Setelah berpacu melawan tikungan demi tikungan yang tajam dan pejal, kaki ini sampai juga di desa Tegalrejo, kecamatan Gedangsari. Desa ini begitu sunyi. Hanya satu-dua orang yang terlihat berlalu-lalang. Warung-warung juga banyak yang tutup. Mungkin ini dikarenakan hujan rintik-rintik masih bersetia menyiram Tegalrejo dan sekitarnya.
Aku segera menuju sebuah mushalla kecil di depan balaidesa Tegalrejo. Setelah menunaikan shalat, langsung kukeluarkan perbekalan yang kubawa sejak dari penginapan. Selain beberapa makanan ringan, tentu yang menjadi senjata pamungkas adalah Geliga Krim. Aku keluarkan sedikit krimnya dan kuoleskan di pergelangan tangan yang sedari tadi sempat keram. Selain mudah digunakan, kelebihan lain dari krim ini juga tidak lengket dan tidak menimbulkan noda pada pakaian.
Tak berselang lama, orang yang kutunggu-tunggu pun datang. Namanya pak Sugiman (50). Ia merupakan lurah desa Tegalrejo yang baru saja mendapatkan penghargaan dari Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X lantaran kiprahnya yang berhasil menghidupkan kembali tradisi batik di desanya.
"Walaupun desa kami nyempil di pojokan Yogya, kami ingin memberi warna tersendiri untuk turut menyemarakkan pentas wisata Yogyakarta. Kami ingin berkontribusi dengan bekal potensi lokal yang ada Mas", ucapnya bersemangat.
Dan memang, apa yang diutarakan Sugiman bukan sekadar omong belaka. Jika Anda ke sini, jangan terkejut jika mendapati anak usia 4 tahun yang sudah bisa mewarnai pola batik dengan baik. Juga jangan kaget jika bertemu anak setingkat SD-SLTP yang sudah piawai membuat pola batik sendiri. Dan jangan takjub jika remaja jenjang SLTA sudah biasa memasarkan karya batiknya sendiri secara mandiri.
Begitu juga dengan lini potensi lainnya seperti wisata alam. Para pemuda yang tergabung dalam Karang Taruna berjibaku menjadikan desanya sebagai destinasi wisata alam baru yang ekonomis tapi berkualitas. Selain curug Tegalrejo yang indah menawan, belakangan para pemuda itu juga menggalang kerjasama dengan lintas Karang Taruna tiga desa demi membuat wahana rekreasi berjuluk Green Village Gedangsari. Sungguh kreatif bukan?
Selain mendapat banyak sekali pengetahuan, dari desa ini aku juga mendapat segunung inspirasi untuk menghidupkan kembali tradisi batik di kampungku yang kini mulai terdampak krisis regenerasi. Keluh kesah yang menyerang sepanjang perjalanan keberangkatan juga terbayar sudah lantaran melihat semangat warga desa yang berjibaku membangun desanya.
Menjelang senja, akupun tancap gas untuk pulang ke penginapan. Kali ini aku menjajal jalan pulang yang berbeda. Sengaja aku tempuh desa Mertelu kecamatan Gedangsari untuk sekadar melihat wahana Green Village yang diceritakan para pemuda tadi. Sayangnya, karena hujan tak kunjung berhenti, wahana itu terlihat sepi dan berkabut. Kendati demikian hal itu tak mengurangi sama sekali keindahan dan keanggunannya. Berselimutkan kabut, puncak bukit Green Village serasa menjadi lautan awan.