“Hanya karena sesuatu itu sulit, bukan berarti kita harus berhenti melakukannya …”
(Lygia Pecanduhujan)
Kami berdiri di depan cermin dan memandang satu sama lain dari pantulan yang berasal dari cermin tersebut. Di menit selanjutnya aku dan suami tertawa bersama.
Kami menertawakan apa yang kami lihat pada diri masing-masing. Cermin memang tak akan pernah berbohong. Aku melihat dua sosok tubuh yang jauh dari kesan langsing. Aku sampai tidak menyadari, kapan terakhir kali aku terlihat pas menggunakan pakaian berukuran L? Sepertinya sudah sangat lama. Suamiku setali tiga uang. Sejak aku mengenalnya, ia memang sudah berukuran “ekstra”.
Tak jarang para sahabat melontarkan pendapat bahwa kami adalah pasangan yang sangat serasi satu sama lain. Nol Besar, demikian mereka menyebut kami dengan nada bercanda dan kami menanggapinya dengan tertawa seperti biasa.
Bertahun lalu, aku masih sering merasa risih dan terganggu dengan pandangan orang lain yang berpapasan dengan kami di jalan, atau bersenggolan dengan kami di keramaian. Well, mereka menatap aku dan suami seolah kami adalah makhluk aneh yang berasal dari ruang angkasa. Halooo … apa kalian belum pernah melihat orang yang bertubuh gemuk seperti kami sebelumnya?
Seingatku, sejak kecil aku sudah terbiasa dijuluki dengan nama-nama yang dianggap mewakili ukuran tubuhku. Sebut saja Winnie The Pooh, tokoh beruang madu lucu dalam sebuah cerita komik yang menurut orang-orang di sekitarku sangat mirip denganku. Atau penguin, karena cara berjalanku yang katanya seperti penguin. Dan masih sederet nama alias lain yang disematkan padaku. Si Tomat, Bola Bekel, Ndut, dan lain sebagainya yang hanya berarti satu hal, aku adalah perempuan yang bertubuh gemuk.
Bukan aku mengabaikan semua pendapat orang tersebut. Bukan sekali dua kali pula aku mencoba untuk berperang melawan kelebihan berat yang aku alami ini. Namun, semakin kuat aku berusaha, sepertinya semakin keras pula tubuhku menolak keinginanku. Seolah antara otak dengan tubuh terdapat jurang pemisah yang teramat dalam. Ketika aku berhasil menurunkan berat beberapa kilogram, hari berikutnya beratku justru bertambah berkilo-kilo lebih banyak dibanding jumlah yang berhasil aku buang dari tubuhku.
Di penghujung tahun 2007, sempat aku mendadak kehilangan nafsu makan. Berbulan-bulan aku hanya mengonsumsi jus buah dan air putih. Ajaib, tubuhku juga tidak melawan seperti biasa. Tidak ada sakit maag yang biasa menyerangku jika terlambat makan, tidak ada letih lesu karena kurangnya asupan gizi, semua berjalan baik-baik saja. Beberapa bulan kemudian aku baru menyadari bahwa beratku susut tajam saat aku merasakan bahwa seluruh pakaianku tampak kedodoran.
Namun, hal tersebut ternyata tidak berlangsung lama. Di saat aku menahan lapar luar biasa seperti itu, sesungguhnya ternyata aku menyimpan bom waktu sangat besar yang dapat meledak sewaktu-waktu tanpa aku sadari. Benar saja, ketika tubuhku mengalami kejenuhan dengan pola makan yang aku terapkan selama berbulan-bulan itu, voila … aku kembali kalap memakan apa saja yang terhidang di depan mata. Jelas saja, berat badanku kembali naik bahkan lebih!
Entah aku harus bersyukur atau menyesali nasib ketika aku menikah dengan lelaki yang ternyata memiliki masalah yang sama denganku. Hanya saja, tampaknya suamiku lebih tenang menghadapi apa yang aku sebut sebagai masalah besar itu. Ia bahkan terlihat sangat nyaman-nyaman saja dengan penampilannya, meski sesekali ia juga melontarkan kalimat-kalimat bernada ketidaknyamanan.
“Dik, sepertinya aku harus mulai berenang nih, lihat perutku sudah mulai buncit”.
“Haa .. Mulai buncit? Bukannya sudah buncit sejak dulu, Mas?” jawabku cekikikan dalam hati.
Atau, “Dik, besok kalau bisa masak menu sayur-sayuran saja ya, aku lagi ingin coba jadi vegetarian nih”.
Dan seperti biasa, menu sayur-mayur itu hanya bertahan beberapa hari saja di rumah kami, selebihnya suami kembali rajin mengajakku berwisata kuliner, menjajal setiap restoran baru yang belum pernah kami kunjungi berdua. Namun, meski terkadang mengucapkan kalimat-kalimat bernada tidak nyaman dengan kelebihan bobotnya, suamiku menyikapi hal tersebut secara berbeda dibanding aku. Alih-alih mencemaskan berat tubuhnya sepertiku, ia malah terlihat bahagia dari waktu ke waktu.
Pernah sekali waktu suamiku merasa kesal karena aku terus-menerus mengeluh sambil menatap tubuhku di cermin. Ya perutku yang buncit lah, pipiku yang chubby, pahaku yang tampak besar, dan seribu satu anggota badan lain yang tak luput dari inspeksiku dan akhirnya kutemukan kekurangannya.
“Sudahlah, Dik. Mulai besok biar Mas singkirkan saja semua cermin dari rumah kita”.
“Lho, kok gitu, Mas?” tanyaku bengong.
“Iya, supaya kamu berhenti ngomel sambil bercermin seperti itu. Heran, jadi orang kok nggak mensyukuri apa yang dimiliki, sih? Coba pikir, di luar sana ada berapa orang yang tubuhnya kurus kering dan ingin menambah beratnya? Ada berapa orang yang, maaf, cacat dan ingin memiliki tubuh normal seperti kamu dan lainnya? Nah kamu, bukannya bersyukur, malah sibuk ngomel ini itu”.
Deg, ucapan suamiku membuatku merasa tertohok dan tertunduk malu. Benar juga, kok aku kurang bersyukur, ya?
“Jangan lupa, kalau kamu merasa dirimu gemuk, cuma kamu yang bisa memperbaikinya. Menatap cermin ribuan kali setiap hari nggak akan membuat tubuhmu jadi selangsing Jennifer Lopez, kan?”
“Ya ampuun, Mas … kok tahu J-Lo segala?”
Meski aku sibuk membenarkan perkataannya sambil cekikikan dalam hati akibat komentar-komentar lucunya, aku sadar bahwa komentar-komentarnya tersebut justru demi kebaikanku sendiri.
Ya, tidak seharusnya aku mengeluh terus-menerus meratapi nasib sebagai perempuan bertubuh besar. Kalau mau berubah, ya lakukan. Jangan hanya mencatat besar-besar dalam papan resolusi setiap tahun baru, “MENGURUSKAN BADAN”, namun tak pernah berusaha melakukannya sedikit pun.
Aku juga sadar bahwa aku terlalu mudah berputus asa. Hanya karena sering gagal berdiet, aku jadi malas untuk mencoba kembali dan merasa bahwa menurunkan berat tubuh adalah satu hal mustahil bagiku. Namun, alih-alih mensyukuri tubuhku apa adanya sebagai akibat dari kegagalan berdiet itu, aku malah terus mengeluh dan mengeluh.
Sepertinya sudah saatnya aku mengambil genderang perang dan memukulnya keras-keras untuk menyatakan perang terhadap kelebihan berat tubuhku. Sudah saatnya resolusi yang setiap tahun kutempelkan di balik pintu kamarku dan kutuliskan dalam halaman pertama agenda tahunanku aku wujudkan ke dalam bentuk nyata yang lebih teguh dan tidak gentar menghadapi keputusasaanku sendiri.
Mungkin berdiet merupakan sesuatu yang cukup sulit bagiku. Namun, suamiku telah membukakan mataku bahwa sesuatu yang sulit itu bukan berarti harus membuat kita berhenti melakukannya. Selalu saja ada jalan untuk mereka yang mau berusaha. Kali ini, impianku bukanlah ingin mendapatkan tubuh langsing seperti Jennifer Lopez atau Angelina Jolie, melainkan hanya ingin memiliki tubuh yang sehat dan bugar. Big is beautiful, bukan?
Di tahun-tahun lalu, mungkin aku bercermin sambil mengeluhkan tubuhku. Namun, di tahun-tahun ke depan, aku yakin, aku akan bercermin bersama suamiku sambil tertawa, bagaimanapun bentuk tubuh kami kelak. Yang jelas, mungkin mulai awal tahun depan, aku akan menyandingkan poster Jennifer Lopez ukuran besar di samping resolusi tahun baruku yang akan tetap berisi satu hal yang sama seperti tahun-tahun kemarin, “MENGURUSKAN BADAN”.
Masalahku hanya satu, bagaimana kalau suamiku justru melirik Jennifer Lopez saking seringnya menatap poster itu?
Buru-buru kuurungkan niat memasang poster dan mengucap sejuta doa semoga suamiku hanya tertarik kepadaku saja.
Amin.
(Tulisan ini dibuat 1,5 tahun lalu sebelum suamiku meninggal dunia) T_T
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H