Suatu ketika setelah Nabi Muhammad menjalani Isra' dan Mi'radj, Aisyah bertanya; "Wahai Nabi apakah engkau melihat Allah, Nabi menjawab;Â "Tidak". Pada saat lain Ibnu Abbas bertanya hal yang sama kepada Beliau, dan Nabi menjawab; "Aku Melihat-Nya". Saya meyakini Islam adalah agama yang sempurna, karena itu Islam tidak dibatasi oleh "pengertian" tekstual ataupun kontekstual semata (ataupun keduanya jika digabung). Riwayat di atas tidak menunjukkan bahwa Nabi kita "berbohong" pada Aisya ataupun Ibnu Abbas. Tetapi "ada sesuatu" yang menjadikan (mengharuskan) Nabi memberikan jawaban yang berbeda kepada keduanya yang memiliki "perbedaan" latar pengetahuan, tingkat spiritual dan kedewasaan berpikirnya (tetapi dengan tujuan yang satu/sama yakni Ridho Allah yang terbaik).
Demikian pula dengan semua ritual keagamaan yang diajarkan dalam Islam ataupun agama lain, pasti memiliki makna substantif di samping makna simbolik. Sebagai contoh adalah ritual ibadah haji, dimana mereka harus memakai kain ihrom putih yang melambangkan makna persamaan derajat dan tidak adanya perbedaan status sosial di hadapan Allah. Karena itu bagi mereka yang akan beribadah haji harus meniatkan ibadahnya itu untuk meniadakan "kesombongan" posisi status sosialnya ketika sedang berhaji ataupun setelah pulang ke tanah air karena ini salah satu indikasi haji yang mabrur (diterima Allah). Kedua dalam haji kita mengenal ritual Thawaf dan sholat di sekitar Ka'bah (Masjidil Haram), dimana kita bisa berada pada posisi yang berbeda, tetapi tetap tujuan atau fokusnya adalah ka'bah (representasi Allah) di dunia. Kita bisa melihat dengan jelas ketika di sana (Makkah), orang sholat secara empiris (menghadap dari segala arah menuju ke Ka'bah). Ini adalah simbol yang bisa diartikan bahwa kita ini berbeda, tetapi tujuannya sama. Jadi, marilah kita menghargai perbedaan itu karena itu adalah Sunnahtullah (hukum Allah). Orang mau memahami "Islam" dalam perspektif yang berbeda (asal niat dan tujuannya baik/mendapat ridho Allah) maka kita harus menghormati. Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk sama dan mengikuti kita. Janganlah kita mengkaji agama Islam dengan membatasi diri kita dengan pengetahuan kita sendiri atau pengetahuan ustad/guru/kiai kita semata, kita harus membatasi pengkajian itu dengan ilmunya Allah yang tidak ada batas. Bukankah perintah pertama kepada Nabi Muhammad adalah "Iqra !'"= "Bacalah!". Dengan keterbukaan semacam ini diharapkan kita bisa mencapai puncak spiritualitas sebagaimana yang dicontohkan para Nabi dan Rasul. Bukankah Nabi Muhammad pernah bersabda yang kira2 kalau diringkas artinya adalah ;"Barang siapa ingin berkumpul bersama para Nabi dan Rasul di akhir zaman, maka berdermawanlah kepada orang yang kikir/pelit kepadamu, sambunglah silaturrahmi kepada orang yang memutuskan tali silaturahmi kepadamu, dan berbuat baiklah kepada orang yang mendholimi dirimu", kalau Nabi memerintah kita seperti ini berarti kan kita punya potensi untuk bisa mencapai tingkat kemanusiaan yang luhur itu. Inilah hakekat Bhineka Tunggal Ika (berbeda tetapi tujuannya satu; "Allah").
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H