Mohon tunggu...
Ramli AT
Ramli AT Mohon Tunggu... -

Lahir dan tumbuh di Bantimurung, sejauh 39 Km di timur laut pusat Kota Makassar. Sangat menikmati kehidupan di kampungnya yang berdinding deretan bukit karst terjal yang kokoh, dan berpenduduk baik hati. Memudahkan diri berbahagia melalui paduan kerja keras, bersyukur, dan menumbuhkan kegemaran baru yang positif. Meski pun merasa berbakat pas-pasan, tetapi selalu berhasrat menulis untuk berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tetap Ada Nurani di Tamalanrea

15 Agustus 2010   23:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:00 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maaf karena tidak sempat menginformasikan sebelumnya atas kepergian adik kita Akbar ke alam yang lebih tenang. Begitulah Echy, seorang mahasiswa sosiologi Unhas, menulis di inbox FB yang kubaca malam hari. Sengaja saya tidak memuat semua isi kalimatnya karena alasan privacy. Mendapat kabar itu, mengertilah saya apa yang sudah terjadi. Akbar, sorang anak penderita tumor ganas itu telah pergi menghadap Sang Penyembuh segala derita.

Akbar dan penyakit tumor yang dideritanya sebelum kembali ke Sang Pencipta

Akbar sebelumnya adalah seorang anak energik dan ceria. Meski pun tumbuh dalam keluarga yang pas-pasan secara ekonomi, dia masih menjalani kehiduan seorang anak secara normal. Pagi-pagi bersemangat ke sekolah; sore hari bermain sepuasnya bersama kawan-kawan seusianya. Entah karena pengaruh euforia piala dunia, sepak bola adalah permainan yang paling digemarinya akhir-akhir ini.

Suatu ketika Akbar pulang dengan keluhan sakit di sekitar bawah lutut kanannya. Awalnya, sakit itu akibat benturan ketika bermain bola. Tetapi setelah berhari-hari, sakit itu tak kunjung reda. Malah semakin membuat Akbar tak tahan menahannya, apalagi setelah mulai muncul benjolan di sekitar daerah yang sakit.

Maka di awal Januari lalu, Akbar yang tinggal di Desa Pallantikang, Kabupaten Maros, dibawa ayahnya ke Puskesmas terdekat. Hasinya, kaki Akbar dinyatakan terserang tumor yang memerlukan penanganan lebih lanjut. Berita itu bagai petir menyambar keluarga yang hanya hidup sebagai buruh tani itu.

Keserbaterbatasan menjadikan keluarga itu hanya mampu mendekap derita salah satu anggotanya berbulan-bulan, sambil berusaha mencari pengobatan alternatif. Barulah pada bulan Mei, dengan harapan yang tersisa, keluarga itu mencoba kembali ke rumah sakit daerah. Lagi-lagi keluarga itu diberitakan bahwa Akbar menderita penyakit tumor ganas.

Hari-hari keluarga itu pun dilalui dengan kegamangan di antara pilihan-pilihan yang serba mencemaskan: operasi, amputasi, biaya yang tak terjangkau. Seluruh perhatian anggota keluarga lainnya hampir sepenuhnya tertuju ke Akbar. Bahkan dalam keserbaterbatasan itu, saudara-saudaranya yang lain rela berhenti sekolah dan hanya mengurus Akbar yang semakin tidak berdaya. Mereka berfokus merawat Akbar, sambil mengerahkan segala daya yang tersedia mencari biaya untuk kesembuhan anggota keluarga kesayangan itu.

Dan sekitar tigapuluh kilometer dari tempat keluarga Akbar bermukim, cerita itu pun sampai ke beberapa mahasiswa sosiologi, Universitas Hasanuddin. Sejumlah mahasiswa ini rupanya tersentuh oleh cerita tentang nasib Akbar dan keluarganya. Mereka pun berinisiatif mencari jalan membantu keluarga yang malang itu.

Dimulai dari uang saku mereka sendiri yang tak seberapa, usaha bantuan kemanusiaan untuk Akbar dimulai. Sadar kemampuan finansial mereka sebagai mahasiswa juga sangat terbatas, usaha pun diperluas menjadi program mahasiswa fakultas. Badan Eksekutif Mahasiswa FISIP pun dilibatkan. Koordinasi juga dilakukan ke berbagai lembaga yang bersedia menjadi donatur bagi usaha pengobatan penyakit yang diderita Akbar.

Atas usaha mahasiswa itu, Akbar yang berparas ganteng itu pun mulai dirujuk ke Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo di Makassar. Karena Akbar belum juga dirawat inap, maka biaya transportasi dari desa tempat tinggal Akbar yang agak terpencil cukup menjadi beban. Apalagi menengok keluarga ini cukup menyita waktu, serta menganggu pula perasaan nyaman Akbar jika harus selalu menempuh perjalanan yang cukup jauh saat memeriksakan diri ke rumah sakit. Maka Echy, salah seorang mahasiswa itu, bahkan rela rumahnya di Kompleks Bumi Tamalanrea Permai dijadikan tempat menginap bagi Akbar. Maka selain di sekretariat himpunan mereka di kampus, di rumah ini pula segala persiapan dilakukan sejumlah mahasiswa itu bagi usaha meringankan penderitaan Akbar.

Pemeriksaan dan konsultasi terus dilakukan dengan pihak dokter. Dan kesimpulan diagnosis dokter tak pernah berubah, ini penyakit tumor yang membutuhkan amputasi. Ditambah kalimat yang semakin mendebarkan: segera jika tak ingin terlambat!

Dalam suasana demikian, sebuah lembaga donor menyatakan siap mencukupkan dana yang mereka kumpulkan secara mandiri. Tetapi masalah lain timbul. Menurut penuturan sejumlah mahasiswa itu, keluarga Akbar tak bisa membayangkan anak mereka kehilangan kaki jika harus diamputasi. Keadaan ini menyebabkan penanganan Akbar terus diundur berlarut-larut. Bahkan keluarga kembali berfikir mencari pengobatan alternatif.

Dalam suasana seperti itulah, Akbar dipanggil Sang Khalik. Dia berpulang di tengah-tengah usaha banyak orang yang mencintainya. Di Tamalanrea pagi itu, tempat kampus Unhas berdiri berdampingan dengan RSUD Wahidin yang sempat merawat Akbar, beberapa mahasiswa tampak berkaca-kaca menceritakan perjalanan nasib Akbar.

Muhammad Ramli AT

*****

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun