Mohon tunggu...
Lys Vierkhue
Lys Vierkhue Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Life is never flat\r\nhttp://cerpenlysvierkhue.blogspot.com\r\nfollow twitter : @lys_vierkhue \r\nAdd Fb : Lys Vierkhue

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ajari Aku Menghargai

9 Februari 2015   23:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:32 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu sisi keterbatasan, memiliki sebagian kekuatan yang tidak dimiliki oleh seseorang yang secara fisik sempurna.

Mengerti melalui hati, menyimpulkan kata demi kata dari gerakan suara. Sebagian lagi tidak bersuara. Menyentuh kata dengan irama, menggapai maksud dengan sejuta senyuman dan kebisuan. Sesuatu yang bisa menginspirasi adalah ketika kita merasa sempurna berada ditengah mereka yang kekurangan. Mari rubah keadaan kita yang buruk menjadi sesuatu yang mendapatkan nilai untuk kehidupan.

Inilah sepenggal cerita, bagaimana seseorang yang memiliki kekurangan ingin mendapatkan perlakuan yang sama seperti orang normal lainnya. Dan aku sebagai salah seorang yang tidak menghargai itu pada awalnya, namun kemudian tersadar karena sesuatu hal. Semoga menginspirasi.....

***

Disuatu pagi.

Mama menyiapkan sarapanku seperti biasa. Ada telor ceplok dan sayur lodeh, keduanya menjadi penting karena itu makanan kegemaranku. Aneh, aku tidak bisa melewatkan hidangan itu setiap harinya. Jika tidak, maka ada sesuatu yang hilang dalam hidupku. Tapi jangan salah, kedua hidangan itu harus mamaku yang buat.

Aku terbiasa dilayani. Aku tumbuh menjadi anak manja yang setiap harinya tidak bisa melakukan apapun sendiri. Aku sering protes dengan apa yang aku tidak suka, aku gampang marah dengan sesuatu yang mengangguku, aku tidak bisa menghargai orang yang tidak sependapat denganku. Aku dan aku dengan sifatku yang mungkin saja orang lain tidak suka. Dan namaku Lili.

“Ma air minumnya habis..” Teriakku, kucoba sekuat mungkin memuntahkan suara, nafasku tersengal oleh butiran nasi yang sejak tadi kulahap. Aku menyadari sesuatu, tidak ada air putih dimeja, mama melupakannya. Aku kesal, dan berteriak kembali.

“Mama, aku keselek nih, minumnya mana..”

“Coba cari di hp mama ada no tlp Tante Irna...” Samar-samar kudengar mama berteriak.

Aku menghentikan suapan terakhirku, menuju mama yang sibuk menyirami tanaman kesayangannya.”Air minumnya habis ma, kok disuruh telepon Tante Irna sih..” Ujarku sedikit heran. Mama melempar senyum, kemudian mengambil hp dan membuka phone book.

“Iya kirim dua sekalian ya Ir..., saya tunggu sekarang ya..”.

“Kok bisa sih air minum sampai telat beli gitu..” Gerutuku kesal.

“Mama lupa sayang.....” Ujar mama, suaranya merendah.

“Terus gimana ini, Lili haus....”

“Sabar dong Li, biasanya gak lama ko langsung dianter...”

Aku beranjak kesal. Mama melanjutkan kegiatannya dan aku tidak selera melanjutkan makan. Kupandangi telor ceplok yang tinggal sepotong lagi, baru kali ini aku tak selera menghabiskannya. Sedangkan tenggorokanku seperti sungai kering yang menanti hujan deras, aku terpaksa meminum air es walaupun setelahnya gigiku terasa ngilu, ngilu sekali.

Ditempat lain. Seseorang dengan tubuh tinggi, gempal dan nampak kusamberjalan menuju rumahku. Tampak tertatih-tatih sedikit kesusahan membawa dua galon sekaligus. Dialah kuli pengantar galon, namanya Agung.

Aku terkejut melihat seseorang dibalik jendela seperti melambaikan tangan ke arahku. Aku acuh saja, berfikir bahwa orang itu seorang pengamen, atau pengemis yang akan menyerah dalam beberapa menit karena merasa tidak diladeni. Aku enyah dari pandangan orang tadi,

“Li.. li, ..” Tiba-tiba mama memanggilku.”Kenapa kamu gak buka pintu buat Agung..”

“Siapa Agung?..”.Tanyaku. Karena seingatku hanya kulihat seorang pengemis yang datang.

“Sini Agung masuk...”

Aku terkejut, mataku membesar menatap seseorang itu tidak lain dia yang melambaikan tangan dibalik jendela. Tubuhnya yang gempal menenteng dua galon besar sedikit tertatih-tatih, ia melempar senyum.

“Gue fikir lo pengemis...”Ujarku ketus.

“Lili kamu bicara apa...”

“Salah siapa lo gak teriak manggil gue... “ Aku tidak menghiraukan ucapan mama. Tapi aneh, dan Agung seperti tidak menanggapi ucapanku. Aku perhatikan gerak-geriknya, bahkan setelah suara ku naik satu oktaf, dia tetap tidak bergeming.

Mama kembali dengan uang dua ribuan ditangannya. Menyodorkannya kepada Agung,

“Ini untuk kamu ya....”. Aku perhatikan mama mengeja setiap kata demi kata, Agung menangkap ucapan mama dari gerak bibirnya.

“Maaaaiiiihhhh ..”. Jawabnya.

Aku faham lalu menarik nafas lepas. Kesimpulannya Agung seorang tuna rungu dan tuna wicara bekerja sebagai pengantar galon dengan upah dua ribu rupiah. Itu hal biasa yang aku lihat.

Dihari lain, aku malah membentak dan memakinya. Hari itu, ia mengantarkan galon ke sebelah rumah. Aku tengah sibuk menelpon teman, tanpa kusadari saat keluar dari gerbang ia menabrakku. Sontak saja aku kaget, hpku terbanting sangat keras. Tanpa mangatur nafas aku berteriak dan menunjukkan hp ku yang tidak berbentuk lagi.

“Eh.. punya mata gak sih lo...?”. Bentakku. Aku melihat dia memperhatikan gerak bibirku. “Liat ni hp gue rusak tau gak !!, mau tanggung jawab lo...!”

Agung menggeleng sambil menarik galon, menahan nafas berusaha tenang.

“Aaaap aa ajaa...”. Aku tahu dia mengatakan sesuatu tapi aku tidak faham sama sekali.

“Pliss deh gue gak ngerti, udah tahu gak bisa ngomong.. sok-sok an ...”Ujarku ketus.

“Aaaapiii aaa...”. Agung menyodorkan tangannya, aku tahu maksud dari itu, aku menghindar saja, tidak berminat apa-apa terlanjur kesal ingin segera menghilang dari hadapannya.

“Dasar bodoh..”Gerutuku.

Sorenya mataku terbelalak ketika aku menghabiskan waktuku bersama sahabat-sahabatku disebuah café, Agung tengah memunguti botol-botol plastik dan kardus-kardus bekas dari tempat sampah. Aku bergidik.

“Kenapa Lo..” Tanya Adi sahabatku

“Liat tuh...” Aku menunjuk kea rah Agung

“Kasihan tahu Li...” Ujar Nuru Sahabatku yang lain

“Gue jijik aja liat tuh orang mungutin sampah begitu...”

“Itu kan cara dia nyari duit... Kalau gak mungut barang bekas begitu, darimana mereka bisa makan...”

“Ih... lo ngebelain dia sih...”Tukasku mulai kesal. “Lo tahu gak tadi pagi dia ngerusakin hp gue....”

Nuru geleng-geleng. “Terserah kamu saja Li....”

Akhirnya dia pikir lebih baik diam, Nuru sangat tahu dengan sifatku yang pemarah. Dan aku berhenti mengunyah.

***

Aku mengingat-ingat kata-kata Nuru. “Itu kan cara dia nyari duit... Kalau gak mungut barang bekas begitu, darimana mereka bisa makan....”

Aku tidak tahu apakah sikapku keterlaluan. Kalau benar, dari sisi mana aku keterlaluan. Ah sudahlah, aku menghampiri mama yang sedang membuat kue didapur.

“Ma... menurut mama sifat Lili baik atau buruk?.”

Mama mengernyitkan dahinya. Ada angin apa aku bertanya seperti itu ya? Fikir mama. Aku antusias mendengar jawaban mama.

“Lili itu.....” Belum selesai bicara, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu. Mama bergegas karena menurutnya itu Agung si pengantar galon.

Aku memutuskan berhenti dulu mencicipi kue buatan mama. Aku hampiri mama yang seperti biasa menyodorkan uang dua ribuan.

“Jangan ma......”

Mama terkejut. “Kenapa Li...?”

“Mama gak perlu kasih dia duit, anggap aja dia ganti rugi hp Lili yang rusak..” Ujarku seenaknya.

“aaayaa euuuu aa pa pa..” Agung berusaha bicara.

“Sudah ini ambil saja...”Mama tetap menyodorkan uang itu. Agung berusaha menolak,namun mama memaksa.

Aku menangkap kekecewaan mama. Mama sempat menghela nafas panjang. Lalu bicara.”Mama tidak pernah mengajarkan kamu hal-hal yang buruk kan Li..?” Mama menatapku. Aku tertegun.

“Mama kecewa dengan sikap kamu....”.

“Lili juga kecewa sama mama.... kenapa ngebelain si Agung..” Aku mendengus sebal.

“Mama tidak membela dia Li, coba Lili bersikap lebih dewasa, fikirkan jika Lili ada di posisi dia...”

Pikiranku menerawang. Terdiam, kini benar-benar hanyut diantara kata-kata mama. Jika aku jadi mereka, apa yang aku rasakan?.

***

Aku bersama Nuru mengunjungi pasar malam. Aku sebenarnya tidak terlalu menyukai tempat ini. Tapi sekedar untuk hiburan tidak ada salahnya.

Aku menatap gemerlap lampu-lampu terang yang menyilaukan. Cahaya lampu temaram menerangi setiap juru. Pandanganku nun jauh tanpa arah, melamun. Padahal musik terdengar keras sekali. Nuru mengajakku melihat-lihat dan membantu memilihkan aksesoris kesukaannya.

“aaa.. iii..yapa aa..”

Aku tercekat. Mendengar suara Agung diantara pengunjung. Saat itu pengunjung banyak memadati tempat itu. Ditengah keramaian, mataku melihat sosok Agung.

“aaaa..iiii..yapa..aaa”. Agung menunjukkan salah satu kalung imitasi kepada Sang penjual, namun dia tampak kebingungan.

Aku berhenti memilih aksesoris untuk Nuru, memandang Agung tanpa reaksi.

“Lo ngeliatin apa Li.?” Tanya Nuru. Aku tidak mendengar. “Lili....”.

“Ng..eh, kenapa Nur? Itu juga bagus kok...”

Nuru melongo. Heran dengan sikapku yang gak nyambung.“Gue nanya apa, lo jawab apa... liatin apa sih lo..”

“Lo nanya apa tadi?...”.

“Lo kenapa sih ? aneh banget...”

“Gue . gue . emang gue kenapa sih...,” Aku gelagapan.”Eh eh kalung ini bagus juga nih..” Ujarku. Namun pandanganku kehilangan sosok Agung “Eh si Agung kemana...”.Pikirku.

Keesokan harinya, aku bergegas menuju kampus. Terburu-buru dengan beberapa buku ditanganku. Sebelum bis tiba, mendadak perhatianku tertuju pada sebuah kerumunan. Aku mendekat, terdengar samar-samar suara keributan.

“Makanya kalau nyeberang hati-hati..”

“Sudah-sudah, selesaikan saja ini secara kekeluargaan..”

“Tidak bisa... saya rugi gara-gara orang ini..”

Aku berhasil menembus kerumunan orang. Aku lihat Agung tampak diam saja, Agung mungkin tidak dengar, tapi dia paham bahwa dia sedang disudutkan. Orang tadi terlalu banyak bicara. Agung tidak bisa mengeja gerakan bibirnya.

“Kamu harus ganti semua kerugian ini...” Lagi-lagi orang itu menyudutkan Agung.

“Maaf ini ada apa ya..?” Tanyaku.

“Dia nyebrang gak hati-hati, akhirnya motor saya oleng dan menabrak tiang....” Serunya, Dia menunjuk ke arah motornya.”Liat motor saya harus dibawa ke bengkel...”

“aaayaaa aaataaa aaajaaa..”

Menatap Agung tak berdaya. Hatiku lumer, aku sangat kasihan melihat Agung meringis kesakitan. Agung sendiri tertunduk, merasa bersalah. Ia merasakan walaupun tidak mendengar. Akhirnya naluriku menarik diri, aku mengganti seluruh kerugian orang tadi. Dan masalah pun beres.

“Gue ajak lo ke rumah sakit ya...” Pintaku kepada Agung. Darah segar masih keluar dari tumitnya.

Agung menggeleng pelan.”Taaa uaahh...”

“Kenapa?” Aku menunjukkan wajah iba. Agung mungkin bingung dengan sikapku yang tiba-tiba saja berubah.

“Gue anter lo sampe rumah. Gimana?”

Agung setuju. Lalu mengangguk pelan.

Tiba dirumah Agung. Kudapati kedua adiknya yang masih kecil menyambut gembira kedatangan Agung.

“Kakak.... Neni mau jajan kak..”

“Meli juga ....”

Agung tersenyum simpul. Diraihnya tangan kedua adiknya itu.

“Kaaa aaa paa uaaa..” Ujarnya, sepertinya sang adik sudah faham apa yang dimaksud kakaknya. Aku jadi terus membatin dan tercenung, melihat mereka rasanya tidak tega. Agung harus bekerja keras membantu biaya sekolah sang adik, penghasilan ibunya yang tidak seberapa dari berjualan lotek mengharuskan agung untuk ikut bertanggung jawab.

Tapi Agung tidak pernah lelah dan mengeluh dengan hidupnya. Terbukti, setelah kejadian hari itu, dia tetap melakukan pekerjaannya sebagai pengantar galon dan pemungut barang bekas walaupun kakinya belum sembuh. Aku melihatnya sendiri bagaiman dia kesusahan mengambil galon-galonnya. Dan satu hal yang aku salut dari dia, ketika aku menyodorkan beberapa lembar uang duapuluh ribuan untuknya, Agung menolak. Aku memaksa, dan dia tetap menolak.

“Aaaaaa... aaaiiiiihhhhh ...” Ujarnya dengan senyum yang tak pernah lepas dai wajahnya.

Aku beruntung dengan apa yang aku miliki. Secara fisik aku sempurna, lengkap dengan semua panca indraku. Sedangkan Agung, dia tidak bisa mendengar dan tidak bisa bicara. Dari dia aku belajar menghargai, dan belajar untuk menjadi orang yang lebih baik. Itu tekadku, kenapa sebagai manusia yang diciptakan sempurna oleh Tuhan, tidak diiringi dengan kesempurnaan hati?. Dari dia, aku belajar untuk mandiri dan melakukan segala sesuatu sendiri. Itu Tekadku, kenapa orang yang secara fisik kekurangan saja mampu menjadi pahwalan untuk kedua adiknya, kenapa aku tidak bisa menjadi pahlawan untuk diriku sendiri?.

-Tamat-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun