Pancasila. Pancasila terdiri dari lima sila, di mana salah satu dari kelima sila tersebut adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu sila yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang mengakui dan meyakini eksistensi Tuhan. Sila ketuhanan ini memiliki arti bahwa negara memiliki kewajiban dan kewenangan untuk mengakomodasi agama-agama dan sistem kepercayaan yang dianut oleh seluruh warga negara.
Indonesia adalah negara yang memiliki sistem ideologiDalam perkembangannya secara formal sampai dengan saat ini, negara secara resmi mengakui beberapa agama di antaranya Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghuchu. Namun faktanya semua agama yang diakui oleh negara bukanlah agama asli Indonesia yang lahir dari bangsa Indonesia sendiri. Kesemua agama itu adalah agama dari luar negeri yang masuk ke Indonesia. Diluar agama-agama tersebut, ada banyak kepercayaan yang lahir dari budaya asli bangsa, seperti Kejawen, Sunda Wiwitan, dan sebagainya. Kesemua aliran kepercayaan tersebut sama sekali tidak diakui secara jelas seperti keenam agama yang diakui oleh Kementerian Agama.
Mereka yang menganut kepercayaan lokal tidak mendapat kebebasan untuk menunjukan identitas mereka yang sebenarnya karena kepercayaan mereka tidak diakui secara resmi di Indonesia, hal ini tentu harus menjadi perhatian khusus mengingat hak warga negara yang tercantum pada Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang berisi negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dari Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 tersebut sangat jelas bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya, namun pada praktiknya masih banyak warga negara Indonesia yang belum mendapatkan haknya secara penuh seperti yang tercantum pada pasal tersebut.
Namun dalam masalah agama lokal, negara cenderung mengabaikan aspek keadilan dalam penegakkan hukum seperti tidak memberikan hak-hak sipil yang setara dengan penganut agama resmi, Â tidak memberikan perlindungan hukum agar menjadi agama resmi negara, dan tidak memberikan rasa aman secara maksimal terhadap penganut agama lokal atas penekanan secara fisik maupun psikologis oleh penganut agama-agama resmi. Ketiga masalah ini sampai sekarang belum ada respon yang signifikan oleh pemerintah terhadap keberadaan agama lokal, terutama memperhatikan aspek hukum yang berkeadilan.
Secara logis, karena kebijakan hukum tidak banyak berpihak pada penganut agama lokal, maka sebagian hak-hak sipil mereka terabaikan. Semisal dalam memperjelas identitas resmi sebagai warga negara RI melalui KTP, penganut agama lokal tidak diperkenankan mencantumkan keyakinannya dalam kolom agama. Mereka hanya diperbolehkan mencantumkan identitas agama yang diakui negara. Hal ini diperkuat oleh Undang-Undang No.23/2006, tentang Administrasi Kependudukan yang disahkan tanggal 8 Desember 2006, yang masih meneruskan kebijakan masa lalu. Dalam UU yang disahkan pada masa reformasi ini dijelaskan pada pasal 64, ayat 2; "Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.
Kepercayaan lokal seakan tidak mendapatkan perlakuan dan dukungan baik dari pemerintah, kurang mendapatkan fasilitas dan ruang untuk berekspresi, tidak seperti ke-enam agama besar yang lain. Kepercayaan lokal juga sering dengan semena-mena dianggap sama dengan agama lain yang sudah diakui oleh pemerintah. Sering pula masyarakat yang menganut kepercayaan lokal dipaksa untuk memilih satu agama yang  sudah diakui oleh pemerintah seperti Islam, Kristen, atau Hindu, padahal sebenarnya bertentangan dengan hati nuraninya.
Para penganut agama formal sering kali memandang bahwa kepercayaan-kepercyaan lokal di Indonesia tidak memiliki konsepsi ketuhanan yang jelas. Padahal jika di analisis dalam filsafat ketuhanan, hasilnya menunjukkan bahwa penghayat kepercayaan lokal salah satunya Sunda Wiwitan bersifat henoteisme yaitu percaya pada satu Tuhan namun Tuhan tertinggi tersebut juga di sembah oleh tuhan atau dewa-dewa lain. Agama-agama lokal yang ada di Indonesia pada dasarnya memiliki ciri khas tersendiri dalam mengekspresikan keyakinannya terhadap keberadaan Tuhan atau yang sering di pahami sebagai "Yang Mutlak" atau "Yang Kuasa".
Kepercayaan lokal harusnya mendapatkan hak yang sama seperti keenam agama yang diakui secara resmi di Indonesia karena pada intinya kita semua adalah makhluk tuhan  yang memiliki jalan masing-masing menuju Tuhan, agama adalah sarana atau jalan menuju Tuhan tersebut, walaupun berbeda jalan tetapi yang dituju tetaplah sama yaitu menuju Tuhan sesuai dengan asas ketuhanan yang bertransformasi menjadi sila pertama dalam Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Artikel ini kiranya dapat memberi suatu gambaran bagi pemangku kebijakan untuk tidak serta-merta meleburkan penghayat kepercayaan lokal ke dalam agama formal yang sudah di akui lebih dulu oleh pemerintah, karena hal itu merenggut hak para penghayat kepercayaan lokal untuk melestarikan ajaran yang telah diwariskan oleh leluhur mereka. Penghayat kepercayaan lokal pada dasarnya juga memiliki peran penting dalam melestarikan kebudayaan bangsa agar tetap eksis dan mengaktualisasi nilai tiap sila dalam Pancasila dan amanat dari UUD 1945 yang bercita-cita melindungi seluruh tumpah-darah Indonesia termasuk  kebudayaan bangsa yang lahir dari kepribadian asli bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H