Mohon tunggu...
Ramli AT
Ramli AT Mohon Tunggu... -

Lahir dan tumbuh di Bantimurung, sejauh 39 Km di timur laut pusat Kota Makassar. Sangat menikmati kehidupan di kampungnya yang berdinding deretan bukit karst terjal yang kokoh, dan berpenduduk baik hati. Memudahkan diri berbahagia melalui paduan kerja keras, bersyukur, dan menumbuhkan kegemaran baru yang positif. Meski pun merasa berbakat pas-pasan, tetapi selalu berhasrat menulis untuk berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Gagapnya Coto Makassar Masuk Mall

3 Mei 2010   22:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:26 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kuliner satu ini sangat identik dengan ibukota Propinsi Sulawesi Selatan. Namanya pun seringkali disandingkan dengan nama kota ini yang menerangkan asal-usulnya. Padahal, di Sulawesi Selatan sendiri, coto (soto) ya coto. Meseki pun memang tetap lebih banyak ditambahkan di belakangnya dengan kata “Makassar”, tetapi juga ditemukan penamaan lain yang menunjukkan keterangan tempat-tempat lokal, seperti Coto Maros atau Coto Latimojong. Selain merangkainya dengan kata keterangan tempat, ditemukan juga penamaan lain semisal Coto Paraikatte, Coto Bagadang (Begadang), Coto Dewi, atau ini: Coto Kuda alias cokud yang dagingnya benar-benar dari binatang yang bisa meringkik. Tetapi hati-hati menafsir, karena ada juga Coto Daeng Baddu atau Coto Daeng Bora’ yang dagingnya bukan dari otot gempal Daeng Baddu dan Daeng Bora’. Yang terakhir sungguh semata hanya menunjukkan siapa owner usahanya.

Karena pemahamanku tentang seluk-beluk resep masakan tidak memadai, saya hanya bisa menjelaskan bahwa kuliner ini berbahan utama daging kerbau atau sapi yang dipotong berbentuk dadu, lalu dicampur dengan kuah dengan aneka rempah. Coto selalu disajikan dengan bawang merah goreng, potongan daun bawang dan seledri, kecap, dan irisan jeruk nipis. Jika suka pedas, juga selalu tersedia sambal cabe yang pedas menyengat. Selain bumbu dasar, ketepatan campuran kelima unsur tambahan itu sangat menentukan tingkat kemaknyusan menikmati coto makassar. Untuk resep lengkap coto makassar, sudah banyak bertebaran di berbagai situs (antara lain bisa ditengok di sini dan di  sini).

Membayangkan “genre” makanan soto, mungkin kebanyakan orang lebih merasa pas menyantapnya saat udara dingin, seperti saat musim hujan atau malam hari. Tetapi gila, orang Bugis Makassar paling suka menyantap coto menjelang siang. Meski pun kini sudah banyak penjual coto yang buka 24 jam, tetapi bagi kebanyakan penggemar coto, waktu antara pukul 10 sampai 12 siang adalah saat paling nikmat melahap coto.

Mungkin karena kegemaran makan saat udara sedikit panas, tidak banyak warung coto berpendingin AC. Saya mengenal betul beberapa warung coto yang sangat laku dan karenanya pemiliknya tentu punya modal membeli AC. Beberapa di antaranya yang sukses bisa membuka beberapa cabang dengan bangunan permanen. Tetapi penjual coto yang sukses seperti ini kebanyakan tetap saja memanjakan pelanggannya dengan sensasi makan coto sambil mandi basah keringat.

Keringat yang bercucuran seolah penanda bahwa anda benar-benar sudah makan coto!

Mungkin itulah sebabnya mengapa coto sedikit susah masuk mall yang bersuasana adem oleh pendingin ruangan. Pebisnis makanan ini kebanyakan memang memulai usahanya dengan membangun warung tenda di pinggir jalan. Jika rezeki dari jual coto mulai memenuhi pundi-pundinya, pun lebih banyak yang memilih berinvestasi membeli atau menyewa ruko ketimbang masuk mall. Pilihan seperti itu mungkin karena kebanyakan penggemar coto masih berburu kuliner itu dengan hidung, bukan dengan mata. Aroma kuliner satu ini memang lumayan menyengat sehingga mudah menebak tingkat kelezatannya dari baunya.

Sementara budaya mall adalah budaya mejeng, budaya mata. Tak matching-lah mejeng di mall bermandi keringat sambil menghisap-hisap permukaan lidah yang tersengat cabe giling. Apalagi aroma kuah makanan ini yang cukup tajam bisa dituduh sebagai biang kerok pengganggu parfum Perancis para pengunjung. Maka meski pun bagi sebagian orang Indonesia, beberapa dari jenis masakan Jepang dan western food kurang “nendang” di lidah, tetapi budaya mata mall lebih nyambung dengan penampilan warna warni menawannya. Inilah mungkin yang sementara menyulitkan penjual dan penikmat coto fanatik karena mereka kebanyakan bersikukuh mempertahankan “ideologi partai”: makan ya urusan lidah, penampilan urusan sesudahnya!

4 Mei 2010

Muhammad Ramli AT

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun