Mohon tunggu...
Theodorus E.K
Theodorus E.K Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hedonisme, Pemerintah Harus Bertanggung Jawab!

22 Agustus 2015   02:17 Diperbarui: 22 Agustus 2015   02:17 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption=" Narasumber nangkring bareng BKKBN 20 Agustus 2015"][/caption]

Setidaknya seperti itulah tuntutan-tuntutan berbagai macam problematika yang terjadi di negeri ini; "pemerintah musti tanggung jawab!". Kekeringan; pemerintah harus tanggung jawab, banyak kecelakan; pemerintah wajib tanggung jawab, setahun tidak hujan; pemerintah juga harus tanggung jawab, bahkan ketika ada anak kecil berduaan yang kelihatannya berpacaran; pemerintah harus bertanggung jawab. Pernyataan - pertanyaan "apakah realisasi program pemerintah terhadap masalah x itu?" seringkali terlontar dari kita, dari besar warga negara yang terekspos dari berita-berita media massa khususnya. "Hukum harus ditegakkan! Jangan hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas" kata seseorang pendemo dalam berita sebuah berita di televisi x , padahal pulang sehabis demo dia naik sepeda motor tidak memakai helm dan menerobos lampu merah. That is great beibey!. Amat sangat kontras.

Yups, beberapa hari yang lalu kita diramaikan dengan berita problematika mengenai konvoi moge. Sebuah kekontrasan sosial terbesit didalamnya dan sebagaian besar berpendapat hampir sama; sebuah konvoi arogansi sekolompok orang di ruang publik yang secara implisit merupakan penyaluran hobi pamer harta kekayaan yang mendapat hak istimewa dan di kawal oleh alat negera titik. "Amazing, amazing". Bahkan ada yang berpendapat bahwa alat negara tersebut mati-matian membela kaum yang membayar terebut. What everlah, bagi saya yang penting UUD 1945 pasal 28D terlaksana dan tentunya pasal 34 (1) jangan lupa "Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara". Lebih parahnya lagi, kita tahu banyak sinetron bertebaran yang syarat dengan keglamoritasan dengan frekuensi tayang yang lebih dan tidak jauh-jauh beda kehidupan nyata para artisnya yang glamor yang kita tahu ketika dimuat media cetak, elektronik dan media daring (online) bahwa artis x memiliki lamborgini, memiliki rumah sekian milyar dan lain sebagainya dan lain sebagainya lagi. Tidak tahu apa bahwa KPI sudah capek berulang kali menegur dan tidak ada kapoknya juga....

Saya hanya bisa berkata, "waw luar biasa, sangat luar biasa". Di saat turunnya ekonomi kita, ternyata masih banyak yang pamer harta. Waw, amazing. Bukankah hal itu juga yang menyebabkan maraknya intoleransi di negeri kita tercinta ini yang salah satunya tercermin dari kasus moge itu? Atau keglamoritasan gaya hidup sosialita masyarakat modern yang sedang berkembang saat ini? Atau pola pikir mindset kita sudah tertanam bahwa hal tersebut merupakan kejadian yang wajar-wajar saja?

Oke, ternyata segala problematika negara ini bukan hanya menjadi tugas pemerintah saja, melainkan segenap warga negara. Pemerintah, khususnya Bapak Pesiden kita telah mencanangkan Program Nawacita. Program ini merupakan langkah bagi pemerintah untuk memajukan kualitas bangsa kita. Sebenarnya masalah kita tentang turunnya kondisi perekonomian, masalah merebaknya intoleransi dan perlunya pembangunan peningkatan karakter bangsa sehingga diharapkan kita memiliki produktifitas dan daya juang tinggi dalam berbangsa dan bernegara, menurut kepala BKKBN Bp. Surya Chandra S. MPh, PhD. Secara singkat bisa dikatakan kita membutuhkan revolusi mental yang didefinisikan sebagai pembangunan karakter bangsa dan negara.

Lalu kembali lagi, apakah ini melulu tugas pemerintah? tentu saja tidak. Coba mari kita lihat bersama. Ada pertanyaan terlontar "lalu apakah ada realisasi program kerja dari pemerintah  tentang hal ini?". Tentu ada, ada banyak. Contohnya melalui penyuluhan lapangan dengan petugas tersediri, literatur-litertur mulai disebar dan masih banyak lagi. Kurang apa coba. "Apakah berhasil?". Untuk menjawab ini tentu sulit, dan pastinya jawabannya belum. Mengapa? kembali kepada jawaban lama, karena ini merupakan tugas segenap warga negara, tidak hanya pemerintah tetapi semua turut berperan disini. Sebagai contoh pemerintah mencanangkan "Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya", tetapi warga masih melanggar hukum (contoh kecil menerobos lampu merah) dan pelaksana hukum masih berat sebelah mau berhasil dari mana?!?!

Oke, oke, kembali lagi ke hedonisme. Banyak informasi narasumber baik melalui media cetak dan talkshow di beberapa stasiun televisi menginformasikan bahwa negara kita merupakan negara konsumeris. Konsumeris = hura-hura, hedonisme. Sikap seperti ini mendukung seorang individu untuk tidak pernah puas (kesenangan) dengan apa (hasil produksi termasuk harta benda) yang dia peroleh. Akibatnya ia akan mencari alat pemuas yang lebih, dan hal ini juga yang menyebabkan kenapa korupsi berkembang. ini buruk!. Kenapa kita hanya mengkonsumsi saja, tidak memproduksi sendiri? atau berkata cukup pada diri kita?. Padahal kalau kita telisik lebih lanjut, dalam nawacita tersurat "Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik". Sudah dilaksanakan tetapi terkendala SDM katanya. Lagi-lagi manusianya. Kelihatannya memang butuh di revolusi mental deh. Yup memang perlu pembangunan "karakter bangsa yang tangguh, mempunyai daya saing juang agar tidak menjadi bangsa budak", bangsa yang produktif. Lalu bagaimana caranya, kan tahu sendiri kalau lingkungan berperan aktif dalam pembentukan, sedang saat ini lingkungan mendukung untuk budaya hedonisme?

Hal terakhir yang menjadi harapan kita adalah keluarga. Maka pada hari kamis lalu (20/8), acara kompasiana nangkring bareng BKKBN digelar. Acara ini diikuti oleh 60 peserta kompasianer dengan tema "Menanamkan Revolusi Mental melalui 8 fungsi keluarga". Dalam acara ini diulas bahwa Keluarga menjadi tonggak utama dalam pembangunan karakter. Nilai-nilai luhur budaya bangsa tertanam awal dari keluarga. Pembangunan keluarga yang baik menjadi yang utama. Keluarga yang baik itu adalah kesiapan lahir dan batin untuk membentuk keluarga. Hal ini disampaikan terkait beberapa kasus yang merak terjadi seperti banyaknya pernikahan dini, perceraian dan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga. Dalam kondisi yang kondusif sebuah keluarga mampu menanamkan nilai moralitas dan intelektualitas yang lebih baik. Maka dari itu, baik pemerintah dan budaya melalui sosialisasinya mengimplementasikan pembentukan keluarga minimal 21 tahun sehingga dianggap matang untuk berkeluarga. Bahwa seorang yang siap berkeluarga harusnya memiliki sikap untuk berani merubah diri (keikhlasan) keluar dari egonya dan membentuk karakter diri yang matang keluarga yang baik. Seorang spikolog dan agamawan Bp. Ustadz Soleh Amini Yahman mengatakan bahwa Seorang orang tua yang mapan/matang berkeluarga mampu bertanggung jawab mendidik anak yang lebih berkualitas dengan memberi Tulodho, contoh-contoh yang baik, Tegas terhadap keutamaan, Temenan (sungguh-sungguh) menjadi orang tua yang bertanggung jawab penuh kehidupan lahir dan batin anak keluarganya serta Teges (jelas) dalam ajar amalan nilai-nilai luhur budi pekerti yang ditanamkan kepada anak-anaknya. Sebagai contoh; orang tua tau bahwa ketika seorang anak belum memenuhi syarat untuk mengendarai motor maka orang tua dengan tegas tidak memperbolehkan naik motor, Orang tua memberikan contoh sejak dini seorang anak untuk hidup sederhana dan jujur sehingga kelak ia dewasa tidak hidup mewah konsumtif yang akhirnya korupsi dan lain sebagainya.

Maka bahwa keluarga merupakan tonggak utama revolusi mental memerangi hedonisme konsumerisme dan membangun karakter bangsa ini lebih baik. Penanaman nilai-nilai luhur tercermin dari pendidikan dini seorang anak sejak kecil dalam keluarga. "Ketika kita menanam kebaikan, maka kita juga akan berbuah kebaikan. Kebaikan akan berbuah kebaikan" terang dr. Abidinsyah Siregar DHSM, M.Kes, yang beliau seorang Deputi Bidang Advokasi Penggerakan dan Informasi BKKBN. Niscaya pembangunan karakter bangsa yang produktif dan berdaya saing skala besar serta melalui kerjasama diberbagai pihak akan tercapai. Hanya saja pertanyaannya sekarang, beranikah pemerintah untuk memfasilitasi anak-anak bangsa yang memiliki karya bagi bangsa dan negaranya?

VN SLO, 22815

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun