Mohon tunggu...
m. irfan kurniawan
m. irfan kurniawan Mohon Tunggu... -

suka musik, baca, nulis dan sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Risalah Maaf

24 September 2013   17:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:27 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sahabat-sahabatku di negeri mimpi terikat tradisi bumi dengan asap dan segelas kopi, yang terus ditenggak sampai habis pagi dan matahari sudah tinggi. Nikmat yang begitu dalam. Seperti mabuk. Bertahun-tahun mengitari asap dan gelas-gelas kopi membicarakan tentang mimpi-mimpi, satu yang pasti, kita terus bermimpi, meneriakkan mimpi-mimpi, merencanakan mimpi-mimpi, hingga tengah malam dan kopi tinggal ampas hitam, lalu kita tertidur pulas dalam mimpi. Sedang jatah usia yang tersisa masih misteri, kita masih asik bermimpi, tanpa beraksi.

Seperti surat dan kabar yang lain, awal risalah ini pun mengikuti tradisi bumi, seperti asap dan kopi, bertanya kabar dan berharap jawaban baik-baik saja, walau permasalahan selalu saja ada. Itulah tradisi bumi. Ada masalah ada solusi. Katanya dengan masalah menjadikan diri semakin bijak adanya. Kenapa harus ada masalah? Kenapa harus ada ujian? Sepertinya kita emang harus berterimakasih kepada persoalan, ujian, dan permasalahan.

......

“kenapa kamu tidak merapatkan diri ke barisan yang sudah kita buat dengan mimpi dan kopi?”

Bukan aku ingin keluar dari barisan, bukan aku ingin lari dari kalian, bukan aku ingin menghindar, bukan aku ingin sembunyi, bukan aku ingin menepi dari jalan kalian, bukan aku tak ingin menyelesaikan persoalan. Sampai sekarang aku sendiri tidak tahu permasalahan yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba saja aku menjadi sensitif. Perasaan semakin peka.

“Datang kesini, bicaralah, dan kita cari solusi, seperti tradisi!”

Aku ingin sekali kembali ke perkumpulan kalian menjaga tradisi bumi, membicarakan permasalahan, mencari jawaban. Hatiku berkata ini sudah tidak enak, sudah tidak nyaman. Kalau aku paksakan untuk bertemu dan menyapa tradisi kalian dalam tongkrongan, akan semakin kacau, karena aku membawa rasa tidak enak dan tidak nyaman. Aku harap kalian mengerti, aku harap setelah sekian lama kalian kalian nongkrong dan berbicara secara tradisi bumi denganku, kalian bisa mengetahui karakter aku.

“Karena tradisi kami tahu tentang kamu.”

Sepertinya tidak. Kalian belum tahu sifat dan karakterku. Diri dan ego kalian masih lebih pentingdari dan dalam hal apapun. Ketika berbicara, membahas sesuatu, jalan, bersama-sama, sangat jelas terpampang di muka, ego diri lebih berharga. Dengan sifat-sifatku yang tidak bagus itu, mencoba memasuki dunia kalian yang seperti itu. Aku berpura-pura, suka dengan permainan PS2 kalian. Bukan karena aku tidak bisa memainkan karakter di PS2 lantas aku tidak suka kalian, aku hanya tidak suka dengan waktu yang terbuang begitu saja hanya di depan permainan sepak bola ala PS2 yang kadang membuat malam berganti pagi hingga malam lagi hanya dilalui dengan stik PS2 di tangan. Sepertinya waktu hanya seonggok sampah di pojok-pojok ruang tempat kita menghidupkan tradisi bumi.

“itu hanya bagian dari permainan hidup yang mengikat persaudaraan lebih erat lagi.”

Kalian orang yang harus aku hormati. Karena ajaran waktu kecil bahkan sampai sekarang, “aku harus menghormati orang lain apalagi sama orang yang lebih tua. Jika ingin dihormati orang lain maka aku harus menghormati orang lain terlebih dahulu,” kutipan-kutipan, kata-kata, pelajaran, pengajaran dan pendidikan tentang hormat menghormati, semua membuat aku pura-pura, suka dengan kalian.

“kami tidak minta dihormati, cukuplah toleransi dan kedewasaan diri.”

Aku tidak menjadi diri sendiri. Aku bergabung dan berada di situ, di perkumpulan dan tongkrongan kalian, mendengarkan ocehan dan omongan kalian tentang orang lain. Dalam kepura-puraan. Aku paling tidak suka membicarakan orang lain, terutama membicarakan kejelekannya. Aku ada di situ, telingaku, mataku dan jasadku ada di situ. Akupun hanya mengangguk dan sesekali berkata “oh”, “gitu ya”. Berkata sekedarnya saja yang lagi-lagi hanya untuk menghormati kalian. Banyak hal yang aku tidak suka, namun aku pura-pura, suka di depan kalian. Ini salahku juga, sifat untuk sekedar diakui eksistensi diri di mata kalian. Sehingga apapun yang kalian bahas dan kalian bicarakan akan terus aku amini, akan terus aku iyakan, akan terus aku ikuti, simak, dan dengarkan. Walau banyak bahan pembicaraan yang aku tidak suka. Sifat yang menjaga image terlalu tinggi. Menjaga agar kelemahan dan kekurangan diri tidak kalian ketahui, terutama masalah materi. Aku selalu berkata ada uang walau tidak punya sama sekali, aku mengarang-ngarang tentang punya perusahaan dan karyawan, aku mengarang-ngarang tentang investasi yang jutaan. Yah, banyak hal yang aku karang dalam obrolan. Banyak kebohongan yang aku buat dalam ucapan. Kadang aku menyalahkan kalian dan keadaan, namun itu hanya bantahan egois bermata-mata.

“kenapa?, itu bukan tradisi bumi”

Aku memang penjual kebohongan. Menawar-nawarkan kebohongan, mengobral kebohongan, memberi diskon kebohongan dengan bunga kebohongan. Aku sering berbohong hanya untuk membuat tema dan bahan pembicaraan yang bisa mengangkat eksistensi diri. Aktualisasi semu. Hal ini membuat jarak semakin menganga dan panjang. Aku punya banyak kesalahan, aku punya banyak kekurangan, dan satu yang pasti, aku sudah banyak membohongi kalian. Batinku terus meronta, berontak, berperang dengan diri sendiri, ada kegelisahan di batin ini, bergemuruh membadai di satu titik. membuatku tidak nyaman berkumpul bersama kalian, membuatku merasa bersalah, membuat ucapan-ucapan dan omongan-omongan seperti pelajaran mengarang dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Aku memang suka pelajaran Bahasa Indonesia, terutama tentang mengarang. Karena di dalam mengarang, aku, imajinasi bergerak bebas, terbang melayang kemanapun ia mau, bergerak liar tanpa ada batasan, walau pada akhirnya, banyak tulisan dan karangan yang harus mengalami pengeditan karena banyak hal-hal yang menyangkut kode etik dan standarisasi penulisan. Aku paling suka mengarang. Aku juga tidak tahu kenapa hal itu bisa membuat mengarangku tidak hanya dalam tulisan tapi juga dalam ucapan.

“Sudahlah, penyesalan tidak melulu sebuah jawaban, perubahan ke depan adalah sebuah jalan.”

Aku menjauh karena tidak mau berbohong lagi. Lebih baik sendiri, berkontemplasi dan berkonsentrasi pada kegiatan mengarangku. Merenungi dan menikmati kegaduhan batin pada tulisan. Aku tidak akan melupakan kalian. Suatu saat aku akan kembali ke perkumpulan dan tongkrongan kalian yang penuh mimpi tinggi seperti tradisi bumi tentang pencarian makna dan arti hidup yang lebih berarti. Aku akan kembali membawa obrolan-obrolan yang sudah pernah aku utarakan. Aku akan kembali dalam pembuktian.

Aku akan mengakui lantas menutupi kebohongan-kebohongan itu dengan memberikan bukti. Entah, kebohongan bisa ditutupi. Entah, luka akibat goresan kebohongan bisa disembuhkan. Cukup sudah aku berkata tentang mimpi-mimpi, sekarang sudah saatnya bergerak mencapai dan meraih. Saatnya hidup dalam kenyataan tidak dalam angan-angan dan hayal. Saatnya hembuskan nafas dan mengeluarkan keringat untuk pembuktian semua omongan dan pembicaraan.

“Tidak berarti memarjinalkan diri di tepian tak berpenghuni.”

Sebenarnya yang aku bicarakan selama ini adalah mimpi-mimpi tentang sebuah impian hidup. Impian mempunyai perusahaan dengan ribuan karyawan, impian mempunyai banyak uang, hingga dengannya aku bisa menjadi pribadi yang manfaat. Manfaat dengan berbagi. Seperti yang tercantum di cita-citaku Aku bisa mendirikan yayasan pendidikan dan sekolah-sekolah gratis. Mempunyai banyak pabrik yang memproduksi barang-barang kebutuhan, sehingga semua lulusan sekolah yang aku dirikan mudah mendapatkan pekerjaan, seperti cita-cita yang sudah tersirat. Mereka tidak perlu pusing-pusing mencari pekerjaan karena sudah ada perusahaan yang siap menampung semua kegelisahan dunia. Sekolah dari tingkat TK sampai perguruan tinggi yang semuanya gratis untuk anak-anak tidak mampu terutama anak-anak yatim. Aku akan kembali memenuhi semua ucapan. Aku akan kembali. Kembali bermimpi. Kembali memberi bukti. Dan ini juga mimpi.

“kami tidak perlu mimpi, kami perlu hadir wujudmu di sini”

Wujud kita sekarang ini pun adalah hasil olahan mimpi kemarin. Tidak pernah terbersit untuk menjadi wujud yang lain. Karena kita adalah benih-benih mimpi yang kadang hidup dalam mimpi. Apalah arti hadir wujud diri jika wujudnya seperti bayangan hitam di pinggir jalan, tak ada yang memperhatikan bayangan, kecuali bayangan pada kata-kata penyair dan puisi. Mimpi-mimpi itu hanya membuat jurang dalam yang mengundangku untuk makan malam. Secara perlahan menahanku untuk terus tinggal, lantaran hanya ada malam di sana, di dasarnya. Matahari tidak pernah memberi salam. Semua terhalang kabut hitam.

Sudahlah kawan, izinkan aku berkelana mengikuti jalan-jalan yang telah dibangun mimpi-mimpiku semalam, dan aku pasti akan kembali dengan memberikan bukti tentang arti sebuah mimpi. Karena keringat ini tidak pernah mengenal mimpi. Kuharap kau mengerti. Karena saling mengerti juga tradisi bumi seperti gelas-gelas yang mengerti hitam kopi. Kopi mengerti asap hangat. Asap hangat mengerti atmosfir mimpi.

Sawangan, 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun