Mengangkat barang berukuran kecil adalah hal biasa. Tetapi bagaimana jika yang diangkat adalah sebuah rumah tinggal berukuran besar? Meski pun kejadian begini bukan hal luar biasa di Sulawesi Selatan, tetapi tradisi ini sedikit memudar seiring merosotnya minat memiliki rumah panggung.
Tradisi mengangkat rumah di Sulawesi Selatan memang dimungkinkan terutama karena dua hal, yaitu bentuk rumah tradisional yang berupa rumah panggung yang didukung sifat kegotongroyongan masyarakatnya Seperti banyak bentuk rumah di nusantara, rumah tradisional penduduk yang mendiami jazirah selatan Pulau Sulawesi ini memang berbentuk rumah panggung. Di beberapa daerah di Sulawesi Selatan memiliki ornamen rumah yang khas, tetapi pola dan bentuk umumnya sama saja. Meski pun mulai banyak ditinggalkan, secara tradisional ornamen ini juga berbeda menurut status sosial penghuninya, seperti yang bisa terlihat dari timpassila/timpalajayang berjumlah minimal 3 tingkat untuk kalangan bangsawan.
Secara vertikal rumah-rumah orang Bugis-Makassar dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu bagian bawah (kolom), tengah, dan atas. Sebagian besar aktivitas rumah tangga dilakukan di bagian tengah yang dalam istilah orang Bugis disebut ale bola, atau kale balla’ dalam Bahasa Makassar. Sementara bagian atas yang letaknya di antara langit-langit dan atap disebut rakkeang (Bugis) atau pammakkang (Makassar). Pembagian ini berdasarkan pandangan kosmologi orang Bugis-Makassar yang menganggap alam semesta terbagi ke dalam tiga tingkatan, yaitu dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah.
Jika sang pemilik rumah ingin pindah ke tempat lain yang tidak begitu jauh, biasanya rumah itu cukup diangkat oleh warga kampung secara bergotong royong. Tetapi rumah yang dipindahkan dengan diangkat juga bisa karena alasan rumah itu telah dijual tidak dengan tanahnya. Inilah salah satu keistimewaan lain rumah panggung. Dengan cara diangkat, pekerjaan memindahkan rumah bisa berlangsung lebih cepat, lebih murah, dengan kemungkinan resiko kerusakan akibat membongkar yang lebih sedikit.
Pagi-pagi sekali, warga dari kampung sekeliling Pakalu sudah mulai berdatangan. Mereka membawa sendiri perkakas yang mungkin diperlukan, terutama parang yang menjadi alat kerja sehari-hari penduduk yang banyak bekerja sebagai petani. Batang-batang bambu dipotong sesuai ukuran panjang dan lebar rumah. Bambu-bambu ini lalu diikatkan ke tiang rumah untuk membantu menahan struktur rumah dari goncangan, sekaligus akan menjadi sandaran bahu ketika rumah diangkat.
Ketika matahari pagi makin meninggi, ratusan orang dari berbagai penjuru kampung semakin banyak berkumpul. Lalu salah seorang kerabat pemilik rumah memberi aba-aba melalui pengeras suara agar semua bersiap mengangkat rumah berukuran sekitar 10 x 14 meter itu. Satu... dua... tigaaaa... Dan rumah pun bergerak pelan. Meski pun sempat berhenti beberapa kali, tetapi akhirnya sampai juga di tempat baru yang dituju.
Di dapur tetangga kaum perempuan juga tak kalah sibuknya menyiapkan masakan istimewa bagi warga yang hadir. Saat pekerjaan mengangkat rumah hampir rampung, sajian ikan bakar dengan sup saudara yang aromanya menyengat juga mulai dihidangkan. Sup saudara adalah kuliner khas Sulawesi Selatan yang cukup populer, meski pun namanya sepintas bisa menimbulkan salah pengertian. Tetapi ini suuup, Saudara!
Mangkuk-mangkuk berisi sup saudara ditata rapi di atas jejeran meja. Sementara di jejeran meja lainnya tersedia ikan bandeng bakar dengan saus kacang yang masih mengepul. Sup saudara dan ikan bakar adalah pasangan serasi untuk disantap ketika perut mulai keroncongan. Terlebih seusai mengeluarkan tenaga ekstra mengangkat sebuah rumah.
Setiap orang lalu mengambil semangkuk sup dan piring berisi seekor bandeng bakar beserta sausnya. Lauk ini dinikmati bersama nasi putih dari beras yang belum lama dipanen dari sawah-sawah di sekeliling perkampungan. Masing-masing orang memilih tempat di sekeliling halaman yang cukup luas. Mereka duduk berkelompok, bercengkrama, saling melempar guyonan ala kampung, sambil menikmati sisa makanan di piring. Mau nambah? Heheheee, ini Bantimurung, Daeng. Tak ada kata “kehabisan” untuk menjamu tamu-tamu agar lupa berdiri karena lahap menikmati sajian tuan rumah. Acara makan bersama memang menjadi bagian yang selalu ada dalam setiap acara seperti ini.*****
Naskah & foto-foto: Muhammad Ramli AT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H