Mohon tunggu...
Luzian pratama
Luzian pratama Mohon Tunggu... Wiraswasta - #PandanganSosial #SeputarMasyarakat

Cuma menulis yang patut ditulis, dibaca syukur, kalau tidak dibaca harus baca dulu. Hehe

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Kayu dan Tungku", Realitas Sosial dan Sebuah Nilai

2 November 2021   10:08 Diperbarui: 2 November 2021   10:15 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lain dahulu lain sekarang, dahulu orang memasak dengan kayu dan tungku, zaman sekarang berganti dengan gas dan kompor. Hakikatnya sama, memasak. Pergeseran itu merupakan pertanda sebuah kemajuan. 

Namun demikian segelintir orang, masih saja ada yang bertahan memasak dengan kayu dan tungku. Entah itu karena sebuah pilihan atau sebagai keterpaksaan karena pergulatan antara harapan dan kenyataan yang cukup rumit.

Menurut beberapa catatan penelitian, penggunaan kayu bakar sejak tahun 1990 semakin berkurang. Masyarakat beralih kepada bahan bakar lain yang dinilai lebih praktis. Sebuah kesimpulan bahwa semakin tinggi dan semakin baik kehidupan individu, akan semakin kecil kemungkinan menggunakan kayu sebagai bahan bakar.

Orang yang bertahan memasak dengan bahan bakar kayu, dapat dilihat dengan kacamata sosial sebagai dua kondisi yang saling bertentangan. Antara memasak dengan kayu bakar sebagai pilihan dan sebagai keterpaksaan memiliki esensi yang berbeda. Boleh saja orang yang memilih memasak dengan kayu bakar, merupakan perwujudan rasa syukurnya karena pernah dibesarkan dengan makanan yang matang dari tungku itu.

Atau boleh jadi sekedar untuk mengingat kehidupan desa bagi seorang perantau. Dan mungkin saja juga karena alasan rasa. Tak sedikit orang berdalih masakan
yang matang dengan perapian kayu bakar rasanya jauh lebih nikmat ketimbang dimasak di kompor modern. Semisal ucapan orang-orang di desa, rendang yang enak itu bila dimasak di atas tungku. 

Gulai daging akan lebih empuk jika diolah dengan perapian kayu bakar di atas tungku. Atau boleh jadi, tungku sebagai pilihan karena tuntutan budaya dan adat sebagaimana yang terjadi pada suku Tengger dan Dayak Lundayeh.

Sah saja bila alasannya demikian. Namun berbeda apabila yang dibicarakan adalah suatu realitas dalam kelas sosial. Bahwa dapur yang menggunakan kayu dan tungku adalah sebuah simbol ketidakmampuan, ketertinggalan dan tidak berdaya untuk mengikuti perubahan. Apalagi, kalau bukan karena perkara ekonomi. Kondisi seperti itu membuat individu harus mengalah dengan perubahan. Yang terpenting "dapur ngebul", sebagai pertanda bahwa kehidupan masih berlangsung.

Pendek kata, jika yang dikaji adalah kondisi realitas, akan bermuara pada dialektika materialis dapur. Dengan dua model pandangan tersebut, secara tidak langsung dapat menjadi suatu penilaian bahwa yang dilakukan masyarakat menentukan di kelas mana mereka berada. 

Lloyd Warner berpendapat, kelas sosial berkaitan dengan sosio-ekonomi, meliputi masalah pendapatan, kepemilikan serta pekerjaan (dalam Taufiq Rahman 2011). Penggunaan kayu dan tungku sebagai sebuah pilihan atau sebagai keterpaksaan tentu sudah menjawab pandangan Lloyd tersebut.

Setentang kayu dan tungku, ada untaian falsafah Minangkabau yang cukup populer, "Bersilang kayu di tungku, disinan api mangkonyo iduik". Falsafah ini bukan mengukur kelas sosial, namun bagaimana idealnya manusia mencapai tujuannya sebagai makhluk sosial.

Bersilang berarti saling memotong satu dengan yang lain. Yang bersilang adalah kayu sebagai bahan bakar. Sedangkan tungku adalah tumpuan wajan untuk memasak.

Makna secara harfiahnya, tidak akan pernah hidup perapian apabila kayu disusun rapi. Makna tersiratnya, manusia  dengan keragaman serta keunikannya masing-masing, harus mau menceburkan diri dalam tatanan yang disebut dengan masyarakat. 

Tidak sampai di situ, sebagai bagian dari masyarakat itu sendiri dituntut ikut serta memberikan pandangan dan peran dalam masyarakat.

Justru dengan tidak adanya silang pemikiran dan dinamika itulah yang membuat kelompok masyarakat menjadi stagnan. Yang diharapkan falsafah tersebut adalah, manusia mencurahkan pemikirannya di mana dia berada, meskipun berbeda satu sama lain. 

Karena dengan perbedaan tersebut muncul pandangan-pandangan baru untuk kemajuan. 

Benang merahnya adalah, "disinan api mangkonyo hiduik". Dari berbagai pandangan yang lahir dapatlah solusi, kemudian timbul semangat untuk bergerak mencapai cita-cita bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun