[caption id="" align="alignleft" width="337" caption="Rinal, 23, memperlihatkan lokasi rumah tantenya A Lama tinggal sebelumnya. Di lokasi itulah dia sempat memperingatkan tantenya sebelum bencana longsor terjadi. (asdhar)"][/caption] RINAL, 23, masih ingat betul kejadian di malam tanggal 8 Nopember lalu. Saat itu, dia baru saja pulang dari rumah tetangganya untuk menonton siaran langsung Moto GP. Maklum, dirumahnya, dia tidak memiliki televisi, sehingga harus menumpang menonton di rumah A Lama, 40, yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari rumahnya. Rinal harus segera menuntaskan tontonannya, sebab hujan yang sejak 17.30 Wita mengguyur daerah itu, sudah menggenangi rumah A Lama, yang masih familinya, setinggi 10 sentimeter. “Saya segera pulang, saat itu, siaran yang mau saya tonton belum juga selesai, tapi mau diapa, air sungai sudah naik,” ujarnya. Luapan air sungai di rumah tantenya itu, dianggapnya sudah biasa. Sebab, warga yang tinggal di RW II Kelurahan Battang Barat menganggap hal itu sebagai resiko tinggal di tepi sungai Bambalu. Namun, entah kenapa, luapan air saat itu, dirasakan Rinal berbeda dengan sebelumnya. “Saya sudah punya firasat buruk, karena malam itu terasa sangat berbeda, tidak seperti biasanya, namun saya tidak tahu ada apa, makanya saya cepat cepat ingin pulang ke rumah,” ujar Rinal. Sebelum pulang, dia sempat membangunkan A Lama dan Pinky, 9 sepupunya yang malam itu ikut menginap di rumah tersebut. “Tante, bangun mi ki, itu air naik mi di bawah tempat tidur, ke rumah mi saja tidur” kata Rinal saat membangunkan tantenya itu. Namun, pengatannya itu tidak digubris A Lama karena menggap hal itu sudah biasa terjadi. “Biar mi saya tidur di sini saja, capek sekali ka, malas mi bangun, paling sebentar lagi air surut,” Rinal meniru ucapan tantenya. Karena merasa tantenya tidak ingin mengikuti ajakannya, Rinal pun segera bergegas pulang kerumahnya. Dia berlari kecil menuju rumahnya untuk menghindari guyuran hujan yang belum juga reda. Namun, belum sempat dia tiba di teras rumahnya, tiba tiba suara gemuruh yang sangat keras terdengar dari arah belakangnya. Suara yang membuatnya dengan refleks mencari tempat untuk berlindung. “Cukup lama terdengar ada gemuruh itu, saya tidak tahu itu apa, tetapi yang pasti suaranya seperti berasal dari rumah tante Lama (begitu dia memanggil nama A Lama),” Rinal terkejut, ketika menoleh ke arah rumah tantenya itu, dia sudah tidak melihat ada bangunan disitu, selain itu suasana disekelilingnya tiba tiba gelap. “Saya pikir karena lampu padam, sehingga saya tidak melihat rumah tante, ternyata benar, rumahnya sudah tidak ada di tempatnya, yang ada hanya batu batu kali berukuran besar tepat berada di posisi rumah tadi,” ujarnya. Cukup lama baru dia tersadar jika telah terjadi longsor di daerah itu. Rumah A Lama juga sudah hancur tertimbun dengan tanah dan batu yang longsor dari bukit yang ada dibelakang rumah tantenya. A Lama sendiri baru ditemukan tewas pagi hari esoknya, yang tertimbun dengan tanah. Sementara sepupunya, Pinky, masih lebih mujur, sebab dia ditemukan selamat tersangkut di dahan pohon, meskipun begitu, tubuh sepupunya itu dipenuhi luka, bahkan mata sebelah kanan harus dioperasi dan dinyatakan cacat seumur hidup. Tidak hanya itu, 12 warga sekampungnya juga dinyatakan tewas akibat peristiwa itu. “Saya tidak pernah menyangka, kalau akan terjadi longsor seperti ini, andai saja saya mengikuti firasatku saat itu, saya akan memaksa tante saya untuk keluar dari rumah,” sesalnya. (asdhar/asa)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H