bentuk baik dari solidaritas sosial (atau bahasa ilmiahnya: Modal Sosial) sesama masyarakat Jepang.

Secara tradisional, kegiatan ekonomi seringkali dilihat sebagai sebuah aspek tunggal, yakni dengan kacamata rasional-ekonomi saja. Padahal, ia akan beririsan dengan aspek sosial lainnya. Jadi, dalam menjelaskan sebuah fenomena dalam kaca mata ekonomi, kita harus sadar bahwa setiap kegiatan ekonomi (se-ekonomis apapun itu), sebenarnya memiliki kelekatan dengan aspek sosial-kebudayaan atau mungkin aspek lainnya seperti birokratis atau struktur lain seperti masyarakat. Akhir kata, toh orang Jepang rela mengesampingkan keuntungan pribadi demi terciptanya masyarakat yang akur. Bagaimana dengan Indonesia?

So desu ka!

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun