Kemudian di kasus lain, guru terbiasa mengajar dengan proses dan progres yang perlahan membuat murid-murid yang lebih cepat tangkap merasa tidak diajar dengan baik.
Hal ini lantas membawa dampak domino kepada semangat belajar siswa. Mereka merasa kegiatan belajar yang dijalani tidak sesuai dengan kemampuannya.Â
Hal tersebut tentunya sangat disayangkan ketika tenaga pendidik sendiri belum mampu menangani murid yang heterogen. Sekaligus membuktikan pula bahwa pemerataan siswa demi menghilangkan ketimpangan kualitas antar sekolah sama sekali tidak ditunjang dengan persiapan yang matang.Â
Impikan Pemerataan Tapi Kuota SNM Tidak Rata
Belum lagi soal akses pendidikan lanjutan, dalam hal ini perguruan tinggi. Seleksi masuk perguruan tinggi negeri jalur undangan (SNMPTN) belum menerapkan sistem yang merata juga. Persentase kuota bagi tiap sekolah nyatanya masih bergantung pada akreditas sekolah. Hal ini jelas bertentangan dengan pemerataan yang digadang-gadang itu.Â
Suatu kali saya bertemu murid tingkat akhir SMA bersama ibunya, mereka hendak mendaftar di sebuah lembaga bimbingan belajar (bimbel) yang belum terlalu besar.
Sang ibu mengungkapkan rasa syukurnya atas harga murah yang ditawarkan bimbel tersebut. Sembari itu, ia menceritakan bahwa sesungguhnya sang anak sangat pintar tetapi tidak terfasilitasi dengan baik di sekolahnya.Â
Usut punya usut, ternyata murid tersebut pernah berpindah sekolah sekali. Sekolah awalnya adalah SMA swasta yang sesuai kantong keluarga. Di SMA swasta itu, tenaga pengajar tidak memberikan nilai yang sesuai dengan kemampuan sang murid. Tidak peduli sebagus apapun hasil ujiannya, nilai yang tertera di rapor selalu pas-pasan.Â
Hal tersebut menjadi kekhawatiran sang murid karena sejak awal ia telah berusaha untuk mendapat nilai terbaik di rapor. Ia tahu benar nilai rapor yang baik bisa menjadi jalan baginya memasuki perguruan tinggi negeri dengan jalur SNMPTN.
Sesuai dugaan, murid ini mesti mengenyam dua belas bulan di SMA swasta gara-gara sistem zonasi PPDB. Kartu keluarganya yang diperbarui tak lama sebelum pendaftaran PPDB tidak memungkinkan ia untuk mendaftar di sekolah-sekolah negeri tempat tinggalnya saat itu.Â
Setelah setahun, sang ibu memindahkan anaknya ke sekolah negeri demi mendapatkan peluang SNMPTN yang lebih baik. Namun perkara nilai rapor pas-pasan itu, murid ini pun hanya bisa masuk SMA negeri yang kuota SNMPTN-nya tidak banyak. Persaingan menjadi lebih ketat bagi sang murid sementara para pesaing terfasilitasi secara ekonomi untuk mengikuti bimbel-bimbel beken.Â