Rangkaian peristiwa besar yang terjadi selama dua tahun ke belakang membawa akibat yang tidak main-main. Dari antara seluruh kejadian di bumi dalam rentang tahun 2020 sampai dengan sekarang, pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina menjadi dua yang paling banyak menghasilkan dampak jangka panjang. Salah satu dampak jangka panjang yang digadang-gadang oleh sejumlah pihak ialah resesi.Â
Jika merunut pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, resesi berarti menurunnya kegiatan dagang (industri). Dengan kata lain, resesi menandakan pertumbuhan negatif ekonomi. Resesi sendiri mengandung konotasi negatif. Ironinya, sudahlah kata itu sendiri negatif, masih juga dikepit dengan bingkai negatif.Â
Ketika kita menengok hasil pencarian kata "resesi" dalam mesin pencari, tidak akan sulit bagi kita menemukan kata-kata yang juga berkonotasi negatif tersanding di sana. Tak jarang, kata-kata negatif itu bahkan sangat ekstrem, seperti "ancaman", "ekonomi nyungsep", dan sebagainya.
Suatu waktu kepala negara membicarakan isu resesi ini dalam acara perwira. Peristilahan ekstrem yang digunakannya langsung menjadi serbuan. "Tahun ini kita akan sangat sulit. Kemudian tahun depan akan gelap." Dua kalimat dramatis itu langsung jadi gorengan laris di pasar.Â
Lagi-lagi ironi. Pidato itu terpenggal. Ada pembuka-isi-penutup yang tertinggal. Akibatnya, tidak sedikit masyarakat yang hanya mendapat emosi tak keruan alih-alih informasi utuh.Â
Tentunya peran penting untuk menentukan strategi komunikasi seperti apa yang bisa digunakan dalam memberitakan isu resesi ini dipegang oleh media. Dalam hal ini, berlaku bagi segala jenis media, baik yang berduit maupun tidak, baik yang sifatnya publik maupun pribadi. Dengan kata lain, baiknya seluruh pihak mengira-ngira terlebih dahulu bingkai yang akan digunakan dalam membicarakan isu resesi.
Strategi Komunikasi dan Pandangan Publik
Ketika isu negatif dibingkai dengan sebegitu menyeramkannya, hal yang paling pasti muncul adalah kecemasan publik. Pasalnya, rasa cemas bukan hal yang bisa disepelekan. Mari menengok ke bencana terprediksi yang telah terjadi paling dekat ini: pandemi Covid-19.Â
Ketika isu wabah menakuti publik, terjadi panic buying sebagai manifestasi dari kecemasan dan ketakutan masyarakat. Jika menelisik sedikit lebih dalam, bukan hanya kecemasan, panic buying juga terjadi oleh faktor-faktor lain, yaitu perilaku konsumen, stress, ketidakpastian, dan paparan media. Seperti telah disangka-sangka, media selalu memegang andil dalam pembentukan emosi publik--termasuk respons tindakan atas emosi tersebut.Â
Melihat fenomena panic buying, kecemasan masyarakat jelas mempengaruhi pola transaksinya. Hal ini mengindikasi kemungkinan masyarakat bisa menjadi terlalu takut mengeluarkan uang untuk berbelanja. Hal tersebut tentu sangat berbahaya, sebab resesi justru bisa memburuk jika roda ekonomi terhambat.Â
Jika menengok pada China yang juga sedang tidak baik-baik saja ekonominya, kita bisa melihat satu fenomena menarik. Salah satu alasan melemahnya perekonomian China saat ini adalah munculnya sentimen negatif di sektor perumahan (salah satu industri utama yang mempengaruhi Produk Domestik Bruto China). Terlihat bagaimana sentimen yang terbentuk di masyarakat secara tidak langsung mempengaruhi kondisi ekonomi negara.