Mohon tunggu...
Theodorus E.K
Theodorus E.K Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kompasianer, Anda Penulis Atau Provokator?

24 Agustus 2015   16:01 Diperbarui: 24 Agustus 2015   16:01 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="narasumber nangkring bareng bkkbn solo"][/caption]

 

Berangkat dari Acara nangkring bareng Kompasiana dan BKKBN bertajuk "Menanamkan Revolusi Mental Melalui 8 fungsi Keluarga" yang diselenggarakan oleh Kompasiana (20/8) lalu, salah satu narasumbernya yakni Arswendo Atmowiloto menggelitik saya dengan ungkapan bahwa dalam menulis itu ikhlas layaknya hubungan mahasiswa dan dosen pembimbing (begitupun kompasiana mencuitkan ungapan ini di timelinenya). Menulis itu ikhlas dan memberikan informasi yang benar bagi sang pembaca oleh sang penulis.

Yups, sebenarnya ada banyak tulisan-tulisan mengenai penulis dan media informasi yang mengetengahkan keprihatinan bersama atas “ketidaknormalan” informasi berbagai media informasi dalam negeri dan mengutarakan sebagai penulis haruslah mengutamakan keidealisan serta keutamaan informasi. Maka bolehlah saya juga menjadi bagian dalam barisan mereka.

Ikhlas menurut KBBI bersih hati, tulus hati yang dalam pengertian lain berarti sebuah kejujuran - kesungguhan. Jadi penulis berarti menulis secara fakta tanpa ditutupi, bukan sebuah kebohongan, dan berarti dalam tulisan tersebut memuat informasi-informasi yang ditujukan bagi sang pembaca (baca: khalayak ramai, masyarakat). Informasi-informasi ini penting bagi masyarakat, sebab secara etika penulis harus menghormati hak masyarakat memperoleh informasi yang benar. Kalau bukan dari penulis yang memberikan informasi, apakah masyarakat harus menuju ke TKP untuk meminta reka ulang kejadiannya? Kan jelas tidak mungkin.

Beberapa waktu yang lalu, kita sempat dihebohkan dengan beberapa media informasi baik secara tertulis (juga televisi dan media daring) didomplengi oleh kepentingan suatu kelompok karena sang empunya itu adalah elit politik. Dan benar saja, beberapa indikator-indikator “ketidaknormalan” tersebut dilontarkan oleh sebagian masyarakat, pengamat dan akademisi. Sebab secara terang-terangan menyajikan konteks informasi-informasi yang sepotong-sepotong (dan diulang-ulang) sesuai dengan maksud dan tujuannya untuk pembentukan opini publik sesuai dengan kebutuhan yang dibutuhkan, entah baik atau buruk. Padahal konon sejatinya jauh dari apa yang disajikan. Contoh secara nyata akan hal ini banyak kita jumpai ketika Pilpres tahun 2014 kemarin.

Secara etika, penyaji informasi (media) tersebut benar karena melaporkan pendapat yang jelas dari sumbernya. Tetapi apakah sesuai dengan faktanya? Tetapi berapakah jumlah narasumbernya, satu atau berbanyak? Lantas dengan memberikan informasi sepotong-sepotong tersebut apakah media tersebut bisa disebut dengan menyembunyikan beberapa informasi penting yang perlu diketahui oleh masyarakat?

Bahkan beberapa media juga terkesan untuk mencemarkan nama baik dan memfitnah seseorang. Secara etika jelas-jelas menyalahi aturan penulisan. Memang beberapa kalangan menilai atas “ketidaknormalan” media informasi ini ditengarai karena adanya kepentingan politik yang menungganginya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa hal-hal tersebut digunakan untuk menggiring opini publik kepada hal yang ia inginkan.

Maka sikap ke-netral-an penulis dituntut di sini. Apakah ikut ikutan karena dapat “amplop” lantas menyanjung si pemilik kepentingan dalam tulisan karya si penulis atau apakah tulisan yang dihasilkan merupakan tulisan yang mengisyaratkan reputasi penulis beretika?. Baiklah bahwa beberapa tulisan bersifat persuasif, lantas apakah dengan dalih persuasif ini sang penulis bisa dengan bebasnya memprovokasi yang notabene berkonotasi negatif? Bukankah seorang penulis itu harus mampu mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan yang beretika dan keberimbangan dalam peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar. Sehingga dari sini dapat diambil bahwa seorang penulis diharapkan untuk bersikap kritis dan memberikan pandangan informasi dari beberapa sudut pandang yang berbeda. Penulis boleh tidak suka akan sesuatu hal tetapi diharapkan mampu memberikan keutuhan informasi, begitupun sebaliknya penulis boleh saja mendukung sesuatu hal tetapi tetap harus berani kritis tehadap hal itu. Bukankah dengan tulisan beretika memberikan sebuah gambaran informasi yang lengkap sehingga tercipta tulisan yang ikhlas layaknya hubungan dosen pembimbing dan mahasiswa, memberikan ilmu dan mengkritisi sehingga menghasilkan solusi yang jitu.

VN, 24815

1232

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun