Mohon tunggu...
Lydia Kristiani
Lydia Kristiani Mohon Tunggu... Human Resources - Mengisi hari dengan bekerja di bidang sumber daya manusia

Selalu meluangkan waktu untuk menulis dan olahraga. Tidak perlu susah payah mencari hal yang bisa menyenangkan diri, cukup dengan membaca dan menikmati pemandangan alam yang indah.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Berapa Lama Lagi Kita Akan Menjadi Manusia

22 Mei 2023   22:21 Diperbarui: 22 Mei 2023   22:25 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Dari kecil, saya senang menulis. Itu sebabnya saya ikut heboh ketika aplikasi ChatGPT mulai merajalela. Gampang digunakan bahkan bagi orang yang gaptek sekalipun dan gratis pula. Ditanya apa pun, bisa memberi jawaban yang beragam dan bukan jiplakan dari sumber tertentu. Selain fitur tanya jawab yang cukup menghibur karena bisa memberikan jawaban yang unik, kini ChatGPT makin berkembang. Bisa dipakai untuk membantu kita berbelanja online sampai menganalisa data.

Selain ChatGPT yang saat ini digandrungi untuk mencari informasi serius atau sekedar iseng karena tidak ada teman ngobrol,  banyak juga aplikasi berbasis artificial intelligence (AI) lain yang menarik. Ada Rytr, Jasper, Sudowrite, Wordtune dan masih banyak lagi serta kemungkinan akan bertambah variannya seiring waktu. Masing-masing aplikasi menawarkan kelebihan tersendiri misalnya untuk menulis cerita fiksi, untuk menyelaraskan gaya penulisan atau untuk membuat tulisan pendek.

Bukan cuma menulis, peredaran gambar dan foto yang diciptakan menggunakan AI saat ini semakin umum. Aplikasi untuk berkreasi seperti Wepik, Nightcafe, Pixray dan Midjourney mudah diakses. Pandai-pandai saja membuat perintah untuk diubah menjadi gambar karena kualitas detil gambar sangat ditentukan oleh teks yang diketik. Kalau sudah jago, maka foto atau gambar hasil aplikasi itu bahkan bisa dipasarkan di situs tertentu seperti Shutterstock. Kalau laku, bisa jadi penghasilan yang lumayan untuk menambah uang saku.

Memang perkembangan teknologi digital seperti ini awalnya asyik dan bikin saya melongo karena canggihnya. Selain itu, AI sangat cepat berubah dan makin lama makin mutakhir. Tapi semua akhirnya terlalu cepat. Sambil main ChatGPT, saya terusik dengan pikiran berapa banyak lapangan kerja yang akan dibabat oleh kecerdasan buatan ini. Tentu saja ChatGPT ini cukup pakem untuk menyelesaikan pekerjaan teknis seperti membuat surat, caption bahkan karya tulis. Singkatnya, semua hal yang sifatnya deskriptif bisa dilakukan tanpa perlu membuka banyak sumber. Bahkan saat saya mengatakan sedang punya masalah, ChatGPT bisa meminta saya untuk curhat. Wow! 

Bagi para pendidik, perlu dicari cara agar anak didik tidak hanya menjiplak tulisan dari AI dan melewatkan riset. Padahal data yang diambil oleh AI masih perlu dipertanyakan karena sumber yang diambil belum tentu benar. Kalau saya ingin mencari informasi, saya pun masih meragukan ChatGPT dan merasa bahwa bertanya ke mbah Google lebih akurat karena saya tahu dari mana sumber informasi tersebut.

Aplikasi untuk menciptakan foto pun punya dilema. Dampak buruk yang paling cepat terasa adalah munculnya banyak foto hoaks. Bagi netizen yang belum terbiasa mengecek ulang berita, maka akan mudah tertipu oleh foto-foto hoaks. Bisa jadi saat ini foto yang dihasilkan AI tidak senyata foto asli, tapi tentu di masa depan hasilnya akan semakin hidup.

Salah satu berita mengenai AI yang membuat saya senyum dikulum adalah saat Geoffrey Hinton mundur dari Google. Bahkan orang pandai yang dijuluki The Godfather of AI ini saja tidak menyangka bahwa AI akan berkembang sepesat ini. Dia pun berpikir bahwa AI dapat menjadi alat untuk menyebarkan informasi menyesatkan dan hal ini sulit untuk dihindari. Benar, saya pikir, memang AI ini bak pedang bermata dua. Di satu sisi membawa manusia semakin canggih namun di sisi lain dapat membunuh lapangan kerja dan bahkan kemanusiaan.

Bayangkan, bagaimana jadinya jika semua hal dikerjakan dengan robot dan teknologi semacam AI? Interaksi antar manusia yang nyata makin berkurang dan saya cukup mengetik ini itu untuk mendapatkan jawaban. Membuat jadwal tamasya? Tanya saja pada program AI dan tidak perlu mengecek lagi ke biro perjalanan. Punya masalah hidup? Kalau tidak merasa seperti orang gila, saya bisa mencurahkan isi hati ke robot di aplikasi dan entah diberi solusi apa. Hilangnya komunikasi langsung dengan sesama manusia ini pasti akan ada dampak psikologisnya. Empati pun hilang dan bisa jadi nantinya keterampilan sosial akan semakin menurun. 

Jadi, sampai kapan kita bisa tetap menjadi manusia di tengah zaman yang serba mengandalkan teknologi ini? Semoga jawabannya adalah seterusnya, agar kita tidak tergerus tapi kitalah yang mengendalikan teknologi agar tetap ada dalam koridor kemanusiaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun