Mohon tunggu...
M. Iful Saifuddin
M. Iful Saifuddin Mohon Tunggu... -

Pemerhati sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pragmatisme, Sosial Politik; “Nikah Siri Politik”

1 April 2014   07:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:14 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh, Muhammad iful Saifuddin

Dari sekian banyak defenisi tentang politik, saya tertarik untuk menyimpulkannya menjadi 2 (dua) hal. Pertama adalah Legitimasi dan yang kedua adalah Power. Legitimasi dibutuhkan untuk mendapatkan pengakuan baik secara konstitusional (yuridis) maupun inkonstitusional (defacto), sementara power atau kekuasaan adalah bertujuan untuk menjalankan semua fungsi dan kewenangan. Sehingga sinergitas dari keduanya merupakan keniscayaan dalam realitas politik sampai hari ini. Ketika politik dalam sebuah Negara menjadi sebuah instrument dalam proses demokratisasi, tentunya hal tersebut tidak akan terlepas pada sejauh mana kepentingan masyarakat dapat terakomdir dari seluruh aspek yang meliputinya, seperti aspek sosial, budaya, ekonomi, agama sampai kepada aspek politik itu sendiri.

Namun kemudian dalam proses dialektika politik praktis yang terjadi saat ini, memunculkan berbagai kecendrungan untuk melakukan segala macam cara, yang tentunya telah dianggap menjadi sesuatu yang biasa, seperti misal melakukan politik uang (Money politik), Penggelembungan suara yg tersistematis, kampanye negative (Negative Campaign), kampanye hitam (Black Campaign) sebagai isu politis untuk melemahkan posisi lawan politik dengan harapan menjadi point of interest calon tertentu dan banyak lagi modus kecurangan-kecurangan lainnya.

Ketika kita korelasikan hal tersebut pada perhelatan pesta demokrasi yaitu pemilihan calon legislative (caleg), tentunya sebagai masyarakat dalam konteks perubahan sosial, kita harus memahami bahwa masyarakat yang sadar, bukanlah komunitas passif atau hanya jadi penonton dalam setiap proses yang terjadi dalam masyarakat secara umum dan proses politik secara khusus. Sebagai masyarakat tentunya harus mempunyai kepekaan dan kecerdasan agar tidak menjadi korban politik, sebagai konsekuensi logis dari kesalahan menyikapi setiap proses dialektika politik tersebut yang berujung kepada kesalahan dalam memilih seorang pemimpin. Masyarakat juga harus memiliki daya nalar kritis dan objektif dalam bersikap dengan memikirkan keuntungan jangka panjang dibanding keuntungan yang bersifat momentum atau sementara.

Penilaian untuk seorang pemimpin atau wakil rakyat tentunya tidak akan terlepas dari pemahaman dan pengetahuan terhadap figure pemimpin atau wakil rakyat itu sendiri. Merujuk pada beberapa sumber tentang kriteria pemimpin yang baik secara umum, tentunya mempunyai kredibilitas dan track record atau rekam jejak yang baik dari segala aspek, sehingga point yang juga penting untuk di fahami adalah kematangan yang terbentuk dari pengalaman seorang calon pemimpin. Mengapa pengalaman itu menjadi hal yang penting karena sangat tidak mungkin kita sebagai masyarakat memberikan tugas dan tanggung jawab, menyangkut keberlagsungan hidup kita kepada pemimpin yang tidak memiliki kemampuan. Dengan kata lain, para calon legislator dalam hal ini fungsi legislasi tidaklah kemudian dijadikan sebagai ajang untuk “coba-coba” atau sekedar obsesi kekuasaan semata, karena memahami fungsi legislasi dalam perspektif kesejahteraan rakyat tentunya tidak hanya dilihat dari pencapain dan inovasi dibidang ekonomi saja, melainkan harus memenuhi seluruh aspek. Sebagaimana perkataan K.H. Abdul Rahman Wahid (Gus Dur), Bahwa “Takkan ada Kesejahteraan tanpa Keadilan”, sehingga untuk mewujudkan hal tersebut maka kriteria wakil rakyat yang diharapkan oleh masyarakat adalah pemimpin yang amanah dan senangtiasa tulus dalam mengemban fungsi dan wewenangnya.

Mencari pemimpin atau wakil rakyat yang amanah dan mempunyai niat tulus memang bukanlah hal mudah, apalagi pada saat perhelatan demokrasi atau masa kampanye, banyak calon pemimpin yang mencoba menarik simpati masyarakat melalui program dan janji-janji politiknya. Namun yang harus difahami bahwa tidak sedikit calon pemimpin atau wakil rakyat yang saya biasa menyebutnya sebagai “nikah siri politik” sebagai refleksi sosial politik, dimana para calon pemimpin mencoba untuk “merayu, menikahi, kemudian maaf meniduri” masyarakatnya dengan janji – janji politik menjelang pemilu, lalu kemudian melupakan dan meninggalkan masyarakat setelah sudah terpilih menjadi pemimpin atau wakil rakyat.

Untuk itu, marilah kita semua sebagai bagian dari bangsa ini memberikan konstribusi secara aktif dan mengambil bagian dalam sejarah bangsa, dengan memilih wakil rakyat secara selektif dan bijaksana. Karena baik buruknya bangsa ini tentunya tidak akan terlepas dari pilihan kita nantinya pada puncak perhelatan pesta demokrasi yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun