Mohon tunggu...
daroini dani
daroini dani Mohon Tunggu... lainnya -

nama:M.Daroini alamat:pinggirsari,ngantru,tulingagung propinsi:jatim pendidikan:S1(syariah) pekerjaan:pengajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kiai yang Pantas sebagai Pahlawan

14 Desember 2013   00:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:57 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Koran Asia Raya tertanggal 22 Januari 1944 menulis “apa para Kyai cukup disebut Daidancho atau ada tambahan Daidancho Kyai?” (Agus Sunyoto:2012:69).

Kutipan pernyataan diatas menarik karena pada saat itu militer Jepang membentuk PETA (Pembela Tanah Air), satu kesatuan paramiliter yang direkrut dari kalangan pribumi dan dipersiapkan Jepang untuk menghadapi Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya. Satu perhatian menarik disajikan koran Asia Raya karena beberapa pimpinan Militer PETA justru merupakan para kyai, guru agama dan pimpinan pesantren.

PETA sendiri dibentuk pada 3 Oktober 1943, lebih tua setahun dari pasukan Hizbullah yang dibentuk 14 Oktober 1944. Barisan kyai memenuhi jajaran pimpinan PETA di pulau Jawa bahkan pada pangkat tertinggi, Daidancho (komandan Batalyon) dan Chudanco (komandan Kompi). Di Jawa Timur saja terdapat Daidancho Kyai Masykur (Daidan I Babad-Bojonegoro), Daidancho Kyai Kholik Hasyim (Gresik-Surabaya), Daidancho Kyai Iskandar Sulaiman (Gondanglegi-Malang), Daidancho Kyai Raden Amin Jakfar (Pamekasan) serta Daidancho Kyai Abdul Hamid Mudhari (Sumenep) (Agus Sunyoto:2012:67).

Deretan kyai diatas tak termasuk puluhan kyai lain yang menjadi pimpinan Hizbullah dan Sabilillah. Kelak barisan kyai ini juga menjadi komandan tempur BKR, TKR, TRI dan TNI dalam perang melawan Belanda. Fakta sejarah ini tak dapat diabaikan, bahwa terdapat peran besar para kyai dalam dunia militer nasional sejak awal kemerdekaan. Sebuah hal yang sebenarnya bukan kejadian luar biasa karena para kyai sendiri selalu terlibat dalam setiap aksi militer dalam membela tanah air. Para ulama sejak Syekh Yusuf Al Maqassari, Kyai Mojo, Tengku Cik Di Tiro, dan ratusan kyai lain silih berganti menjadi pimpinan militer dalam perang selama era kolonial.

Relasi kyai dengan pimpinan militer juga sangat baik. Jenderal Sudirman akrab dengan Kyai Mahfudz Jawa Timur sebagaimana Bung Tomo juga akrab dengan Rois Akbar Masyumi, Kyai Hasyim Asy’ari. Pada Revolusi 1945, Mbah Subki Parakan menjadi rujukan beragam laskar dan tentara dalam melawan Sekutu melalui doa dan suwuk karomahnya. Hubungan tak terpisahkan kaum santri dan militer mencapai puncaknya ketika Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Resolusi ini mempertebal semangat para pembela tanah air bagi kalangan santri maupun non santri.

Resolusi Jihad adalah penegas bahwa NKRI dijaga bukan hanya oleh kesatuan antara ulama dengan rakyat tapi juga antara ulama dengan militer. Bahkan seperti yang disuguhkan fakta diatas, para ulamapun adalah sekaligus militer. Sinergi ulama dan militer terlihat nyata dalam penumpasan PKI Madiun 1948 serta penumpasan PKI pasca G-30-S PKI. Ketika pemberontakan DI-TII merebak di Jawa Barat, ulama-ulama Ahlu Sunnah Wal Jamaah seperti Abah Anom Suryalaya juga terlibat dalam perlawanan terhadap separatisme tersebut.

Resolusi Jihad yang kedua yang terkenal dengan nama Resolusi Purwokerto malah lebih urgen lagi. Selain memberikan petunjuk teknis secara fikih dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda, Resolusi Purwokerto menegaskan kembali posisi Indonesia sebagai Negara Islam yang umat Islamnya sedang dizalimi Belanda. Sebuah hal yang mungkin terasa aneh. Pasalnya, negara Islam versi NU ini tak sama dengan konsep negara Islam versi DI-TII atau ide negara Islam lain yang lahir kemudian. Konsep negara Islam pada teks Resolusi Purwokerto ini juga lain dengan konsep negara Islam versi Muktamar NU Banjarmasin tahun 1935.

Negara Islam versi Resolusi Purwokerto adalah negara Islam yang melawan terhadap penjajah. Beda dengan konsep negara Islam ala Muktamar Banjarmasin yang terkesan pasif terhadap Belanda. Terlihat jelas aspek kontekstual dan moderatisme mengemuka dalam diskursus politik negara yang berubah-ubah. Uniknya, meskipun NU merupakan ormas besar dengan puluhan ribu tentara santri yang tersebar di TNI dan Badan Kelaskaran, NU tetap menghormati pemerintah Indonesia. Pada Resolusi Jihad 22 Oktober yang menjadi spirit perang 10 November 1945, NU tetap mendudukkan pemerintah dibawah Bung Karno sebagai pihak penting dalam pelaksanaan pertahanan negara dan agama.

Meski kemudian hubungan ulama-militer menjadi agak renggang pada paruh tengah orde baru ketika TNI dikomandani L.B Moerdani, namun hubungan retak tersebut dapat diperbaiki seketika. Kini, TNI bersama dengan para ulama Ahlu Sunnah Wal Jamaah menjadi bagian penting dalam menjaga NKRI. NU tempat berhimpun para ulama Ahlu Sunnah Wal Jamaah serta alumni ulama militer era revolusi berupaya menjadi garda terdepan dalam menolak upaya penghancuran NKRI.

Spirit Resolusi Jihad yang menyatukan segenap komponen bangsa ini perlu digalakkan kembali. Sejarah bahwa ulama menjadi komponen terpenting dalam kemerdekaan harus dibawa ke ruang publik. Relasi ulama-militer harus diperkuat ditengah upaya penyusupan gerakan Islam ke tubuh pemerintahan sejak dua dekade terakhir.

M.daroini gandusari trenggalek

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun