Di alinea inilah aku bersandar. Di ruang hampa yang tiada pernah aku pahami. Saat ku menelaah kalimat molek yang terarti kebahagiaan di mata yasin, saat itu pula aku terpengarah suatu ketakjuban dunia ini. Aku tak bisa menuliskan takdir dalam buku nadiku, katapun tiada arti dalam riwayat taklimat mereka berdua. Bagiku, ‘’adinda’’ tak menyentuh sedikitpun kerasnya hatiku, ‘’kakanda’’ pun selalu lunglai dalam karibaan doaku.
Derai ini, melumpuhkan isi hati. Melukai cintaku hingga nada terakhir dalam nafasku. Nasibku mungkin belum se-rendah dan se-malang yasin yang harus nan kena tuk meng-ikhlaskan molek di tasbihkan menjadi kupu-kupu sangkar makhluk lain. Belum se-malang itu. Sungguh belum. Tapi luka yang harus ku-jalani, tak lain dan tak bukan milik yasin seorang dan karibaanku. Ampunini aku adindaku, kakandamu ini sungguh makhluk yang tak cekap lagi tak cakap. Ampuni aku adindaku.
Memang tiada busur yang ku pakai. Tapi, masih saja anak panah yang menghancurkan lampu terangku tuk menuju padamu. Terasa sendiri aku disini, gelap gulita dan tanpa arah yang harus ku tuju dalam sisa hidupku yang sepenuhnya hitam pekat. Kali ini aku sungguh malu pada tuhanku, ia masih saja tabah dan sabar menghadapi lara dan hitam takdirku. Aku masih malu, sungguh aku malu.
Ada apa dengan hati yang ku tempa selama ini?. Apa ia mulai lelah tuk meneruskan lukisan indah hidupku dengan tinta merah darahku, atau ia mulai menyerah menyelami sisa hidupku yang selalu ter-acuh-kan alamat dam taklimat dunia?
Argh. Letih jua aku berdiri sendiri di tepi kekagumanku akan sosok yang tiada pernah menuai jutaan rinduku yang ku kirimkan padanya. Ingin rasanya ku bunuh ia dengan segenap rinduku ini. Agar ia tahu bahwa aku tiada berdaya tanpa kisah yang enggan ia rajut dalam hidupku. Aku tak ingin berakhir seperti yasin, yang masih menyetubuhui kebun para buai-an sang inang pendahulu dalam tiap- tiap sejarah waktunya. Sementara, sang pejaka lain-nya bisa meniduri terang-nya bulan dalam kehangatan selimut malam. Aku sungguh tak ingin seperti yasin. Sungguh tak ingin.
Inangku, telah lama kau semai aku. Tiada lelah kau menamparku dengan mata sayu-mu, dan telah lama kau meniduri aib lelaki yang kau tak ingin aku sebut ia ayah. Aku terlahir dalam penderitaan-mu, besar dalam pangkuan ribuan duka senyummu dan tumbuh sebagai lelaki yang tiada bisa kau banggakan di dunia ini. Maafkan aku bunda, aku masih lunglai dalam mencari haq-ku. Masih meretas jalan berliku yang kau janjikan padaku saat kita berdua masih dalam kasih satu, aku masih menelaah itu bundaku. Masih menelaah itu semua.
Malam, kini semakin cepat dan semakin gelap.
Terang tak lagi memuaskan birahi kita akan dunia.
Apakah arti kata itu jika kau tak lagi menderma ruang waktu yang tak lagi kau semai dalam inang kenangan yang ku miliki. Aku tak akan terbujur kaku jika kau masih saja terdiam mengharui nasab nasibmu. Tengoklah yasin buah hatiku, tangkaplah buah bibir yang mengudara di negeri antah berantah itu, temukan jasad molek yang masih tergolek tak berdaya karena merana meratapi nasib malangnya.
Kau tentu tak akan menangisi hasratmu lagi jika kau telah temukan malaikat molek yang mentasbihkan sujud dan takbirnya untuk kasih suci yang terpercayakan oleh nikmat tuhan. Oh inangku, masihkah aku berdaya menghadapi ramuan derai kelambu nasib malangmu yang kau titipkan di nadi tkdirku?. Aku mencintainya sekehendak yasin mencintai kekasihnya, aku mencintainya inangku. Tak peduli seberapa kasat polahnya dan tak peduli seberapa makzul-nya angkara murka yang tersembunyi di baik ramah sentuhnya. Aku tetap mencintainya inangku, tetap mencintainya.
Tuhan, ada apa dengan jiwaku ini?. Ia masih saja melamunkan taklimat molek yang ia tuliskan dalam derai tawa ‘’satu kita di dunia, satu kita di akherat’’. Aku memang bukan ahli nujum tuhanku, yang bisa melerai ihwal masa yang akan ku lampaui dengan belahan kakiku yang hina ini.