Mohon tunggu...
M. Ainun Zamany
M. Ainun Zamany Mohon Tunggu... -

Pendididkan Bahasa Arab UIN MALIKI Malang

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Fondasi dari Perkembangan Psikososial

20 Mei 2015   14:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:47 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Fondasi dari Perkembangan Psikososial

Oleh : M. Ainun Zamany

Sebelum seorang bayi melakukan sesuatu yang bersifat sosial, ia harus memperkuat fondasi yang dimilikinya terlebih dahulu. Agar ketika berinteraksi dengan makhluk disekitarnya, ia mampu menghadapinya. Fondasi tersebut ialah emosi, Temperamen, dan pengalaman sosial di dalam ranah keluarga.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa emosi adalah keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan, ketakutan dan lain sebagainya. Ketika seorang bayi merasa kelaparan, ia mengekpresikannya dengan sebuah tangisan. Karena menangis merupakan cara yang paling kuat, dan kadang-kadang hanya itu cara yang bisa dilakukan bayi untuk mengomunikasikan kebutuhan mereka.[1]Hal itu menunjukkan bahwa ia dalam keadaan sedih dan merasa dirinya terancam, oleh karena itu orang tua harus dapat merasakannya. Selain itu, ketika ia merasa ketakutan biasanya disertai dengan percepatan detak jantung dan menunjukkan aksi perlindungan diri. [2]

Berikut perkembangan psikososial pada infant dan Toddler dari pasca dilahirkan sampai 36 bulan:

a.Karakteristik infant 0 – 3 bulan ialah mereka terbuka untuk stimulus dan mulai menunjukkan ketertarikan dan keingintahuan, serta mereka mulai tersenyum pada orang lain.

b.Karakteristik infant 3 – 6 ialah mereka dapat berpartisipasi mengenai apa yang terjadi dan mengalami kekecewaan ketika tidak terjadi atau tidak sesuai dengan keinginannya. Pada usia ini merupakan momen untuk kebangkitan social dan hubungan timbal balik antara bayi dengan orang yang memberikan pengasuhan.

c.Karakteristik infant 6-9 adalah mereka mulai mencoba untuk memainkan permainan sosial dan mencoba mendapatkan respon dari orang lain.

d.Karakteristik infant 9 – 12 adalah mereka mulai menyibukan diri dengan pengasuh utamanya, mungkin menjadi takut dengan orang asing dan bertingkah lemah ketika menghadapi sesuatu yang baru.

e.Karakteristik toddler 12 – 18 adalah mengeksplorasi lingkungan mereka, menggunakan individu-individu yang lekat pada mereka sebagai dasar keamanan.

f.Karakteristik todller 18 – 36 adalah kadang-kadang mereka menjadi gelisah, karena sekarang mereka menyadari seberapa banyak mereka terpisah dari pengasuhnya. Misal mereka dimasukkan ke lembaga tertentu seperti paud.

Emosi yang terpenting dalam kehidupan infant (bayi) adalah emosi kesadaran diri yang muncul ketika ia telah mampu mengembangkan kesadaran dirinya, misalnya rasa malu, empati, iri, dan lain sebagainya. Pada umumnya kesadaran diri ini tampaknya muncul antara 15 sampai 24 bulan. Kesadaran ini sangat penting bagi seorang bayi sebelum ia dapat mengidentifikasi perasaanya sendiri. Mengingat dalam perkembangannya, ia akan menghadapi problema-problema kehidupan sosial di lingkungan sekitarnya.

Fondasi kedua yang harus diperhatikan oleh setiap infant ialah temperamen. Temperamen adalah sesuatu yang menentukan karakteristik seseorang, cara biologis dasar untuk mendekati atau bereaksi terhadap individu atau situasi. Temperamen dideskripsikan sebagai bagaimana perilaku: bukan apa yang dilakukan individu, tetapi bagaimana mereka mengerjakannya(Thomas & Chess, 1997).[3] Jadi, temperamen cendrung pada kepribadian seorang anak. Bagaimana ia menyikapi kejadian-kejadian baru yang terjadi di lingkungan sekitarnya.

Supaya pemahaman kita lebih mendalam tentang apa dan bagaimana pengaruh temperamen, kami contohkan sebuah fenomena yang terjadi pada 3 bersaudari. Amy, adalah anak pertama. Ia merupakan bayi yang selalu ceria, tenang, yang makan, tidur dan melakukan pembuangan di waktu yang regular. Brooke adalah anak kedua. Ketika dia terbangun dari tidurnya, dia akan membuka mulutnya untuk menangis, makan sedikit, tidak rutin, dia tertawa dan menangis dengan keras. Ketika ada suatu hal baru yang dihadapinya, dia perlu diyakinkan bahwa hal tersebut tidaklah mengancam dirinya. Anak yang terakhir adalah christina, ia selalu bereaksi ringan atas kejadian-kejadian baru, baik negatif maupun positif.

Dari fenomena diatas dapat diketahui bahwa temperamen atau yang bisa penulis sebut dengan kepribadian dari masing-masing anak berbeda. Perbedaan temperamen itu yang akan mempengaruhi masing-masing anak. Ada sebuah penelitian yang mampu menempatkan semua anak dalam studi fenomena ini ke dalam tiga kategori.

1.Empat puluh persen adalah anak yang “mudah”, seperti Amy: secara umum berbahagia, berirama dalam fungsi-fungsi biologis.

2.Sepuluh persen disebut peneliti sebagai anak yang “sulit” seperti brooke. Lebih pemarah dan sulit membuatnya senang, iram biologis yang tidak biasa, dan lebih intens dalam ekspresi emosi.

3.Lima belas persen berada dalam kategori anak yang “lambat untuk pemanassan” seperti Christina: ringan, tapi lambat untuk beradaptasi pada inndividu dan situasi baru(A. Thomas & chess, 1997, 1984).[4]

Temperamen muncul sebagian besar adalah bawaan, kemungkinan hereditas(Braungart, Plomin, DeFries, & Fulker, 1992; Emde dkk, 1992; Schmitz dkk, 1996; Thomas & chees, 1997, 1984) cukup stabil.[5] Selain itu, budaya dan lingkungan di sekitarnya juga dapat mempengaruhi temperamennya. Seorang anak yang selalu bergaul dengan orang-orang pendiam, kemungkinan besar ia akan menjadi pendiam pula. Pun demikian sebaliknya. Oleh sebab itu, agar seorang anak memiliki kepribadian yang baik, hendaklah orang tua memperhatikan pergaulan, budaya disekitarnya, dan lain sebagainya yang dapat mempengaruhi kepribadian seorang anak.

Fondasi berikutnya adalah pengalaman sosial dalam keluarga. Dalam hal ini peran kedua orang tua, yakni ayah dan ibu memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap perkembangan anak nanti ketika sudah terjun ke masyarakat luas. Di luar sana begitu banyak budaya, problematika sosial, dan lain-lain. Jika orang tua tidak dapat mengasuh anak dengan baik, maka bukan hal yang mustahil seorang anak menjadi buruk perkembangannya.

Peran ibu bukan hanya memberi anak makan, minum, memandidikan, tetapi lebih dari pada itu ialah mendidik karakter anak menjadi baik. Seorang anak tidak akan meminta lebih kepada seorang ibu. Dia hanya meminta pelukan hangat dari seorang ibu. Karena  setiap infant manusia juga memiliki kebutuhan yang harus dipuaskan jika tumbuh secara normal. Satu dari kebutuhan ini adalah untuk ibu yang merespon hangat dan tepat kepada infant.

Peran ayah pada dasarnya adalah konstuksi sosial (Doherty, Kouneski, & Erickson, 1998). Ayah mendidik karakter anak dalam ranah sosial. Bagaimana seorang anak mampu menghadapi permasalahan-permasalahan sosial secara mandiri.

[1] Diane E. Papalia, Menyelami Perkembangan Manusia, (Jakarta, Salemba Huamanika, 2015) hlm 191

[2] Ibid hal 190

[3] Ibid hal. 195

[4] Ibid hlm 196

[5] Opcit

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun