Pendahuluan
Papua merupakan wilayah Indonesia bagian timur yang mempunyai keanekaragaman hayati sangat tinggi. Wilayah Papua kaya akan habitat flora dan fauna yang mempunyai khas Australis. Pada tahun 2012, sebagian besar daratan Papua masih ditutupi oleh hutan alam, mencapai sekitar 86% dari total luasnya. Namun, pada tahun 2024, persentase hutan alam di Papua mengalami penurunan yang signifikan karena aktivitas pembabatan hutan. Hutan di Papua menjadi bagian penting dalam aspek kehidupan masyarakatnya. Kearifan lokal masyarakat dalam memanfaatkan hutan menjadi nilai tersendiri bagi masyarakat adat dalam mengelola hutan. Meskipun demikian, kekayaan alam Papua semakin terancam oleh deforestasi dan degradasi, terutama akibat eksploitasi lahan oleh industri ekstraktif. Hal ini mengancam keberlangsungan hidup masyarakat serta habitat unik flora dan fauna di wilayah tersebut.
Belakangan ini tersebar berbagai unggahan di media sosial yang bertuliskan "All Eyes on Papua". Bukan tanpa sebab tren tersebut menjamur di berbagai media sosial, hal itu menjadi bentuk empati dan keprihatinan masyarakat Indonesia terhadap keputusan pemerintah yang akan membabat hutan di Papua. Hutan yang berada di kawasan Papua Selatan dan Papua Barat Daya tersebut akan dibabat untuk membuka perkebunan kelapa sawit oleh PT Indo Asiana Lestari dengan luas mencapai 36 hektar. Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, tindakan pembabatan hutan di Papua untuk membuka perkebunan sawit tidaklah memperhatikan dampak yang akan ditimbulkan.
Pembabatan hutan di Papua merupakan bentuk eksploitasi besar-besaran terhadap salah satu sumber keberlangsungan makhluk hidup. Bukan sembarang hutan, wilayah hutan di Papua menjadi rumah keanekaragaman flora dan fauna eksotis khas Indonesia, bahkan menjadi hutan masyarakat adat Suku Awyu di Boven Digoel Papua Selatan dan Suku Moi di Sorong Papua Barat Daya. Tindakan pembabatan hutan tanpa memikirkan keseimbangan ekosistem akan mengancam keberlangsungan hidup flora, fauna, dan masyarakat adat yang ada di sana. Masyarakat di sana akan terancam kehilangan sumber penghidupan dan identitas budaya mereka yang erat kaitannya dengan alam. Begitu pula kehidupan berbagai jenis flora dan fauna yang ada di hutan Papua akan terancam punah.
Pembahasan
Dalam beberapa dekade terakhir, permintaan global terhadap minyak kelapa sawit meningkat pesat. Hal itu mendorong ekspansi perkebunan kelapa sawit ke wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak tersentuk, termasuk wilayah Papua. Berdasarkan data dari Yayasan Pusaka, luas area perkebunan sawit di Papua meningkat dari sekitar 50.000 hektar pada awal tahun 2000-an menjadi lebih dari 300.000 hektar pada tahun 2020. Pembabatan hutan untuk membuka perkebunan kelapa sawit ini seringkali dilakukan tanpa memperhatikan dampak ekologis dan sosialnya.
 Isu baru-baru ini yang menjadi pertentangan masyarakat di media sosial yaitu pembabatan hutan alam di Papua Selatan dan Papua Barat Daya. Hal tersebut tidak lepas dari implikasi yang ditimbulkan terhadap keanekaragaman hayati. Menurut penelitian dari Conservation International, hutan Papua adalah rumah bagi lebih 20.000 spesies tumbuhan, 602 spesies burung, 125 spesies mamalia, dan 223 spesies reptil. Pembabatan hutan untuk perkebunan sawit telah menyebabkan deforestasi yang signifikan, mengancam habitat alami, dan menyebabkan punahnya spesies endemik. Contohnya terancamnya keberadaan Burung Cendrawasih yang menjadi symbol budaya Papua dan memiliki nilai ekologi tinggi.
 Dampak ekologis lain yang ditimbulkan yaitu kerusakan ekosistem dan fungsi layanan lingkungan. Ekosistem hutan alam Papua menyediakan berbagai layanan ekosistem penting, termasuk pengaturan iklim, penyimpanan karbon, dan pengelolaan siklus air. Pembabatan hutan untuk perkebunan sawit ini telah menyebabkan degadrasi tanah, erosi, dan gangguan siklus hidrologi. Studi dari Global Forest Watch menunjukan bahwa antara tahun 2001 -- 2019, Papua telah kehilangan sekitar 1,6 juta hektar hutan primer yang berkontribusi pada emisi karbon yang signifikan dan memperburuk perubahan iklim. Â
 Selain dampak ekologis, pembukaan perkebunan kelapa sawit dengan pembabatan hutan juga memberikan dampak sosial yang serius. Masyarakat adat Papua kehilangan tanah mereka dan mengalami perubahan signifikan dalam cara hidup tradisional mereka. Hal itu dialami oleh masyarakat adat Suku Awyu di Boven Digoel Papua Selatan dan Suku Moi di Sorong Papua Barat Daya. Pada Senin, 27 Mei 2024, sekelompok aktivis dan warga Papua berkumpul di depan Gedung Mahkamah Agung untuk menyampaikan protes mereka terkait konflik antara masyarakat adat Papua dan perusahaan perkebunan sawit PT Indo Asiana Lestari. Dalam protes tersebut, beberapa anggota masyarakat dari Suku Awyu dan Suku Moi hadir dengan mengenakan pakaian adat mereka. Mereka mengecam rencana pembukaan lahan seluas 36 hektar di Boven Digoel untuk perkebunan kelapa sawit yang dianggap dapat mengancam ekosistem lingkungan.    Â
Kesimpulan
Eksploitasi hutan Papua untuk pembukaan perkebunan kelapa sawit telah membawa dampak serius terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistem, serta menyebabkan masalah sosial yang signifikan. Kehilangan habitat, penurunan populasi spesies endemic, degradasi ekosistem, dan dampak terhadap sosial ekonomi masyarakat adat adalah beberapa implikasi yang harus diatasi oleh pemerintah pusat. Seluruh masyarakat Indonesia berhak menyuarakan kepada pemerintah untuk membantu mempertahankan hak masyarakat adat di Papua dengan menyebarkan tagline "All Eyes on Papua" di seluruh media sosial. Selain itu, pemerintah perlu mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan setelah mengeksploitasi hutan alam untuk kepentingan bisnis lahan kelapa sawit. Kebijakan dan regulasi yang ditetapkan pemerintah tentang perlindungan terhadap hutan dan lingkungan belum dilaksanakan secara efektif.