Mohon tunggu...
Riski Situmorang
Riski Situmorang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa | Ilmu Komunikasi | Universitas Sumatera Utara

Mahasiwa S-1 Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara dengan Keterampilan Desain Grafis dan Copywriting. Memiliki Hoby membaca, Membuat desain, Traveling. dan Sebagainya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Badan Bank Tanah : Harapan Baru atau Sekadar Janji Manis di Tengah Ketimpangan Agraria ?

23 Januari 2025   21:01 Diperbarui: 23 Januari 2025   21:45 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembukaan Lahan Hutan ( Sumber : Pinterest )

Medan, Indonesia - Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam, termasuk tanah. Namun, paradoksnya, persoalan ketimpangan penguasaan tanah telah menjadi salah satu masalah struktural yang kronis di negeri ini. Tanah yang seharusnya menjadi fondasi kesejahteraan rakyat sering kali dikuasai oleh segelintir pihak, sementara masyarakat kecil, seperti petani, buruh tani, dan masyarakat adat, masih menghadapi keterbatasan akses terhadap tanah.

Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah meluncurkan Badan Bank Tanah melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dengan misi utama mengelola dan mendistribusikan tanah negara secara adil, Badan Bank Tanah diharapkan menjadi solusi konkret dalam mewujudkan keadilan agraria dan kesejahteraan sosial. Namun, di balik gagasan idealis tersebut, muncul berbagai kritik dan kekhawatiran. Apakah Badan Bank Tanah mampu menjawab tantangan agraria di Indonesia, atau justru berpotensi menjadi alat baru yang memperburuk ketimpangan?

Ketimpangan Agraria: Akar Masalah yang Kompleks

Ketimpangan agraria di Indonesia bukanlah masalah yang muncul begitu saja, melainkan merupakan persoalan yang berakar dari sejarah panjang dan kebijakan yang diwariskan dari masa kolonial. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, kebijakan seperti Agrarische Wet 1870 dan Domeinverklaring menciptakan ketidakadilan dalam penguasaan tanah. Tanah-tanah yang tidak memiliki bukti kepemilikan resmi dianggap sebagai milik negara, yang mengakibatkan hilangnya hak atas tanah bagi masyarakat adat. Sementara itu, penguasa kolonial dan perusahaan besar mendapat akses luas terhadap lahan-lahan produktif.

Setelah Indonesia merdeka, meskipun Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 diundangkan untuk mengatur penguasaan tanah, ketimpangan tetap berlanjut. Ketidakadilan dalam pembagian tanah antara masyarakat adat dan negara, serta dominasi sektor korporasi besar seperti perkebunan kelapa sawit, menjadi penyebab utama ketimpangan agraria yang terus berlanjut hingga saat ini. Konflik antara masyarakat adat, petani kecil, dan perusahaan besar semakin memperburuk kondisi ini, dengan permasalahan seperti klaim tanah negara dan penguasaan lahan oleh perusahaan besar yang semakin mengancam kelangsungan hidup masyarakat kecil.

Badan Bank Tanah: Harapan atau Tantangan Baru?

Sebagai respons terhadap ketimpangan agraria yang semakin mendalam, pemerintah Indonesia meluncurkan Badan Bank Tanah berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja 2020. Badan ini bertujuan untuk mengelola dan mendistribusikan tanah negara secara adil, untuk tujuan publik, serta mendukung pembangunan infrastruktur dan ekonomi. Bank Tanah diharapkan menjadi solusi untuk memperbaiki pengelolaan tanah dan mengurangi ketimpangan yang ada, dengan cara mengumpulkan tanah yang tidak produktif dan mendistribusikannya kepada masyarakat yang membutuhkan.

Salah satu program utama Badan Bank Tanah adalah redistribusi tanah, yang dapat menguntungkan masyarakat kecil, petani, nelayan, dan kelompok masyarakat adat yang selama ini terpinggirkan. Tanah terlantar atau yang tidak memiliki pemilik jelas bisa dihimpun oleh Bank Tanah dan disalurkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani kecil. Ini tentu menjadi kabar baik, karena redistribusi tanah yang merata dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap sumber daya agraria, mendorong produktivitas pertanian, serta memperbaiki kesejahteraan sosial dan ekonomi.

Namun, meskipun Badan Bank Tanah menawarkan berbagai harapan, ia juga menghadapi tantangan besar dalam pelaksanaannya. Salah satu tantangan utama adalah ketidakjelasan terkait pengelolaan tanah negara, terutama yang berkaitan dengan kepemilikan adat. Konflik agraria yang sering terjadi antara masyarakat adat dan perusahaan besar yang mengklaim tanah negara, misalnya, dapat memperumit proses redistribusi tanah.

Tantangan yang Menghadang Badan Bank Tanah

Badan Bank Tanah harus berhadapan dengan sejumlah tantangan yang tidak dapat dianggap enteng. Salah satunya adalah kompleksitas birokrasi yang berbelit-belit. Meskipun dirancang untuk menyederhanakan pengelolaan tanah, Badan Bank Tanah tetap harus berkoordinasi dengan berbagai instansi dan pihak terkait, seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN), pemerintah daerah, serta masyarakat adat. Perbedaan prosedur dan kepentingan antar pihak ini sering kali memperlambat implementasi kebijakan.

Selain itu, masalah transparansi dalam pengelolaan tanah juga menjadi sorotan penting. Tanpa transparansi yang jelas, terdapat risiko penyalahgunaan wewenang dalam proses redistribusi tanah. Tanah yang seharusnya diberikan kepada masyarakat kecil bisa saja dialokasikan kepada kelompok atau korporasi besar yang memiliki pengaruh. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga independen untuk terlibat dalam pengawasan Badan Bank Tanah agar proses redistribusi tanah berjalan dengan adil dan transparan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun