Mohon tunggu...
daroini dani
daroini dani Mohon Tunggu... lainnya -

nama:M.Daroini alamat:pinggirsari,ngantru,tulingagung propinsi:jatim pendidikan:S1(syariah) pekerjaan:pengajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Wali Menurut Pandangan Orang Trenggalek

21 Mei 2013   22:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:13 1912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kota trenggalek terkenal dengan bibit para ulamaSejak dahulu hingga sekarang, banyak orang yang memperbincangkan permasalahan seputar “Wali” lengkap dengan karomahnya. Yang satu menceritakan karomah Syaikh fulan, yang lainnya meriwayatkan karomah wali fulan. Meskipun sebenarnya mereka tidak mengetahui, apakah riwayat dan cerita itu benar terjadi ataukah tidak.Mereka sangat berpegang erat dengan semua itu dan meyakini bahwa orang-orang khusus tersebut adalah wali-wali Allah, dan kejadian luar biasa yang terjadi pada mereka adalah karomah. Hanya saja, keyakinan mereka itu tanpa didasari atau diperkuat dengan ilmu dan bukti yang pasti.

Dalam sebuah risalah Kiai Soleh Ndarat Semarang pernah berujar bahwa kewalian seseorang terlihat manakala dia wafat. Jika pada saat wafat, para pelayat demikian melimpah atau peziarah ke makamnya begitu banyak, maka hampir mendekati kepastian bahwa orang wafat tersebut merupakan wali Allah. Dalam tradisi sufisme, mustahil mengetahui derajat kewalian seseorang hanya berdasar parameter publik. Seorang wali hanya akan diketahui status kewaliannya oleh wali lainnya. Namun, risalah Soleh Ndarat mengajarkan kepada kita tips sederhana apakah seorang mukmin termasuk wali atau tidak hanya dengan melihat banyak tidaknya pelayat yang hadir.

Ketika Almarhum Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al Hasani wafat pada Ramadan tahun 2004, hampir 300 ribu pelayat hadir di kota Mekkah. Jumlah pelayat yang demikian banyak itu menunjukkan betapa besar pengaruh Imam Muhaddits tersebut. Meski semasa hidup Abuya dicap sesat oleh sejumlah ulama Wahabi, namun kharismanya terpancar jelas pada saat beliau wafat. Jumlah pelayat yang sedemikian banyak memecahkan rekor para pelayat di bumi manapun di Arab Saudi. Bahkan, ketika ulama Wahabi wafat seperti Syekh Abdul Azis Bin Baz jumlah pelayat tak sebanyak itu.

Fenomena pelayat pada pemakaman Abuya menunjukkan bahwa penduduk Hijaz sebenarnya adalah pengagum Abuya Muhammad Al Maliki Al Hasani. Seandainya kaum Wahabi toleran dan tak memaksakan pendapatnya, kita yakin bahwa penduduk Hijaz adalah sepenuhnya penganut ahlu sunnah waljamaah. Doktrin Wahabi yang gampang mengkafirkan orang membuat gerak para penganut ahlu sunnah wal jamaah menjadi terbatas. Doktrin Wahabi sendiri berasal dari Nejed dan bukan Hijaz. Penaklukan Hijaz oleh Ibnu Saud dan pemaksaan paham Wahabinya menyebabkan penduduk Hijaz terpaksa menjadi Wahabi.

Jumlah pelayat yang besar juga terlihat pada pemakaman tokoh-tokoh besar yang selama hidupnya dianggap nyeleneh. Contoh aktual adalah pada figur Gus Mik dan Gus Dur. Dua tokoh bersahabat yang sering dituding menyimpang oleh kalangan puritan tersebut justru menuai banyak simpati ketika wafat. Pemakaman Gus Miek dan Gus Dur dihadiri oleh banyak orang. Ada cerita menarik tentang Gus Dur dan Gus Mik. Dalam sebuah tulisannya di Kompas, Gus Dur menyebut betapa jitunya Gus Mik meramalkan bahwa Gus Mik akan dimakamkan di makam Tembak bersama Kiai Ahmad Siddiq dan Gus Dur. Faktanya, Gus Mik memang dimakamkan di Tembak, sama dengan Kiai Ahmad Siddiq, namun tidak dengan Gus Dur yang dimakamkan di Tebuireng.

Kaum puritan menggunakan ketidaktepatan realitas ini sebagai amunisi bahwa Gus Mik bukan wali. Karena ramalan Gus Mik bahwa Gus Dur akan dimakamkan di Tembak tidaklah tepat. Namun, kaum puritan tak paham bahwa sufisme bukanlah soal identifikasi tentang akurasi. Sufisme berbicara tentang siginifikansi. Sufisme berjalan dengan logika fuzzy, logika yang lebih mementingkan momentum signifikansi daripada presisi sebuah peristiwa.

Wali adalah terma khas kaum sunni dan syiah. Kewalian berkait erat dengan tingkat kesucian tertinggi dalam hidup yaitual arif billah. Dalam kosmologi sufisme, wali adalah pelindung bagi sebuah negeri. Wali juga berkait erat dengan kapasitas keilmuan seseorang. Seorang wali sudah pasti alim. Namun ada wali yang mengikuti parameter akademik keilmuan Islam, ada juga yang tidak. Para wali dari kelompok muhadditsin merupakan wali dari kelompok akademik Islam. Contohnya adalah Imam Syafi’i, Jalaludin Suyuti, Imam Nawawi atau Izzudin Bin Abdul Salam. Mereka terlacak kapasitas keilmuan agamanya, termasuk dari gelar akademik ilmu hadits seperti Al hafidz, Al Hujjah ataupun Imam.

Namun ada wali yang tak terlacak standar keilmuannya. Selama hidup para wali ini biasanya hanya belajar agama “sekedarnya”. Namun, kealimannya tak bisa ditolak. Di masa nabi, wali jenis ini contohnya adalah Uways Al Qorni. Tradisi sufi juga mencatat nama sufi tersohor murid Hasan Bashri, Habib Al Ajami. Al Ajami tercatat sebagai seorang alim yang lidahnya terbata-bata dalam berbahasa Arab. Indonesia modern mengenal Gus Mik pada wali tipe ini. Secara lahiriah, Gus Mik hanya belajar agama seadanya. Tapi banyak orang mengakui kealiman Gus Mik termasuk mereka yang secara lahiriah belajar agama secara metodologis dan sistemis seperti kiai Hamid Pasuruan dan Kiai Ahmad Siddiq.

Para walinyelenehhidup dalam suasana beragama meminjam istilah Charles Le Gai Eaton disebut ex-centric, yaitu dimensi yang jauh dari centre agama bersangkutan. Namun, dalam sufisme sendiriex centricjustru berkait erat dengan ladunni, pemberian ilmu langsung dari Tuhan. Hampir semua wali memiliki ini, lebih-lebih yang di luar standar keilmuan yang digariskan.

Prinsip sufi sendiri berporos pada konsepInna lillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun.Tafsir Jalalainmenyebut ucapan diatas sebagai istirja’ yang menurut hadits-hadits Abu Dawud  dibaca ketika terjadi sesuatu yang mengecewakan kaum muslim. Di tangan kaum sufi, konsep ini mengajarkan tentang tiga hal, bahwa manusia adalah milik Allah, dari Allah dan seharusnya menuju kepada Allah. Martin Lings menyebutnya sebagaidirection consciousness(kesadaran terhadap arah), di mana arah kesadaran ini tiada lain adalah segalanya untuk Allah. Arah spiritual di mana konsentrasi batin ditujukan secara serius berkombinasi dengan konsentrasi lahir.

Dalam sufisme, kematian bukanlah keterputusan. Kematian adalah jalan terabas bagi para pendoa. Para peziarah tetap menjalin harmoni dengan rajin berdoa, bertawassul dan membaca quran di makam para kekasih Tuhan. Kematian adalah insiden Kosmik, namun menggambarkan kulminasi sebuah harmoni baru tentang hubungan antara manusia. Kematian ulama besar mengajarkan kepada kita agar kita juga selalu menuju kepada Allah. Orientasi hidup kaum muslim yang banyak melenceng justru merupakan bukti bahwa konsep kaum muslim hari ini hanya berporos pada Inna Lillah tapi tidak Wa Inna Ilaihi Rajiun. Banyak muslim mengakui prinsip berasal dari Allah tapi mengabaikan prinsip menuju Allah.

By :santri PP Sulaiman gandusari trenggalek

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun