Mohon tunggu...
M. Khaliq Shalha
M. Khaliq Shalha Mohon Tunggu... Pegiat literasi bersama anak didik

Pustakawan MTs Al-Wathan Sumenep

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

HAHEHO (Dari Tobat Sambal Menuju Tobat Nasuha)

7 Januari 2015   16:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:38 1488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Wahai orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada Allah dengan tobat semurni-murninya (nasuha), mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak mengecewakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengannya; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sungguh Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Tahrim : 8).


*****


Haheho adalah bahasa daerah sebagai sebutan bagi suara orang yang sedang kepedasan. Inspirasi tema tulisan sederhana ini muncul ketika saya dengan teman-teman haheho makan nasi pecel di stasiun Kota Baru Malang, 4 Desember 2014 lalu. Lazimnya nasi pecel rasanya pedas. Bila Anda makan nasi pecel tapi tidak ada rasa pedasnya, perlu dipertanyakan ke-pecel-annya. Umumnya orang kepedasan disengaja karena sudah doyan. Ketika sedang kepedasan begitu dahsyatnya, cetar membahana, sepertinya ia ingin jera makan sesuatu dengan sambal. Tobat, tobat, tobat!


Selang tak berapa lama, ketika ingin makan, yang terbayang dalam pikiran sebuah pertanyaan, apa ada sambalnya ya? Sambal membuat para penikmatnya menimbulkan ketagihan. Makan di rumah atau di tempat lain, berpedas-pedas adalah agenda rutin. Tiada makanan nikmat tanpa sambal. Itulah tobat sambal, membuat orang “jera-jera ketagihan”.


Memilih makan dengan sambal atau tidak, itu hanya menyangkut selera setiap orang. Boleh memilih di antara keduanya . Namun, tentang masalah tobat dari perbuatan dosa bukan hal yang main-main, karena menyangkut masalah kualitas hidup. Sangat ironis bila hidup ini hanya penuh dosa tanpa ada penyelesaian akhirnya berupa tobat nasuha, tobat yang sebenarnya.


Apa tobat itu? Al-Ghazali dalam kitab pamungkasnya, Minhaj al-‘Abidin mengutip pendapat gurunya, Syaikh Abu Bakar bahwa tobat adalah komitmen untuk meninggalkan perbuatan dosa sejenis yang telah diperbuatnya karena mengagungkan Allah dan waspada terhadap kemurkaan-Nya. Lebih lanjut al-Ghazali menjabarkan empat syarat tobat. Pertama, berkomitmen sepenuh hati untuk meninggalkan perbuatan dosa dan punya keinginan kuat bahwa ia tidak akan kembali berbuat dosa secara totalitas. Apabila dalam diri seseorang belum punya kesadaran seperti hal tersebut, maka ia belum tergolong sebagai orang yang bertobat.


Kedua, ingin jera dari perbuatan dosa sejenis yang telah diperbuat. Karena, bila orang belum pernah melakukan dosa dimaksud, ia tidak disebut orang bertobat, tapi orang yang menjaga diri. Contohnya, Nabi SAW adalah orang yang menjaga diri dari kufur, bukan orang yang bertobat darinya, karena beliau tidak pernah kufur sebelumnya. Berbeda dengan Umar bin Khattab, ia disebut orang yang bertobat karena sebelumnya pernah kufur.


Ketiga, dosa yang akan dihindari bukan hanya semata-mata dosa sama persis dengan perbuatan dosa yang dilakukan sebelumnya, tetapi jenis dosa apapun yang setara dan sederajat dengan dosa yang pernah diperbuat. Perkara ini dilandaskan pada sebuah asumsi bahwa seorang yang sudah tua renta yang masa mudanya berzina dan merampok, masih memungkinkan bagi dia untuk bertobat, sekalipun dia tidak dibilang bisa menghindari dari dua perbuatan dosa tersebut karena kondisinya sudah tidak memungkinkan lagi untuk berzina atau merampok. Maka tidak benar kalau dikatakan orang tua itu bertobat dari zina dan merampok. Dikatakan bertobat dari suatu perbuatan dosa apabila orang menghindari dari perbuatan dosa yang pernah diperbuat selagi dia masih mampu seandainya mengulangi lagi perbuatannya. Sedangkan orang yang sudah tua renta kondosinya sudah tidak memungkinkan untuk berbuat dosa jenis zina dan merampok, tapi ia masih mampu menghindari perbutan dosa setara dengan zina dan merampok walau kadar dosanya tidak sama persis, seperti menghindari dusta, menuduh zina, gibah dan adu domba. Oleh karena itu, tobatnya tetap sah dengan kondisi seperti itu dengan menghindari perbuatan dosa setara dengan yang diperbuat sebelumnya ketika fisik masih kuat.


Keempat, upaya meninggalkan perbuatan dosa semata-mata karena mengagungkan Allah, bukan karena takut pada manusia, pencitraan, cari muka, sensasi, jabatan dan lainnya. Apabila kriteria tersebut terpenuhi maka tobat seseorang dapat dikatakan tobat yang sebenarnya.


Dalam memulai tobat, kata al-Ghazali, ada tiga hal yang hendaknya dikondisikan dalam jiwa. Pertama, ingat pada puncak kejelekan dosa. Kedua, ingat pada dahsyatnya siksa Allah dan kemurkaan-Nya yang tiada tara. Ketiga, ingat pada kelemahan diri dan minimnya rasa malu. Perasaan-perasaan seperti ini perlu ditanamkan dalam jiwa. Sebagai perumpamaannya, apabila seseorang tidak mampu menahan sakit tamparan polisi, sengatan binatang, apalagi menahan panasnya neraka Jahanam, keangkuhan malaikat dan sengatan binatang berbisa di dalamnya.


Dari salah satu syarat tobat tersebut bahwa hendaknya tidak mengulangi perbuatan dosa yang telah diperbuat, lalu menimbulkan pertanyaan, bagaimana jika lupa dan salah? Dimaafkan berkat kemurahan (fadhal) Allah. Timbul pertanyaan pula, bagaimana jika muncul dalam diri bahwa ingin kembali perbuat dosa sehingga menjadi penghalang untuk berkomitmen dalam bertobat? Itu adalah rayuan setan yang tidak perlu larut dengannya. Dari mana orang bisa tahu secara pasti akan hal itu. Bisa jadi orang yang bertobat setelah itu mati sebelum mengulangi lagi perbuatan dosanya. Bagaimana bila seseorang punya perasaan cemas untuk kembali berbuat dosa? Cukup punya keinginan kuat dengan sejujurnya untuk bertobat. Allah yang akan menyempurnakan hal itu. Apabila terlaksana dengan sempurna berarti mendapat kemurahan Allah, bila tidak, orang yang bersangkutan telah diampuni semua dosanya yang telah berlalu, sisanya hanya dosa yang baru diperbuat saat ini. Begitulah logika tobat menurut al-Ghazali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun