Mohon tunggu...
Muhammad Agung Buono
Muhammad Agung Buono Mohon Tunggu... -

Seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris UNY yang berusaha menjadi muslim yang bertakwa pada Alloh, bangsa dan negara. Berprinsip "fastabiqul khoirot" berlomba- lomba dalam kebaikan dan takwa untuk semesta alam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Oh.. Hakim Tegakkanlah Keadilan bagi Kami! (Cerita Fiksi di Negara Gagal)

7 Mei 2013   14:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:57 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

1. Flash Back

Inilah hari di kala segala impianku akhirnya jadi nyata. Hakim, sebuah jabatan terhormat penegak keadilan bagi mereka yg kelaparan dan juga keadilan bagi pengusaha rakus.  Ku duduk di hijau ini sambil memandang. Memandang seorang terpidana mati, begitulah kata ayat-ayat perundang-undangan. Huh, aku tak habis pikir seorang cewek secantik ini tega melakukannya. Dia punya wajah imut dan tatapan penuh kasih. Tak kusangkan di aku harus membacakan vonis maut pada gadis ini. Oh Alloh, berilah hambamu ini kebijaksanaan dalam menentukan segala sesuatu. Aku tidak percaya "tampang hijau" seperti dia terlibat pembantaian sadis terencana terhadap puluhan orang di tempat umum. Tak kuasa ku menahan rasa tangis. Rasanya ingin sekali menjerit sejadi-jadinya, kala itu. Namun itu semua tiada berarti lagi. Penyesalan tiada mampu memuatar waktu dan nyawa yg terenggut tidak dapat dikembalikan.....

2. Tahun ke-7 Setelah Runtuhnya Republik

Tujuah tahun setelah hancurnya negara kesatuan menjadi negara-negara hukum kecil. Itulah saat pertama aku menjabat. Oh keren! bak seorang raja di raja. Semua orang menaruh hormat, disegani, dielu-elukan sebagai pahlawan keadilan. Tak tahukah mereka betapa pedihnya hati ini ketika dipaksa menjadi "munafik".

Ku diam tak bersuara ketika pejuang Republik diarak ke meja hijau. Hukuman gantung ! itulah putusan hakim yg aku caci maki habis-habisan ketika jadi aktivis.  Itulah kejadian enam tahun yang lalu, tahun yang tiada pernah hilang dari benakku. Jabatan yang dulu aku kutuk habis-habisan,  jabatan yang kulaknat hingga ke liang lahat. Tak kusangka aku akhirnya menduduki jabatan itu di penghujung usiaku yg menginjak 30 an ini.

Jika harus mengingat-ingat.......

Sebanarnya bukan ambisi pribadi menjadi hakim. Saat itu tahun pertama setelah runtuhnya Republik. Banyak sahabat seperjuanganku digantung, atau lebih tragis lagi ditembak di tempat. Perbuatan tirani yang membungkam segala pemikir yg mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan. Tiada kami terbenam lama di kesedihan. Segera kami menyusun strategi pertahanan. "Kamulah harapan kami satu-satunya untuk bertahan hidup di negeri Durjana ini, kembalikan kehormatan kami, kembalikan kejayaan Republik, tegakkan keadilan bagi saudara-saudara kami yang teraniaya!", kata- kata itu masih terninang-niang di pikiranku. Tersentuh oleh kesungguhan mereka, nurani intelektualku menggelitik, "Orang kampungan macam kamu tahu apa tentang politik, tahu apa tentang mekanisme pemilihan hakim?". Mereka mayoritas pendidikannya rendah hanya menjawab terbata-bata, "Kami percaya kamu. Mungkin kami tidak sepintar kamu, tapi jumlah kami sangat banyak. Kami memiliki  tetangga dan tetangga serta teman-teman kami memiliki teman yg lain. Semua juga yang siap mendukung kamu hingga jadi pejabat. Jangan engkau biarkan kami jadi mangsa para pejabat bejat!" Yang lucunya bukan ku duduk di parlemen tapi jadi Hakim.

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun