Mohon tunggu...
Nur Wahyu Nugroho
Nur Wahyu Nugroho Mohon Tunggu... Jurnalis - Menceritakan dari apa yang ingin diceritakan

Sederhana namun ingin bermakna

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Cara Ibu Menyayangi Anaknya

30 Januari 2010   14:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:10 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“De’ maaf de’,, bisa ngerti tulisan ini nggak de’...?? Maaf ya de’ Ibu nggak sekolah jadi nggak bisa baca tulis...”, kata salah seorang Ibu yang duduk bersebelahan denganku didalam bis tadi siang sambil meyodorkan secarik kertas kepadaku. Dia naik bis dari terminal bus Senen tapi tidak tahu dia mau turun dimana.

Aku copot sejenak earphone MP3 yang aku pasang di telingaku lalu melihat kertas yang diberikan Ibu itu kepadaku. *Dari stasiun Senen naik bis AC 44 jurusan Ciledug-lalu naik Kopaja 16 jurusan Tanah Abang-turun di Karang Tengah-bla bla bla.......* lalu seterusnya aku lupa. Karena aku cukup kesulitan membaca huruf per huruf nya saking terlalu kusutnya kertas itu.

Aku cuma bisa meng-iyakan kalau memang bis ini benar jurusan trayeknya ke Ciledug, tapi seterusnya aku nggak tahu mengenai alamat yang ditulis di kertas itu dan menanyakan hal itu kepada kondektur.

Wanita paruh baya yang berumur sekitar 50-an tahun itu terlihat sangat lelah. Dia mengenakan jilbab berwarna biru, kebaya merah dipadu dengan bawahan warna gelap. Memangku sebuah kardus berukuran sedang sambil menenteng tas warna putih yang sudah tersamar warna aslinya berubah menjadi agak kecoklatan. Dia mengaku dari kampungnya di Cirebon jam 7 pagi tadi. Dan sesekali aku mencium aroma balsem yang dioleskan ditubuhnya.

Aku memulai ngobrol dengan dia dengan menanyakan mau kemana ke alamat itu. Dia menjawab mau mencari anak perempuannya yang besok pagi berangkat ke Singapura menjadi TKW. Kemudian aku tanya lagi apakah sudah pernah kesana sebelumnya. Belum kata dia.

“Saya nggak boleh kesana de’ sama anak saya, kalau dia tahu pasti dia nggak bolehin saya kayak gini...”, kata dia menjelaskan kepadaku.

MasyaALLOH aku mulai tergetar dengan si Ibu ini. Seorang wanita yang sudah cukup tua, hanya bermodal secarik tulisan di kertas lusuh itu yang dia sendiri bahkan tidak bisa membacanya karena dia buta aksara, datang sendirian ke Jakarta untuk pertama kalinya tanpa alamat yang jelas mau kemana tujuannya.

Aku merasa kasihan dan iba dengan Ibu itu. Kebulatan tekad untuk bertemu dengan anaknya mengalahkan semua rasa takutnya untuk ke Jakarta sendirian. Aku jadi membayangkan bagaimana seandainya yang jadi wanita ini adalah Ibuku.

Berkaca dari hal ini ada satu hal yang menjadi pelajaran berharga bagi kita. Bagaimana seorang ibu itu bisa melakukan hal yang sangat diluar dugaan. Mungkin jika aku sendiri yang mengalaminya aku akan berfikir berulang-ulang sebelum memutuskan sesuatu yang bagiku lebih terkesan nekat ini.

Tapi aku yakin si Ibu itu sudah mempertimbangkan bulat-bulat mengenai hal ini. Aku bisa memahami seberapa hebat rasa sayang ibu itu terhadap anaknya. Aku bisa menerima kesederhanaan berfikir Ibu itu untuk memutuskan hal ini hanya dengan satu alasan yaitu ingin bertemu anaknya.

Seorang ibu adalah wanita pertama yang kita kenali saat kita terlahir di dunia ini. Sebelumnya kita sudah menambah beban berat badan beliau selama 9 bulan. Dengan susah payah bahkan bertaruh nyawa beliau mengeluarkan kita dari rahimnya. Setelah kita lahir, kita masih bergantung dari air susunya sampai kita berumur 2 tahun. Beranjak menjadi balita kitapun masih merepotkan beliau dengan tingkah nakal kita. Entah nangis kek, rewel kek, minta ini itu kek, atau apapun yang bisa membuat jengkel beliau tetapi beliau masih sangat sabar mengurusi kita.

Semakin kesini ternyata kita masih belum bisa berhenti merepotkan beliau. Tanpa sadar kita sering membuat kesal beliau, kita sering menyinggung perasaan beliau, atau bahkan kita sering membantah dengan kasar kata-kata beliau. Namun semarah-marahnya seorang Ibu kepada anak kandungnya itu tidak akan mengurangi sedikitpun rasa sayangnya terhadap putra-putrinya.

Dulu saat kita masih TK atau SD kelas 1 kita sering nyanyi di dalam kelas lagu “Kasih Ibu”, tapi apakah kita sudah menghayati betul makna dari lagu itu. Bahkan jika ditanya sekarangpun mungkin kita juga masih bingung bagaimana membalas semua jasa Ibu terhadap kita sampai detik ini. Jangankan membayarnya, bahkan sampai kapanpun kita tidak pernah bisa menghitung lalu mengkalkulasi semua jasa beliau.

Memang Ibu tidak pernah meminta balasan dalam bentuk apapun terhadap kita. Kita adalah aset pertama dan utama bagi seorang Ibu. Dan seharusnya kita punya keinginan untuk menjadi hal yang berharga bagi beliau. Kalaupun kita belum bisa membuat bangga beliau, setidaknya kita selalu berusaha membuat beliau bahagia mempunyai kita. Terlebih lagi satu hal yang menjadi kewajiban kita adalah selalu mendoakan beliau dalam setiap munajat kita.

Anak perempuan yang bisa berlaku baik terhadap Ibunya maka dia pasti akan meneladani kasih sayang Ibunya itu jika suatu saat dia menjadi Ibu bagi anak-anaknya. Sementara bagi anak laki-laki yang bisa menghargai dan bersikap hormat terhadap Ibunya, maka aku yakin dia pasti bisa mencintai dan memperlakukan wanita yang kelak menjadi pasangan hidupnya dengan baik. Maka dari itu sebelum kita memutuskan untuk mencintai wanita lain, sebaiknya kita mencintai Ibu kita terlebih dahulu secara tulus dan penuh keikhlasan.

Wa ALLOHu ‘alam bisshowab....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun