***
Sesampainya di dalam gubuk kecil itu, Sheila terkejut dengan apa yang dilihatnya, gubuk seluas 3x5 m dengan jumlah penghuni sebanyak 8 orang. Gubuk beralaskan tikar itu menjadi saksi kehidupan mereka yang memprihatinkan. Sebagian besar penghuninya merupakan anak-anak. Beberapa di antara mereka terlihat tertidur pulas kelelahan. Namun ada beberapa anak yang masih asyik memainkan alat musik.
“Ka-k Cin-dy, i-ni te-man- ba-ru ta,” jelas Dita ke salah seorang gadis kecil berambut panjang lurus di pojok ruangan.
Gadis itu terlihat acuh tak acuh akan kedatangan mereka. Ia masih asyik membersihkan pianika tuanya dengan lap basah. Sheila agak jengkel dengan prilakunya yang sama sekali tidak merespon perkataan adiknya. Dita murung dengan respon negatif kakaknya dan berlalu meninggalkannya menuju kakaknya yang lain.
“Ka-k Dja-ka, ta’ pu-nya te-man ba-ru, na-ma-nya kak- Ni-a dan kak… ka-k,” Dita binggung melanjutkan kalimatnya dan memandang Sheila dengan heran.
“Namaku Sheila, Dita sayang,” senyum Sheila memandang Dita.
“Oh-ya, ka-k She-i-la,” eja Dita perlahan-lahan.
Sheila tersenyum namun sulit baginya untuk membendung air yang sejak tadi bermain di bola matanya. Ia tak banyak bicara dan perhatiannya kini terfokus pada babarapa alat musik yang terletak di sudut ruangan, biola, suling, gitar kecil, bahkan mini keyboard, semua terlihat usang. Jauh lebih usang bila dibandingkan dengan alat-alat musik bekas di gudang rumahnya. Terbesit tanya di hatinya, untuk apa alat-alat musik itu?
“Oii kak Nia, kak Sheila, salam kenal, hehe!!,” teriak Djaka, anak lelaki yang dari tadi membolak-balik koran bekasnya, membuyarkan lamunan Sheila.
“Put, Put, Putriiiiiii!!, “ teriaknya lagi. Suaranya lantang layaknya pemimpin upacara bendera di hari Senin.
“Iya Mas!! “ jawab seorang gadis kecil berambut ikal dengan jepitan pink. “Apaan sih?? Upss.. da tamu toh!,” katanya sedikit kaget melihat kedatangan mereka.
“Tolong ambilkan air putih untuk tamu kita. Cepet ya!!” suruh Djaka
“Yah kakak, Putri kan lagi bantu ibu di belakang,, suruh si Cindy aja tuh kak!” jelas Putri
“Sudahlah, gak usah repot-repot,” ujar Nia sungkan
“Kalau air putih mah kita masih punya, kak!,” seru Djaka tersenyum
“Ayo Cindy, cepat ambilkan! “ lanjut Djaka
Tanpa menunjukkan ekspresi wajah, Cindy beranjak dari kesibukannya dan berjalan ke arah belakang.
Perhatian Sheila kini tertuju pada keyboard usang di pojok ruangan. Ia mendekat dan mulai mengerakkan jari-jarinya di atas tuts keyboard itu. Sayang, tidak ada listrik di gubuk itu. Kalau saja ada, Sheila berniat memainkan prelude ciptaannya.
“Hmm,, Djaka, keyboard ini masih bisa dimainkan?,” tanya Sheila penasaran
“Bisa lhaa Kak, kalau gak bisa, untuk apa kami simpan di sini? Hehee,” canda Djaka
“Lho, bisa dinyalakan di sini?,” lanjut Sheila
“Gak kak, mana bisa dinyalain di sini, wong listrik aja ndak ada toh! Kami biasa main di rumah Ibu Dewi, “ jelas Djaka
“Siapa tuh, de? “ tanya Sheila masih penasaran
“Ibu Dewi itu penyumbang alat-alat musik ini,kak. Ia guru musik di salah satu sekolah swasta. Kami sering main ke rumahnya dan latihan di sana. Nah, katanya, walaupun usang, alat-alat musik ini masih lumayan baik dimainkan. Dia juga berharap, suatu saat nanti, kami bisa konser keliling dengan alat musik ini,” jelas Djaka panjang lebar
“Konser keliling? Kalian sudah pernah konser keliling?,” tanya Sheila heran
“Belum kak, kami masih sekedar ngamen di jalan saja,” jawab Djaka dengan raut wajah muram.
“Hmm.. gitu ya?,” gumam Sheila sedikit heran.
Sesosok wanita paruh baya yang menggendong tumpukan pakaian masuk dari pintu belakang. Wanita itu bersama Cindy yang tengah membawa dua gelas air mineral di atas nampan kayu.
“Bu Annie!,” seru Nia.
“Nia! Ya Allah, Nak. Maaf ibu tadi lagi asyik angkat jemuran di belakang,” jelasnya.
“Iya Bu, gapapa. Oh ya Bu, aku bawa temanku, kenalkan. Namanya Sheila,” ujar Nia sambil memperkenalkan Sheila pada Bu Annie.
“Sheila,” kata Sheila memperkenalkan diri.
“Annie, saya pengurus anak-anak di sini. Hehe,” ujar Bu Annie sambil tersenyum.
“Oh ya Bu, senang berkanalan. Ibu sudah lama tinggal di sini?” tanya Sheila.
“Iya, Ibu sudah lama tinggal di sini. Sudah sekitar 10 tahun. Yah, beginilah keadaan kami, hidup serba kekurangan,” jelas Bu Annie tersenyum datar.
Cindy meletakkan dua gelas berisi air mineral di atas lantai bealaskan tikar rotan. Ia tidak mempersilahkan mereka untuk minum. Melihat tingkah lakunya, Bu Annie langsung menegurnya, “Cindy, ayo bilang apa sama tamu kita?,”
“Silahkan,” kata Cindy dengan wajah datar tanpa ekspresi.
“Terima kasih, Cindy,” sahut Nia tersenyum.
Cindy hanya mengangguk pelan kemudian tenggelam kembali dalam keasyikannya membersihkan pianika tuanya.
“Bu, di sini yang mengurus anak-anak, hanya Ibu Annie saja?,” tanya Sheila.
“Iya nak Sheila, dulu Ibu dan suami yang mengurus anak-anak. Hanya saja suami ibu sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Jadi yah, ibu saja yang mengurus anak-anak. Tapi Alhamdulillah nak Sheila, semenjak sepeninggalan bapak, ada saja pertolongan, yang paling sering mampir ke sini itu nak Bintang. Dia yang sering bantu kami,” ujar Bu Annie panjang lebar.
“Bintang?,” tanya Sheila.
“Iya, namanya Bintang. Dia sering mengajar anak-anak di pondokan belakang. Tapi hari ini ibu belum lihat dia tuh. Biasanya datang agak siangan untuk ngajar anak-anak” jelas Bu Annie mengerutkan dahi.
“Oh iya, Bintang. Aku sudah kenalan sama dia, La. Iya, biasanya jam segini udah nongol di sini. Hmmm, dah sore nih, lagi ada keperluan mendadak barang kali,” duga Nia.
“Ka-k Bin-tang, hm-mpff” gumam Dita sambil menghela nafas.
“Iya ya, kak Bintang mana nih? Tumben..” sambung Djaka.
“Kak Bintang masih kuliah kali, Mas,” ujar Putri menduga-duga.
“Mungkin,” jawab Cindy yang akhirnya mulai bersuara.
Sheila hanya mendengar orang-orang menyebut nama Bintang. ‘Seistimewa apakah dirinya? Orang-orang di sini pasti sangat mengaguminya,’ gumamnya.
Cerpen Karya :
Lydia Desvita Sari
March 20,2010
www.catatan-pianissimo.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H