Mohon tunggu...
Ramli AT
Ramli AT Mohon Tunggu... -

Lahir dan tumbuh di Bantimurung, sejauh 39 Km di timur laut pusat Kota Makassar. Sangat menikmati kehidupan di kampungnya yang berdinding deretan bukit karst terjal yang kokoh, dan berpenduduk baik hati. Memudahkan diri berbahagia melalui paduan kerja keras, bersyukur, dan menumbuhkan kegemaran baru yang positif. Meski pun merasa berbakat pas-pasan, tetapi selalu berhasrat menulis untuk berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Terimakasih Pak CS, Kau Telah Menyempurnakan Keindahan Pagiku

9 Mei 2010   23:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:18 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_137453" align="alignleft" width="300" caption="Jendela pagi (Foto: Ramli AT)"][/caption]

Masih sangat pagi ketika kamarku diketok-ketok seseorang. “Maaf, Pak, saya mengganggu. Tapi maaf, saya sangat terdesak.”

Terdesak? Saya menatap wajah lelaki berperawakan kurus itu. Sebut saja namanya Pak CS. Dialah yang bekerja sebagai cleaning service di tempat saya menyewa kamar jika sedang di Jakarta. Wajahnya tampak hitam mengkilap, mungkin akibat terlalu sering terbakar matahari. Memang dia sering juga saya temui berprofesi ganda sebagai tukang ojek jika sedang tidak bertugas, bahkan sampai larut malam.

“Ada apa, Pak CS? Bicara saja,” desak saya kurang sabar menunggu kelanjutan kalimatnya. Pak CS ini selalu menjaga jarak, padahal saya selalu berusaha akrab dengannya. Apakah cara saya mendekatinya selama ini masih ada yang kurang pas ya?

“Anu Pak, anak saya....”

“Anak Pak CS kenapa?”

“Dia butuh biaya Pak, untuk macam-macam keperluan sekolahnya. Mohon saya dipinjamkan untuk menggenapkan, akan segera saya bayar jika gajian nanti,” katanya sambil menyebut sejumlah uang untuk keperluan sekolah anaknya itu.

Untuk ukuran sebagian kita, mungkin jumlah yang dibutuhkan Pak CS tidaklah banyak. Bahkan tidak cukup untuk membayar seporsi makanan di sejumlah restoran. Tapi bagi Pak CS, uang sejumlah itu adalah pertaruhan bagi masa depan anaknya. Tentu juga bagi masa depan keluarganya.

Pak CS pernah bercerita pada saya, bagaimana sulitnya dia menyekolahkan anak-anaknya saat ini. Jangankan untuk biaya sekolah anak-anak, untuk kebutuhan sehari-hari saja dia harus memutar otak dan membanting tulang agar semua bisa tercukupi. Dia bercerita amat getir, suara amat pelan. Ada nada ketidakberdayaan jika mendengarnya bercerita seperti itu.

Cerita Pak CS seketika mengingatkanku tentang cerita sekolah gratis, kebijakan subsidi silang untuk rakyat, dan berbagai program ekonomi yang berlabel pro-poor. Kesibukan elit saling menjegal untuk apa yang disebutnya “demi rakyat” juga terlintas. Aihh....

Karena tampak terburu-buru, saya tidak bertanya lebih jauh ke Pak CS bagaimana berbagai program itu sampai ke dia. Tatapi saya tahu, untuk orang seperti dia, yang terperangkap dalam kemiskinan yang cukup akut, berbagai kekurangan tetap bisa datang dari sisi mana saja dalam hidupnya. Ditambal yang satu, bocor di tempat lain.

Anak-anak yang tumbuh seperti dalam keluarga Pak CS, memang akan sangat terbantu dengan berbagai program inklusif di dunia pendidikan. Yang terkadang jadi persoalan, implementasi program itu terkadang jauh dari gambaran cerita indah para pengambil keputusan. Dan jika esok keluarga itu semakin tidak berdaya menghadapi deraan kebutuhan ekonomi yang semakin berat, maka anak-anak itu akan terancam dimobilisasi potensi tenaga kerjanya agar kehidupan keluarga bisa bertahan. Inilah jebakan kebutuhan keluarga miskin yang tak terelakkan untuk bisa tetap bertahan, di mana potensi ekonomi tenaga kerja anak terpaksa diijon, di saat mereka justru sebaiknya lebih banyak beraktivitas di dunia pendidikan dan ikut menikmati masa-masa ceria mereka bermain.

Kasus keluarga Pak CS menunjukkan dengan jelas betapa penyelesaian masalah masyarakat kita tidak bisa hanya dengan pendekatan parsial. Ada saling keterkaitan antara berbagai aspek dalam kehidupan keluarga yang akan menentukan kemandiriannya, terutama keberlanjutan berbagai aktivitasnya. Inilah kerja besar kita ke depan. Dan semoga bagi mereka yang memiliki akses yang besar pada pengambilan kebijakan publik selalu berpihak pula pada mereka.

Pak CS mengucapkan terimakasih sambil merundukkan badannya ketika saya menyodorkan sesuatu padanya. Saya juga mengatakan bahwa itu bukan pinjaman. Dalam hati saya berkata, itu sudah hakmu Pak CS. Lagi pula saya tidak terlalu lihai mengelola utang-piutang.

Setelah Pak CS pamit sambil sedikit tersenyum, saya baru menghampiri sarapan saya yang tadi sempat kutinggalkan, buah apel dan oatmeal yang dicampur bubuk susu coklat. Sarapan yang mudah-mudahan menyehatkan, menu khas orang jauh dari keluarga. Oya, keluarga Pak CS sarapan apa pagi ini ya?

Sambil melanjutkan sarapan, saya menatap ke jendela yang terbuka lebar. Hm, halaman luas dengan tanaman yang tertata. Itu karena Pak CS juga rajin menata pepohonan dan memangkas rumput di halaman itu.

Saya tiba-tiba merasa keindahan pagiku kali ini lebih sempurna. Ada pemandangan yang menawan, udara segar, aroma coklat dari bubur oatmeal, dan sisa bersit kegembiraan Pak CS yang mendapatkan penyelesaian sementara masalah anak-anaknya. Semoga esok dia selalu menemukan cara menyekolahkan anak-anaknya, demi menjemput masa depan yang lebih baik.

10 Mei 2010

Muhammad Ramli AT

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun