Esoknya  gotong royong masyarakat sekitar dimulai untuk menolong memperbaiki kondisi rumah warisan Abah.  Terlihat penggambaran yang mungkin saat ini menjadi langka ditengah kehidupan individual modern di perkotaan.  Saat itu sosok Ceu Salmah (Asri Welas) muncul untuk diperkenalkan sebagai seseorang yang pada perjalanan film ini menjadi peran cukup penting hingga tidak bisa disepelekan.
Singkat cerita masa liburan berakhir.  Kepindahan tersebut tentu saja berimbas dengan Kepindahan sekolah Euis dan Ara yang sebelumnya di Jakarta (notabene) Kota metropolitan ke kota kecil di Cisarua yang merupakan  salah satu kabupaten di Bogor.
Sedikit rangkuman ucapan Emak saat berkata kepada Ara dan Euis yaitu  mereka akan bersekolah di  Sekolah yang fasilitasnya berbeda saat masih di Jakarta, meskipun begitu, sekolahnya 'cukup' bagus dengan guru-guru yang baik.
Itu hanya sebuah awalan. Â Hingga di pertengahan cerita di tampilkan bagaimana kepiawaian Bahasa Inggris Euis cukup jomblang dengan teman-teman satu kelasnya di Cisarua. Â Bagaimana itu bisa terjadi? Sungguh diperlihatkan bagaimana perbedaan kemampuan siswa yang berusia sama dan strata tingkat sekolah yang sama.
Hingga salah satu yang jadi pemicu keinginan Abah menjual rumah warisan tersebut adalah saat pertemuan dengan gurunya Euis (Gading Marten) yang mengatakan bahwa Euis adalah murid yang cerdas. Â Sangat disayangkan jika ia masih bersekolah di sana. Â Alangkah baiknya jika Euis kembali pindah ke Jakarta agar kecerdasannya terfasilitasi.
Wohooo... Â Abahpun mulai melihat harga rumah susun, hingga terpikir tidak apalah terbatas, yang penting kembali ke Jakarta dan anak-anak bisa sekolah kembali dengan fasilitas yang lebih baik.
Sementara Euis yang pada akhirnya diperlihatkan mulai merasa lebih nyaman dengan teman-teman di Cisarua karena merasa sudah terlupakan oleh teman-teman Jakarta ditambah kehadiran Abah jauh lebih banyak ditengah keluarga dibandingkan saat di Jakarta, menyadari bahwa ia akhirnya lebih menyenangi tinggal di sana.
Tapi, bagaimana dengan ungkapan  fasilitas pendidikan yang di gadang-gadang oleh Pak Guru  bahwa sekolah tersebut tidak dapat mengakomodir Euis yang dinilai sebagai murid yang cerdas sehingga lebih baik Euis kembali ke Jakarta?
Sejujurnya saya suka dengan ceritanya yang mengalir, natural bagaimana sebuah keluarga mengatasi permasalahan bersama. Â Ada rasa haru, tangis dan tawa yang berhasil mengaduk perasaan saya. Â Nilai kejujuran dan kegigihan bertahan hidup hingga sosok Ceu Salmah dapat menghidupkan suasana bahwa hidup itu selalu penuh warna.Â
Namun kembali lagi sangat disayangkan, mengapa salah satu pemicu konflik adalah pemikiran  Ketimpangan pendidikan antara 'Kota Metropolitan' Jakarta dan 'kampung' Cisarua? Benarkah sekolah desa tidak akan mendapatkan kesetaraan hasil dengan yang bersekolah di kota? Mengapa kesempatan baik harus didapatkan di kota besar?Â
Ataukah sekolah di pinggiran artinya adalah  dianaktirikan? Jika anda merasa cerdas, artinya anda tidak baik jika bersekolah di kota kecil. Bagaimana jika termasuk yang kurang memiliki minim dana hingga mau tak mau  menerima kondisi yang penting bersekolah?