Tiba-tiba aku terperosok ke dalam lubang, dalam. Kepala, bahu, tangan, paha, kaki, dan seluruh tubuhku biru, memar. Membentur tanah keras, batu. Membuat gelap semakin gelap. Aku tak sadarkan diri. Ketika tersadar semua masih gelap. Aku mencoba menggerakkan seluruh tubuhku, sakit, perih. Aku sudah sadar, namun masih gelap dan kelam.
........
Aku menamakan tempat ini ruang misteri. Ruang, karena di sini tanganku dapat menyentuh dan merasakan sesuatu yang keras seperti dinding, seperti benteng, mungkin batas kelam tempat ini. Akupun masih bisa menghirup udaranya. Misteri, Karena di sini semua tidak jelas. Hanya gelap, kelam, sepi, dan aku sendiri.
Sejak kapan aku berada di sini. Aku tidak tahu pasti. Yang pasti aku sudah di sini, sendiri, dalam gelap yang panjang. suara yang terdengar hanya langkah kaki dan hembus nafasku. Bahkan ketika aku berteriak, hanya suaraku yang bergema menjauh semakin jauh semakin kecil, lamat lalu menghilang.
Di sini seperti malam gelap ketika bintang dan bulan disembunyikan awan dengan jubah mendungnya. Padahal aku suka sekali dengan malam. Karena malam menyuguhkan gelap, karena gelap menyuguhkan tenang, karena tenang menyuguhkan hening. Dan kadang aku butuh hening untuk merenung, mencari dan menemukan jawaban dari teka-teki yang kudapati beberapa hari ini, bahkan saat ini. Dan malam sering memberikan waktu untuk mencari solusi. Tapi bukan gelap seperti ini yang aku mau. Ini bukan malamku. Di sini tidak ada bintang, apalagi rembulan, yang memercikkan cahayanya ke bumi.
Gelap ini tidak bertepi. Mataku tidak menangkap setitikpun cahaya. Setelah beberapa saat aku terdiam, aku memutuskan untuk berjalan, menelusuri ruang misteri ini.
Sekian lama berjalan. Aku merasakan lelah yang dalam. Sepi yang begitu menusuk. Seakan perlahan ingin membunuhku. Aku semakin sepi. Semakin sendiri, tidak ada teman untuk berbagi. Sesekali aku berteriak untuk memastikan dan berharap bahwa di ruang ini ada orang lain. Namun sia-sia, sepi benar-benar mengiris hati.
Tiba-tiba aku rindu dengan semua. Rindu dengan rasa yang pernah dengan sangat lembut menyentuh salah satu sisi hatiku. Yang membuatku berbicara, tertawa, berteriak, bernyanyi dalam ceria. Cinta.
Aku memang belum mengerti tentang cinta, bahkan belum tahu pasti apa yang kurasakan itu adalah cinta. Cinta menjadi teka-teki dan itu semakin misteri ketika aku tak kunjung memahaminya. seperti cinta itu sendiri, ia pun misteri. Tak ada yang tahu pasti darimana ia, bagaimana bentuk dan rasanya. Apakah binatang, tumbuhan, malaikat, laut, hutan, gunung dan semua yang ada di semesta ini memiliki rasa cinta? Atau hanya manusia saja?. Tidak ada jawaban tunggal yang bisa mewakili dan dapat diterima semua.
Cinta itu membingungkan, namun dalam ruang misteri ini, aku sangat merindukannya. Untuk hadir menemani. Aku pun berusaha mencari dan menemukan cinta dalam diriku sendiri. Karena di sini hanya ada aku. Aku memanggil-manggilnya, namun ia tak pernah kunjung datang. Apakah aku sudah tidak memiliki cinta lagi?. lalu bagaimana dengan gadis bermata cahaya yang aku cintai?. Cinta tidak boleh hilang dan pergi dari diri ini. Aku harus meyakinkan diriku.
Aku mendzikirkan kata-kata cinta dalam dada. Hingga akhirnya aku merasa cinta itu masih ada. Keyakinan itu juga yang menemaniku saat ini. Aku merasa tidak sendiri dan sepi lagi, ada cinta yang menemani. walau ia masih misteri.
Aku harus terus berhati-hati, terutama hati ini. misteri tidak pernah terjawab secara pasti.
........
“Apakah kau mencintaiku?”
“Aku tidak berani mengatakan apalagi mengobral janji tentang cinta terlebih berdalih atas nama cinta sejati. cinta itu misteri, dan misteri itu belum berwujud nyata. Kamu gadis bermata cahaya, itu pasti. Aku seseorang yang suka dengan malam dan kata-kata, itu pun pasti. Aku dan kamu nyata, itu pasti. Sesuatu yang nyata tidak mungkin bisa disatukan oleh sesuatu yang tidak nyata.”
“Bagaimana kita bersatu kalau bukan karena cinta?”
“Wujud-nyatakanlah cinta itu. Bukan dengan ucapan melainkan pembuktian. cinta yang tidak nyata dan misteri itu wujudkanlah menjadi sesuatu yang nyata. Barulah cinta bisa menyatukan kita.
“Bagaimana aku mengatakan kepadamu kalau aku cinta padamu?”
“Tidak perlu kau berkata-kata bahkan meneriakkan cinta ke seluruh penjuru dunia. cukup bisikkan hatimu, karena bahasa cinta adalah bahasa hati.”
Gadis bermata cahaya hilang begitu saja, tiba-tiba. Meninggalkan percakapan yang terus terngiang di telinga dan bergema dalam diriku. Percakapan tentang hati.
Bukankah hati juga misteri?.
Aku memanggil-manggil hati dalam diriku. Hati yang merupakan pusat dan sumber tingkah lakuku. Jika ia baik maka baiklah semua tingkah laku, dan sebaliknya.
Selain zikir cinta kali ini aku menambahkan dzikirku dengan hati. Agar aku meyakini bahwa aku masih memiliki hati.
........
Aku meraba-raba dan melangkah tidak pasti, namun tidak sesepi dan setakut sebelum ini. Sekarang aku yakin ada yang menemani. cinta dan hati.
“Apakah cinta sudah nyata bagimu?”, tiba-tiba ada suara yang datang menyapaku.
“Keyakinanku saat ini membuatku merasakan hadirnya cinta sebagai sesuatu yang nyata. Nyata di hati ini. Aku yakin itu.
hati dan cinta sesuatu yang nyata. Namun tidak bisa aku ucapkan, sebab ucapan akan hilang setelah diucapkan.
“Lalu bagaimana kau bisa yakin kalau kau memang yakin?”
Akupun teringat dengan fikiran yang aku punya. Lagi-lagi aku kembali memanggil-manggil, berteriak, mencari fikiran dalam diriku.
Karena aku yakin ia tidak akan datang, kembali aku bedzikir menyebut namanya hingga keyakinan datang.
.........
Cinta, hati dan fikiran. Hal-hal misteri itulah yang menemaniku di ruang misteri ini. Walau mereka semua masih misteri, aku cukup merasakan sentuhan-sentuhan lembut mereka pada tubuhku yang penuh luka dalam melanjutkan perjalanan kelam ini.
Aku ingin istirahat dan menepi sejenak. Kakiku tidak kuat untuk melangkah. Ada cairan di sana, setelah kupegang dan kudekatkan ke hidung, anyir sekali, darah. Ya, kakiku berdarah. Kaki kuselonjorkan, sedang badan kusandarkan pada sesuatu seperti dinding.
Aku pejamkan mata, walau di sini tiada beda, memejamkan mata atau tidak. Sama-sama gelap. Setelah menarik nafas dan menghembuskannya beberapa kali, aku teringat dengan cinta, hati, dan fikiran. Aku coba berteriak kembali memanggil mereka. Hanya gema yang semakin jauh semakin kecil lalu menghilang dalam kelam. Berulangkali aku panggil mereka. tidak ada tanda. Apakah kali ini mereka benar-benar pergi?.
Teriakanku sudah hilang di kejauhan. Akupun sudah mencapai puncak lelah. Sudah lama perutku tidak mengolah makanan, bahkan air. Lebih baik aku istirahat dan tidur. lelah ini sudah tidak tertahan lagi.
"Wahai jiwa yang gelisah dan lelah, bangunlah, istirahatmu tidak akan merubah gelisah dan galaumu menjadi tenang dan senang".
Lamat-lamat suara itu memukul gendang telingaku. Suara cinta.
"Cinta dari mana saja? Akhirnya kau bersuara juga. Tadi aku mencarimu kemana-mana".
"Aku tidak kemana-mana, aku ada dan selalu bersamamu".
"Tapi kenapa aku tidak merasakan kehadiranmu?"
"Karena kamu terlalu egois. Memikirkan diri sendiri. kamu hanya ingin memenuhi hasratmu sendiri. Hanya merasakan dirimu sendiri. Hanya kamu sendiri. Kamu tidak pernah melihat di sekitar kamu. Tidak pernah memperhatikan orang-orang di sekeliling, Tidak pernah memberikan sentuhan lembutmu pada orang yang kamu cintai. Kamu tidak akan pernah merasakan kehadiranku jika dirimu hanya melihat dirimu sendiri. Cinta bukan untuk memenuhi keinginan dan hasrat sendiri, tapi cinta untuk membangun kebersamaan, untuk bersama-sama, untuk mereka, untuk orang-orang yang kamu sayangi dan cintai. Cinta untuk mereka bukan kita, untuk dia bukan anda, cinta untuk kamu bukan aku".
"Di sini tidak ada orang lain, di sini hanya ada aku dan kamu".
"Ternyata kamu belum sadar, wahai jiwa yang gelisah, bangunlah!!!, sadarlah!!!,"
Suara cinta hilang begitu saja tanpa jejak dan gema. kembali sunyi, sepi, dan kelam. ia menghilang dalam kelam. Sepi kembali menyerang diriku. Kali ini begitu dalam, hingga aku merasa begitu sendiri. Benar-benar sendiri.
"Apakah ini gelisah?", dalam sendiri yang begitu dalam dan menyengat, aku bertanya pada diriku sendiri tentang rasa yang menyerang dan menusuk. Aku ingin sekali berteriak sekeras-kerasnya. Mungkin dengan itu, bisa sedikit menghilangkan rasa sakit ini. Niat itu aku urungkan, teriakan itu hanya akan membuang energi yang tinggal sedikit lagi di dalam tubuh ini.
Aku pun ingin sekali menangis, mungkin dengan menangis bisa menghilangkan dan mengurangi rasa sakit ini, aku ingin sekali mengeluarkan air mata sebanyak-banyaknya, namun lagi-lagi, niat itu pun aku batalkan.
Airmataku terlalu berharga untuk sesuatu yangmenyakitkan. Aku berusaha untuk tidak memberikan airmata ini untuk apapun dan siapapun yang menyakiti, menyedihkan, mengacuhkan, mengkhianati, dan membenciku. Tidak akan.
Begitupun, aku tidak akan memberikan airmata untuk ruang gelap, kelam, sendiri, sakit, luka, duka, dan sepi ini.
"Hei jiwa yang gelisah...", Tiba-tiba sebuah suara menyapaku dalam gelap.
"Hei, engkaukah hati? dimana kamu? temani aku di sini, aku benar-benar sepi dan sendiri".
"Aku ada bersamamu, setiap saat setiap waktu"
Jawaban sama dan persis dengan apa yang dikatakan cinta sebelum pergi dan menghilang. Ah, aku kembali teringat dengan cinta, tiba-tiba saja ada kerinduan.
"Apakah kau sama seperti cinta?, dan kembali menjadikanku sebagai diri yang bersalah?".
"Kamu memang salah. kamu hanya punya satu hati. Kamu akan sempurna merasakan hatimu itu, jika ia sepenuhnya kamu berikan untuk satu hati juga. Kamu masih suka bermain-main dengan hati, bermain-main dengan banyak hati. Hingga kamu tak pernah merasakan hadirnya hati".
"Aku tidak pernah selingkuh, aku tidak pernah punya kekasih lebih dari satu, aku setia padanya".
"Kamu bohong!. Kamu tidak sadar. Memang kamu tidak pernah selingkuh, memang kamu punya kekasih hanya satu. Tapi kamu masih suka menggoda, melirik, dan mengagumi, bahkan menyukai orang lain. Masih ada hasrat untuk memiliki yang lebih, lebih cakep, lebih kaya, lebih pintar, dan lebih lainnya. Kamu sudah selingkuh."
"Bukankah sebagai manusia wajar menyukai sesuatu yang indah dan lebih?"
"Karena dalih wajar dan lumrah itulah yang sering membuatmu sesat dan menyesatkan. Kamu pasti tahu tentang orang yang tengah memadu kasih. Mereka menganggap ciuman, dan pegangan tangan itu lumrah dan wajar. Bagi mereka yang mempunyai batasan, mungkin ciuman dan pegangan tangan itu akan tetap berada dalam koridor yang tidak membahayakan. Namun bagi mereka yang tidak punya batasan, hal lumrah tadi itu justeru yang menyesatkan mereka. Walhasil, banyak gadis-gadis yang hamil tanpa ada seorang bapak yang mengakuinya, kalau pun ada, mereka tetap hamil di luar nikah. Itu bermula dari hal yang lumrah dan wajar. Bermula dari pegang tangan dan ciuman."
Lagi-lagi aku terpojok dalam kesalahan. Kesalahan yang aku buat sendiri. semakin sakit dan sedih.
Hidup itu aku yang buatnya sedih. Hidup itu pilhanku sendiri. Aku sendiri yang membuatnya jadi apa saja. Namun di ruang kelam ini, sepertinya aku tidak punya pilihan. Hanya ada gelap dan kelam. lelah dan letih. sakit dan perih. luka dan duka. Pilihan yang tiada beda rasanya.
Dalam lelah yang semakin lelah. Gelap yang semakin gelap. kelam yang semakin kelam. luka yang semakin luka. duka yang semakin duka. misteri yang semakin misteri. tiba-tiba saja ada kerinduan yang dalam. aku rindu sekali dengan cintaku. gadis bermata cahaya.
Karena cinta dan hati sudah berbicara, maka aku fokuskan cinta dan hatiku hanya untuk satu hati, satu cinta. Hati dan cinta gadis bermata cahaya. Aku tidak mau bermain-main lagi dengan hati dan cinta. Hati dan cintaku harus kujaga sebaik-baiknya. harus kurawat sebaik-baiknya. Hati dan cintaku seutuhnya dan satu-satunya harus kuberikan padanya, gadis bermata cahaya. Aku yakin pada akhirnya, nikmat cinta dan hati itu akan kembali padaku. Aku akan merasakan hati dan cinta lagi. Apakah itu cinta suci?, ah, aku tidak peduli. Aku hanya ingin memberi cinta dan hatiku untuk dia, gadis bermata cahaya. Karena cinta bukan untukku, tapi untuk kamu, untuk dia, dan untuk mereka. Dan cintaku hanya untuk gadis bermata cahaya.
"Apa kau yakin dengan itu?".
Tiba-tiba saja suara yang sudah lama tidak aku dengar mengagetkan renungan, lebih tepatnya lamunanku. Suara yang aku jumpai beberapa waktu lalu. Ah, aku tidak mau membicarakan waktu. Waktu sudah mati di sini. Waktu menjadi tidak pasti. waktu ibadah, sedekah, istirahat, kerja, belajar, bermain, dan waktu-waktu yang lain, semuanya sudah tidak pasti.
Aku tahu dan ingat betul suara ini milik siapa. Pikiran.
"Kenapa kau bertanya seperti itu?”
"Aku hanya ingin menegaskan hati dan cintamu, apa benar kau sudah sudah yakin dan mantap dengan pilihanmu, gadis bermata cahaya. Apa kau sudah yakin?."
"Aku sudah yakin dengan pilihanku, aku yakin dia yang terbaik buatku, aku yakin dia memang jodohku, aku yakin." Aku menjawab mantap, tidak ada keraguan sedikitpun menyelinap.
"Apakah kau sudah pikirkan semuanya? sudahkah kau tahu karakternya, sikap, sifat, kekurangan, kelebihan dan semua tentang dirinya?. Dan satu yang lebih dan paling penting, apakah ia juga memberikan satu-satunya cinta dan hati miliknya hanya kepadamu?. Jika hanya hati dan cintamu yang kau berikan, bukankah itu menyakitkan?"
"Bukankah cinta dan hatiku untuknya bukan untukku?".
"Cinta dan hati itu akan menjadi nyata dan bisa bersatu jika keduanya sudah bertemu dalam hati pasangan masing-masing. Hati dan cintamu berada di hati dan cintanya, hati dan cintanya berada di hati dan cintamu. Di situlah cinta dan hati mengikat dua insan yang saling mencintai."
Keraguan mulai menghinggapi diriku, pertanyaan besar muncul di kepalaku. Apakah gadis bermata cahaya memberikan cinta dan hatinya hanya untukku?.
"Cinta itu sempurna karena saling menjaga. Cinta itu akan bertahan lama karena saling memahami. Cinta itu damai karena saling mengerti. Cinta itu indah karena saling berbagi. Pada dasarnya cinta dua insan itu adalah prinsip saling. Si laki-laki mencintai perempuan, begitu juga si perempuan mencintai laki-laki. Si laki-laki perhatian dengan perempuan, begitu juga sebaliknya. Cinta itu saling. Jangan pernah mengedepankan diri yang paling, paling bener, paling hebat, paling mengerti, paling pengertian, dan paling-paling yang lain, karena cinta itu saling".
Aku semakin diam, semakin tertunduk, semakin lemas, semakin lelah, semakin sakit, semakin pilu, semakin luka, dan semakin duka.
"Buktinya, sekarang kau masih sendiri di sini, tidak ada sedikitpun suara, minimal doa, yang menyebut dan memanggil-manggil namamu. Bukankah itu tanda gadis bermata cahaya tidak memberikan cinta dan hatinya padamu?. Jika ia memberikan itu, hati dan cintamu akan seperti mempunyai aliran listrik yang saling terhubung antara satu sama lain. Jika ia atau kamu mengalami sesuatu, maka masing-masing akan merasakan sesuatu itu."
"Hei, kenapa kau berkata seperti itu, kamu kan fikiran yang seharusnya memberikan saran dan semangat yang positif untuk manusia. Kenapa justeru membenturkanku pada batu dan menyuguhkanku rasa duka dan luka?”.
"Hahaha, aku hanya alat yang dimiliki manusia, aku bergantung dan kembali kepada manusia itu sendiri. Bagaimana ia mau menggunakanku, dengan cara apa, itu terserah dan sepenuhnya milik manusia. Aku mau digiring yang baik, maka aku akan baik. Aku digiring ke yang buruk, maka aku akan buruk. Aku digiring yang enak, aku akan enak. Aku digiring yang tidak enak, aku tidak enak."
"Berarti aku sendiri yang membuatmu berkata seperti itu?, aku sendiri yang membuat ragu bahwa gadis bermata cahaya adalah hati dan cintaku?."
Aku sudah pasrah dengan keadaanku di ruang gelap ini. Jika aku harus hidup abadi di sini, aku rela dan pasrah. Bahkan mati.
Namun, aku akan buat diriku terus bahagia. Karena kebahagiaanku aku sendiri yang membuatnya. Sudahlah aku ingin tidur. Aku sangat lelah.
..........
“Sayang bangun, matahari mulai meninggi di rumah kita, jangan biarkan subuhmu terbakar olehnya”. Tiba-tiba suara seorang gadis membangunkanku di pagi itu. Gadis yang bercengkerama denganku. Gadis bermata cahaya.
September, 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H