Aku tak bisa menahan gejolak kerinduanku, pada dirimu. Aku terkurung dalam sebuah ruang dimana hanya bayang-bayangmu yang mengintai, menjelma menjadi hantu, atau seperti virus, atau sebuah pelangi tanpa warna, hampa, tak berbentuk. Aku tersesat perihal pandang mata dimana sekian jejak yang kau tinggalkan masih menari-nari lentik di setiap jengkal waktu. Halusinasi? Oh, sudah segila itukah rupanya? Tapi bukan! Ini bukan seperti yang para psikiater bilang. Aku masih waras. Aku masih mengerti perbedaan antara gelap dan terang, siang dan malam, fajar dan senja, normal bukan? Aku hanya tak bisa membedakan bentuk perasaanku, dulu hingga sekarang, aku masih tetap sayang sama kamu. Bahkan hingga nanti, besok, lusa, bulan depan, tahun depan? Aku tak tahu pasti. Aku sama sekali tak punya keberanian untuk mengusik bayangmu pergi.
Aku sering karam di tengah lautan nostalgia dan enggan untuk menyelamatkan diri, karena itulah satu-satunya hal yang bisa membuatku bernyawa, setidaknya untuk beberapa saat. Kau tahu akibatnya kalau aku coba menyelamatkan diri dari kubangan kenangan tentangmu? Duniaku seperti sudah mati. Kesepian. Hanya itu yang aku rasa, bahkan ketika di tempat paling ramai sekalipun. Aku terlanjur terbiasa bersamamu, menghabiskan waktu bersama, mencumbu alam, menyangga langit, menanam pohon memori, membuat getaran di dinding senja, menyulam lentera di tengah cekam kegelapan, semuanya, mana mungkin aku menyelesaikannya tanpa kehadiranmu. Relung hatiku telah kau rampas dengan segala bentuknya, kau lukis dirimu di sana, kau penuhi segala sisinya, tanpa membiarkan sejengkalpun tertinggal kosong. Lantas sekarang mau apa? Menghapus total semuanya? Dengar, aku tidak akan membiarkanmu datang dan pergi. Kau sudah terlanjur bersemayam di tempat yang tak mudah untuk diketuk-buka-tutup. Dan aku akan terus memelihara perasaan ini selama aku masih memiliki kesempatan. Kalaupun kesempatan untuk itu sudah tertutup? Aku tak berani berpikir jauh hingga ke sana, karena sama saja dengan mengumandangkan pesimisme dan aku tidak ingin itu.
Aku tak bisa membohongi diri sendiri. Perasaanku masih utuh sama seperti pertama kali jatuh cinta, denganmu. Kau ingat, ketika kita berjalan di bawah langit senja sembari sesekali mencumbu kupu-kupu cantik, lalu membisikkanya kata-kata manis, "bilang pada siapapun yang kau temui, kami berdua adalah satu", lantas membiarkannya lepas landas, terbang tinggi melintas batas cakrawala dan berlabuh lagi entah dimana. Kupu-kupu riang itu, sama seperti kita, yang juga riang menikmati waktu bersama, saling melengkapi, saling mengisi, saling membagi apapun yang kita temui, yang kita punyai. Bersamamu, aku menemukan keceriaan dan spirit dalam menjalani aktivitas sederhana yang ku punya. Ya meski sederhana, tapi kamu mampu membuatnya menjadi sempurna. Apa kau juga ingatkah, ketika aku sengaja menghindar darimu beberapa waktu, lalu kau menangis tersedu? Itu juga warna yang tak mudah untuk dihapus. Kita lalui suka dan duka bersama, sesekali saling curiga, saling marah, kecewa, atau apalah itu, tapi itu semua tak lain adalah sebagai bukti kalau kita berdua saling menyayangi dan tak berani untuk kehilangan satu sama lain.
Sayangnya semua itu hanya tinggal kenangan. Kenangan yang terpahat dengan indah itu, mungkin tak akan terulang lagi. Aku masih tak habis pikir mengapa kita harus berpisah. Aku sepenuhnya sadar akan kebodohanku membiarkanmu pergi. Mungkin aku termakan kata-kata pepatah, bahwa hidup ini adalah pilihan, yang kenyataannya memang di dalamnya tersebar pilihan-pilihan yang tak jarang melahirkan simalakama, dua hal yang sama-sama bernilai di sisi dan arah yang saling berlawanan di waktu yang bersamaan. Kurang lebih itu yang menimpa, aku dihadapkan pada beberapa hal dimana  harus mengambil satu sebagai prioritas. Jelas aku tak bisa melahap semua di waktu yang singkat, sedang diriku hanya satu. Dengan bodohnya, aku membiarkan rajutan kenangan yang telah susah payah kita rangkai sekian lama, terbang diterpa angin, memburam dilahap ganasnya mesin waktu. Semua luluh lantah, termasuk hatiku, hancur bak diterpa puting beliung secara tiba-tiba di tengah panggung pertunjukan yang sedang membara.
Sekarang semuanya menjadi hening. Tak ada lagi pelangi berwarna jingga yang menjadi simbol perasaan kita, atau hijau, atau merah, atau kuning, atau apapun. Semua sudah berubah menjadi hambar, tak berasa. Separuh kekuatanku pergi, apapun yang ada di depanku terpaksa ku lalui dengan kebimbangan. Aku tak bisa lagi menancapkan langkah seyakin dulu ketika masih bersamamu. Ada banyak yang hilang, dan aku tak bisa menjelaskannya. Seandainya kamu masih di sini, seandainya kamu masih bersamaku, seandainya kamu masih bisa menemaniku melintasi mimpi, harapan, cita-cita. Kamu ingat kan? Kamu dulu yang dengan berapi-api menanamkan mimpi indah dan menguraikanku jalan untuk menggapainya? Aku masih ingat betul bagaimana kita menghabiskan hari dengan aktivitas menanam "pohon mimpi"-mu itu. Sungguh, aku masih tak bisa menerima kenyataan berpisah dari dirimu. Semua hal tentangmu masih jelas membekas di setiap relung dadaku. Kamu telah banyak mengubah hidupku menjadi lebih baik. Aku anggap kamu telah menjadi bagian dari hidupku.
Untuk kamu, di manapun kamu sekarang, aku merindukanmu. Aku sayang kamu.
NB : Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Jika ada kesamaan karakter, tokoh, tempat dan waktu kejadian, maka itu hanya kebetulan semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H