Mohon tunggu...
Ramli AT
Ramli AT Mohon Tunggu... -

Lahir dan tumbuh di Bantimurung, sejauh 39 Km di timur laut pusat Kota Makassar. Sangat menikmati kehidupan di kampungnya yang berdinding deretan bukit karst terjal yang kokoh, dan berpenduduk baik hati. Memudahkan diri berbahagia melalui paduan kerja keras, bersyukur, dan menumbuhkan kegemaran baru yang positif. Meski pun merasa berbakat pas-pasan, tetapi selalu berhasrat menulis untuk berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Melihat Tradisi Angkat Rumah di Bantimurung

20 Januari 2011   23:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:20 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengangkat barang berukuran kecil adalah hal biasa. Tetapi bagaimana jika yang diangkat adalah sebuah rumah tinggal berukuran besar? Meski pun kejadian begini bukan hal luar biasa di Sulawesi Selatan, tetapi tradisi ini sedikit memudar seiring merosotnya minat memiliki rumah panggung.

Tradisi mengangkat rumah di Sulawesi Selatan memang dimungkinkan terutama karena dua hal, yaitu bentuk rumah tradisional yang berupa rumah panggung yang didukung sifat kegotongroyongan masyarakatnya Seperti banyak bentuk rumah di nusantara, rumah tradisional penduduk yang mendiami jazirah selatan Pulau Sulawesi ini memang berbentuk rumah panggung. Di beberapa daerah di Sulawesi Selatan memiliki ornamen rumah yang khas, tetapi pola dan bentuk umumnya sama saja. Meski pun mulai banyak ditinggalkan, secara tradisional ornamen ini juga berbeda menurut status sosial penghuninya, seperti yang bisa terlihat dari timpassila/timpalajayang berjumlah minimal 3 tingkat untuk kalangan bangsawan.

Secara vertikal rumah-rumah orang Bugis-Makassar dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu bagian bawah (kolom), tengah, dan atas. Sebagian besar aktivitas rumah tangga dilakukan di bagian tengah yang dalam istilah orang Bugis disebut ale bola, atau kale balla’ dalam Bahasa Makassar. Sementara bagian atas yang letaknya di antara langit-langit dan atap disebut rakkeang (Bugis) atau pammakkang (Makassar). Pembagian ini berdasarkan pandangan kosmologi orang Bugis-Makassar yang menganggap alam semesta terbagi ke dalam tiga tingkatan, yaitu dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah.

Warga yang berkumpul di sekitar rumah yang akan mereka angkat
Warga yang berkumpul di sekitar rumah yang akan mereka angkat
1295563503765314673
1295563503765314673
Kerangka rumah terdiri dari tiang dan balok yang dirangkai tanpa menggunakan paku. Tiang-tiang penyanggah rumah biasanya dibuat dari kayu pilihan yang kuat. Tiang-tiang rumah ini ada yang dipancang ke dalam tanah, sementara yang lainnya hanya diletakkan di atas batu dengan perhitungan keseimbangan yang akurat. Tentu saja ketahanan rumah sangat tergantung dari jenis material terutama kayu yang digunakan untuk membangunnya, serta kecakapan tukang merangkai material tersebut menjadi rumah panggung yang utuh. Banyak dari rumah-rumah ini tetap berdiri kokoh selama puluhan tahun, bahkan sampai penghuninya beranak-cucu di rumah tersebut.

Jika sang pemilik rumah ingin pindah ke tempat lain yang tidak begitu jauh, biasanya rumah itu cukup diangkat oleh warga kampung secara bergotong royong. Tetapi rumah yang dipindahkan dengan diangkat juga bisa karena alasan rumah itu telah dijual tidak dengan tanahnya. Inilah salah satu keistimewaan lain rumah panggung. Dengan cara diangkat, pekerjaan memindahkan rumah bisa berlangsung lebih cepat, lebih murah, dengan kemungkinan resiko kerusakan akibat membongkar yang lebih sedikit.

12955633201842833285
12955633201842833285
Dewasa ini, karena semakin berkurangnya minat membuat rumah panggung, tradisi mengangkat rumah juga semakin jarang ditemukan. Setelah beberapa tahun tidak menyaksikan kejadian seperti ini, di penghujung tahun 2010 lalu saya sempat menyaksikan kembali kegiatan gotong royong mengangkat rumah ini di Pakalu, sebuah kampung yang menjadi Ibukota Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros. Jarak pemindahannya tidak begitu jauh, hanya terbilang puluhan meter dengan posisi rumah yang diputar sembilan puluh derajat. Ini berbeda saat rumah mantan imam kampung setempat yang sebelumnya diangkat sejauh kira-kira satu kilometer menuju tempatnya yang baru. Tetapi meski pun rumah yang akan diangkat tak begitu jauh dari lokasi awalnya, tetapi acara angkat rumah pagi itu terlihat amat semarak.

Pagi-pagi sekali, warga dari kampung sekeliling Pakalu sudah mulai berdatangan. Mereka membawa sendiri perkakas yang mungkin diperlukan, terutama parang yang menjadi alat kerja sehari-hari penduduk yang banyak bekerja sebagai petani. Batang-batang bambu dipotong sesuai ukuran panjang dan lebar rumah. Bambu-bambu ini lalu diikatkan ke tiang rumah untuk membantu menahan struktur rumah dari goncangan, sekaligus akan menjadi sandaran bahu ketika rumah diangkat.

Ketika matahari pagi makin meninggi, ratusan orang dari berbagai penjuru kampung semakin banyak berkumpul. Lalu salah seorang kerabat pemilik rumah memberi aba-aba melalui pengeras suara agar semua bersiap mengangkat rumah berukuran sekitar 10 x 14 meter itu. Satu... dua... tigaaaa... Dan rumah pun bergerak pelan. Meski pun sempat berhenti beberapa kali, tetapi akhirnya sampai juga di tempat baru yang dituju.

Di dapur tetangga kaum perempuan juga tak kalah sibuknya menyiapkan masakan istimewa bagi warga yang hadir. Saat pekerjaan mengangkat rumah hampir rampung, sajian ikan bakar dengan sup saudara yang aromanya menyengat juga mulai dihidangkan. Sup saudara adalah kuliner khas Sulawesi Selatan yang cukup populer, meski pun namanya sepintas bisa menimbulkan salah pengertian. Tetapi ini suuup, Saudara!

12955643482068717976
12955643482068717976

Mangkuk-mangkuk berisi sup saudara ditata rapi di atas jejeran meja. Sementara di jejeran meja lainnya tersedia ikan bandeng bakar dengan saus kacang yang masih mengepul. Sup saudara dan ikan bakar adalah pasangan serasi untuk disantap ketika perut mulai keroncongan. Terlebih seusai mengeluarkan tenaga ekstra mengangkat sebuah rumah.

Setiap orang lalu mengambil semangkuk sup dan piring berisi seekor bandeng bakar beserta sausnya. Lauk ini dinikmati bersama nasi putih dari beras yang belum lama dipanen dari sawah-sawah di sekeliling perkampungan. Masing-masing orang memilih tempat di sekeliling halaman yang cukup luas. Mereka duduk berkelompok, bercengkrama, saling melempar guyonan ala kampung, sambil menikmati sisa makanan di piring. Mau nambah? Heheheee, ini Bantimurung, Daeng. Tak ada kata “kehabisan” untuk menjamu tamu-tamu agar lupa berdiri karena lahap menikmati sajian tuan rumah. Acara makan bersama memang menjadi bagian yang selalu ada dalam setiap acara seperti ini.*****

Naskah & foto-foto: Muhammad Ramli AT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun